Sunday, September 28, 2008

" Menghargai Waktu "

"Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”. Q.S. al-‘Ashr: 1-3.

Dalam sebuah polling di Amerika diketahui ternyata mayoritas bangsa Amerika merasa bahwa tidak bekerja, menganggur, dan hidup santai, adalah bagian yang dibenci dan bahkan mereka merasa itu adalah suatu dosa. Dalam istilah terkenal dalam bahasa Inggris pun kita kenal dengan the time is money, sebuah ungkapan betapa pentingnya memanfaatkan waktu hingga dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Dalam Islam tujuan hidup bukan sekadar mencari uang (baca: mencari kebahagiaan materi), namun lebih dari itu agar dapat mendapatkan kebahagiaan materi dan ruhani, duniawi dan ukhrawi (fiddunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah). Oleh karena itu Islam sangat menghargai waktu agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam rangka mendapatkan dua tujuan sekaligus. Bila hanya ingin mendapatkan satu tujuan saja kita tidak dapat bersikap santai dalam hidup, apalagi bila hendak meraih kedua tujuan di atas.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jadilah kamu di dunia seperti seorang asing atau seperti orang yang melewati suatu jalan. Kalau kamu berada pada waktu sore, maka janganlah menunggu waktu pagi. Dan kalau kamu berada pada waktu pagi, maka janganlah menunggu waktu sore. Pergunakanlah masa sehatmu guna persiapan waktu sakit, dan pergunakanlah masa hidupmu untuk persiapan waktu matimu. H.R. al-Bukhari.

Yang sering terjadi pada kita justru sebaliknya. Di saat sehat, kita lupa bahwa suatu ketika akan sakit. Ketika masih muda, kita lalai bahwa nanti akan menjadi tua. Ketika kaya, kita lupa bahwa mungkin akan bangkrut dan jatuh miskin. Ketika berkuasa, kita lupa bahwa kekuasaan itu sementara. Ketika tertawa, kita lupa suatu saat akan menangis. Ketika hidup, kita lupa pada akhirnya pasti mati. Kita kemudian lupa untuk bersyukur, mendekatkan diri kepada Allah, beribadah sebanyak-banyaknya, lupa menolong orang lain, lupa untuk membela agama Allah, dan lupa mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Kita lebih senang menghambur-hamburkan waktu untuk menuruti hawa nafsu, sebagaimana kita pun sering terlena dibuai waktu dalam kegemerlapan duniawi. Waktu kita habis terbuang sia-sia, hanya untuk melakukan hal-hal remeh dan menuju kepada kemaksiatan.

Sebuah pepatah Arab mengatakan: “Waktu ibarat pedang, kalau ia tidak kamu pergunakan sebaik-baiknya, maka ia dapat memenggal dirimu”. Karena lengah dalam memanfaatkan waktu, kita kehilangan kesempatan emas. Kita sering gagal karena tidak dapat mengatur waktu dengan baik. Kita dipenggal oleh waktu karena lengah memanfaatkannya.

Kita harus membiasakan memahami betapa berharganya waktu. Betapa sukses dan gagal ditentukan oleh kemampuan kita dalam menggunakan waktu. Dan betapa sikap meremehkan waktu sebagai sikap hina yang tidak disukai oleh semua orang beriman.


*)Di tulis Oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Friday, September 26, 2008

JALUR-JALUR INFAQ

Terdorong rasa ingin memberi dan berbagi kepada sesama, seorang sahabat Rasul Saw bernama Amr bin Al Jamuh yang berumur cukup tua bertanya, “Wahai Rasul, aku punya sejumlah harta, bagaimana cara aku mensedekahkannya dan kepada siapa aku infakkan?”
Sejurus Rasulullah Saw berpikir. Beliau belum dapat ide demi menjawab pertanyaan ini.

Sesaat kemudian datanglah firman Allah Swt yang mengabarkan tentang jalur-jalur infak sunnah dalam ayat berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. 2:215)

Itulah sekelumit asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat di atas yang dinukil dari Tafsir Al Qurthubi. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa jalur infak sunnah yang utama adalah sebagaima tertera dalam ayat itu; yaitu orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Kelima golongan ini mendapat skala prioritas untuk diberi infak sunnah.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, datanglah seorang pemuda yang mengadu kepada beliau tentang ayahnya yang suka mencuri harta milik sang anak.Rasul Saw berujar, “Panggillah ayahmu untuk menghadapku!” Sang pemuda menuruti perintah Rasul Saw. Ia pergi ke rumah meninggalkan beliau demi memanggil sang ayah untuk datang menghadap Rasul.

Saat pemuda pergi untuk memanggil ayahnya, maka datanglah Jibril As menghampiri Rasulullah Saw. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, bila ayah pemuda itu datang maka tanyakanlah padanya apa yang telah ia ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telinganya!”

Beberapa saat kemudian, sang pemuda sungguh datang menghadap Rasulullah sambil membawa ayahnya. Sesampainya dihadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada ayah pemuda tadi, “Wahai bapak, anakmu mengadu bahwa engkau telah mencuri hartanya, apakah ini benar?” Maka sang ayah menjawab, “Ya Rasul, silakan tanya kepadanya telah aku apakan uangnya, apakah aku berikan kepada bibinya atau aku makan sendiri?”

Rasulullah Saw lalu menukas, “Izinkan aku untuk tidak membahas hal ini. Namun bolehkah aku tahu apa yang telah kau ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telingamu?” Itulah pertanyaan yang disampaikan Jibril As kepada Rasulullah Saw untuk ditanyakan kepada ayah dari pemuda tadi.

“Demi Allah, aku semakin percaya bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hati yang tiada terdengar oleh kedua telinga ini.” Lanjut sang ayah.“Sampaikanlah ucapanmu itu!” Rasulullah Saw mempersilakan.

Tidak dinyana, ayah pemuda tadi lalu membaca sebuah syair yang ia gubah untuk si pemuda; buah hati dan belahan jiwa ayahnya.

Saat engkau lahir, aku memberimu makanan
saat kau beranjak besar, aku selalu setia menjagamu
Engkau diberi minum atas jerih payahku
Jika kau sakit di malam hari, selama itu mataku tak terpejam
Tak bisa ku tidur karena memikirkan sakitmu
Hingga tubuhku limbung sebab kantuk yang menyerang
Seolah akulah yang sakit, bukan engkau wahai anakku
Aku meneteskan air mata sebab khawatir engkau akan mati
Padahal aku tahu bahwa ajal manusia telah digariskan
Saat engkau beranjak dewasa
Saat dimana telah pantas aku menggantungkan diri padamu
Kau balas diriku dengan kekerasan dan kekasaran
Seakan engkau adalah satu-satunya pemberi kebaikan padaku
Andai saja ketika tak dapat kau penuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku tak ubahnya seperti seorang jiran yang hidup bertetangga

Usai mendengarkan syair tersebut, Rasulullah Saw meneteskan air mata lalu menghardik sang anak dengan sabdanya, “Anta wa maaluka li abiika. Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)

Pemuda itu tertunduk lesu. Ia merasa malu. Tak sadar akan kealpaan diri selama ini. Ia telah menyia-nyiakan ayahnya yang begitu mencintai dirinya. Ia pun mengikhlaskan harta yang telah diambil ayahnya. Keduanya lalu berpelukan. Saling memaafkan. Kemudian pergi meninggalkan Rasulullah Saw.

Itulah sifat manusia. Suka lupa terhadap jasa orang lain, bahkan kepada orang tua sendiri. Demikian sebabnya, saat ditanya tentang kemana harta diinfakkan, maka Allah Swt menurunkan ayat 215 dari surat Al Baqarah di atas.

Ayat senada juga Allah firmankan,

“Maka berikanlah pada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) pada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 30:38)

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.” (QS. 2:177).

Ada sebuah kisah dari negeri seberang. Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karir dan dikarunia seorang anak yang pintar.

Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa kesepian.

Saat menerima surat dari ibunya, sang anak berurun-rembug dengan istrinya tentang bagaimana menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri menukas, “Mas, engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku. Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai mengurus anak sendiri.”

Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh beliau di panti jompo. Nah..., bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah saung dari bambu di halaman belakang rumah. Lalu kita tempatkan ibumu di sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”

Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan, namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman belakang rumah.
Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.

“Ma..., jangan lupa untuk mengirimkan makan 3 kali sehari untuk ibuku ya!” itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka, 3 kali sehari makanan diantar oleh pembantu kepada nenek yang berada di dalam saung.

Namun karena kesibukan mereka berdua, rupanya keduanya kerap alpa untuk mengingatkan pembantu demi mengantarkan makanan kepada nenek.
Tadinya 3 kali sehari, terkadang hanya 2 kali atau 1 kali. Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, maka pesan untuk mengirimkan makanan sudah tidak mereka ingat lagi. Maka pembantu pun sungguh lalai untuk mengirimkan makanan.

Allah Swt sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orang tuanya!
Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup didalam saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya pecah.
Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu lapar. Hingga membuatnya harus pergi ke warung untuk beli makanan demi sekedar pengganjal lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus meletakkan, sebab tiada lagi alas.

Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai dibersihkan, maka batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan. Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek. Hingga suatu hari Allah berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!
Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby-sitter, seorang bocah lelaki berusia sekitar 5 tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama rupanya ia tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah... saat ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri. Ia dorong pintunya hingga terbukalah. Anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya....

“Eh.... ada pangeran kecil rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir. “Nenek ini siapa?” tanya sang bocah polos. “Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” nenek itu mencoba menjelaskan. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak dipisahkan oleh jarak apapun. Keduanya membaur tak ubahnya darah & daging.

Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua orang tuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Hingga terbitlah sebuah pertanyaan kecil dari mulut si bocah saat ia melihat sebuah benda aneh di pojok saung.

“Itu benda apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu. Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Sejurus ia tahu bahwa yang dimaksud cucunya adalah sebuah batok kelapa. “Oh... itu adalah piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya...?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum. “Iya, nek. Ini bagus sekali” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.

Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota oleh papa dan mama. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata. Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran, berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.

“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo nak... lompati selokan itu. Kamu pasti bisa!” teriak keduanya berseru kepada anak mereka.

Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa... Ma..., tolong ambilkan benda itu dong!” Papa melihat ke arah benda yang ditunjuk anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam selokan. “Apa sih, nak? Nggak usah diambil... Itu kotor!” kata si papa. Sang mama menimpali dengan kalimat serupa.

Namun si anak tetap berkeras, merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.
Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah membau dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu... sebenarnya untuk apa sih batok kelapa itu, nak...?!” si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku mau kasih kejutan ke mama!”

Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapih, aku akan berikan ini untuk mama sebagai alas untuk makan.”

“Untuk makan...?!” mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya..., untuk makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah makan dengan ini. Papa dan mama yang berikan itu untuk nenek kan?” tanyanya polos.

Keduanya bergidik. Allah Swt sungguh telah menegur mereka berdua lewat lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah menyia-nyiakan orang tua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari sesuatu yang menjijikan bagi mereka, yaitu batok kelapa.

Apakah anda masih menyia-nyiakan hidup orang tua?!

QIYAMULLAIL DO'A DAN INFAQ

Allah Swt adalah Tuhan alam semesta. Dialah Yang mengatur segala urusan makhluk di bumi maupun di langit. Dialah Tuhan Yang Mampu menghidupkan dan mematikan. Di tangan-Nya terletak segala kebaikan.

Beruntunglah manusia yang sungguh menjadi hamba-Nya. Hamba yang dicintai dan diridhai-Nya. Sehingga setiap tindak-tanduk, laku dan pekerjaan yang ia kerjakan akan selalu mendapat pertolongan-Nya.

Allah Swt berfirman . Yang Artinya :

“Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah nafilah (sunnah) hingga Aku jatuh cinta kepadanya. Bila Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran dimana ia mendengar. Aku akan menjadi penglihatan dimana ia menglihat. Aku akan jadi tangan dengannya ia menggenggam. Aku akan menjadi kaki dengannya ia berjalan.” HR. Bukhari.

Demikianlah manusia yang menjadi hamba Allah sekaligus mendapatkan kecintaan-Nya. Hidupnya akan penuh dengan berkah dan bahagia dunia serta akhirat.

Dalam banyak kesempatan, Allah Ta’ala menggambarkan kebiasaan para hamba-Nya yang shalihin. Seperti tergambar pada ayat berikut: yang artinya:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang Kami berikan.” QS. 32:16

Mengambil kesimpulan dari ayat di atas maka ada 3 cara kaum shalihin untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketiganya adalah: Qiyamullail, Berdoa dan Berinfak!

Ketiga hal ini, bila dijalankan dengan kesungguhan dan istiqamah maka akan mendatangkan kecintaan Allah Swt dan pertolongan-Nya.

Qiyamullail, merupakan sebuah ibadah shalat malam yang kedudukannya adalah satu tingkat dibawah shalat fardhu. Dia begitu utama dan amat dianjurkan. Sebab, pada saat itu Allah Swt turun ke langit dunia hanya untuk menjumpai para hamba-Nya yang shalih.

Rasulullah Saw bersabda,

"Jika telah berlalu pertengahan atau dua pertiga malam, Allah Swt turun ke langit dunia dan berfirman, ‘Adakah hamba-Ku yang meminta, pasti diberikan permintaannya. Adakah hamba-Ku yang berdo’a, pasti akan terkabulkan. Adakah hamba-Ku yang memohon ampunan, pasti akan diampunkan.’ Peristiwa ini terjadi hingga waktu Fajar datang.” HR. Muslim

Do’a, adalah sebuah hubungan komunikasi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Bagai sebuah mantra sulap, maka doa pun akan terkabulkan! Sebagaimana janji Allah Swt dalam ayat-ayat berikut:
“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” QS.2:186

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” QS. 40:60

Infak, adalah manifestasi rasa syukur seorang hamba atas anugerah Tuhan yang pernah ia terima. Infak ini pun akan membuat pertolongan Allah Swt segera datang kepadanya.

Rasulullah Saw bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya..., Barangsiapa menolong urusan saudaranya (berinfak/bersedekah), maka Allah akan menolong segala urusannya. Barangsiapa yang menyelesaikan sebuah kekalutan seorang muslim, maka dengannya Allah akan melenyapkan kekalutan dirinya pada hari kiamat...” Hadits Muttafaq Alaihi.

Ketiga cara ini merupakan sebuah metode yang sistemik untuk meraih pertolongan Allah Swt. Ia merupakan sebuah entitas utuh dan berwujud satu-kesatuan. Bila rangkaian 3 ibadah ini dilakukan secara bersamaan, maka Insya Allah pertolongan Tuhan pun akan terwujud.

Terdapat dalam kitab hadits Riyadhus Shalihin sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Siang itu seorang petani di kebun kurma meratapi kebunnya. Banyak sudah pohon yang tak menghasilkan disebabkan tanah kering tak punya air berkecukupan.

Tak lama kemudian ia mengambil sikap. Ia angkat kedua tangannya dan menengadahkan kepalanya ke arah langit. Ia pasrahkan kondisinya dan mengadukan permasalahannya kepada Tuhan Yang Teramat Kuasa. Lama ia lakukan itu sambil berdiri. Ia yakin bahwa Allah Ta’ala mendengarkan pintanya. Benar saja, Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan harapan serta permintaan hamba-Nya. Sejenak berselang, beberapa awan datang beriringan. Bagai ijabah atas do’anya, awan itu bergumul semakin tebal hingga berwarna kehitaman. Sang petani merasa girang. Ia tahu sebentar lagi akan turun hujan.

Namun sayang, seketika ia mendengar suara dari langit yang mengatakan, “Wahai awan, bergeraklah ke kebun si Fulan!” Sejurus kemudian, bergeraklah awan meninggalkan petani yang tengah berdiri di kebunnya.Gusar ia mendapati hal ini. Seolah tak menerima ketentuan, ia pun berlari mengikuti kemana awan itu pergi. Benar saja, akhirnya awan itu berhenti. Awan kemudian menurunkan segala air yang dikandungnya di atas sebuah kebun yang amat rimbun. Lebat pohonnya serta buahnya. Di kebun tersebut, air tidak pernah kekurangan. Si petani berdiri terdiam dengan rasa sesal dan tanda tanya.

Sejenak berselang, kemudian ia dapati ada sesosok pria yang ia duga adalah pemilik kebun beruntung. Di bawah derasnya hujan, si petani menghampiri pemilik kebun lalu mengucapkan salam kepadanya. Salam pun terbalas, dan pembicaraan pun dimulai.

Petani berujar, “Saudaraku, apakah anda bernama si Fulan (ia menyebut sebuah nama yang ia dengar dari suara yang bersumber dari langit)?!” Seolah kaget namanya telah diketahui oleh orang yang belum ia kenal, si pemilik kebun bertanya balik, “Dari mana anda tahu nama saya?” Maka petani pun menceritakan kisahnya. Usai menjelaskan, sang petani bertanya kembali kepada pemilik kebun, “Saudara, apa yang kau lakukan sehingga namamu disebut di langit dan rezekimu bisa datang berlimpah tanpa susah?”

Pemilik kebun menghela nafas. Sejenak ia berpikir, kemudian ia pun berujar, “Saudara..., tidak seorang pun yang mengetahui hal ini dan aku pun enggan memberitahukannya. Sebab engkau telah datang kemari dan mengetahui hal ini, aku pun akan menceritakan sebuah rahasia yang senantiasa aku lakukan.” “Apa itu, saudaraku?!” sang petani mengejar penuh rasa penasaran.

“Ketahuilah..., setiap kali tanah ini memberikan hasil, sepertiganya aku sedekahkan. Sepertiganya lagi aku makan bersama keluarga. Sementara sepertiga sisanya, aku kembalikan ke kebun ini sebagai tambahan modal. Itulah yang aku kerjakan, dan rupanya Allah Ta’ala memberi keberkahan.” pemilik kebun menjelaskan rahasianya.

Subhanllah! Rupanya inilah yang tidak dimiliki oleh si petani. Benar, ia telah berdoa kepada Allah Swt agar hujan membasahi kebunnya, dan Allah Swt pun mengabulkan perkenannya dengan mendatangkan awan. Namun keampuhan ibadah sunnah seperti qiyamul lail dan do’a belum akan terasa dampaknya, sebelum manusia melakukan infak atau sedekah di jalan Allah Swt. Maka awan pun memilih untuk bergerak dan menurunkan airnya bagi orang yang bisa mengerjakan ketiga cara ini sekaligus; Qiyamul Lail, Do’a dan Infak! Semoga saya dan Anda dapat melakukannya bersamaan. Amien.

JALAN MENDAKI PENUH PERJUANGAN

Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih pilihan hidupnya. Dia bebas menentukan jalan yang harus ditempuh. Hanya saja pada setiap pilihan, terdapat tanggung jawab atas pilihannya itu. Allah memberikan kepada manusia dua jalan (najdain) yang dapat dipilih , yaitu jalan kejelekan dan jalan kebaikan (najd al-syar dan najd al-khair). Bila jalan pertama yang ditempuh, masuklah ia ke dalam kesengsaraan, dan bila jalan kedua yang ditempuh, maka masuklah ia ke dalam kebahagiaan.

Meskipun manusia bebas memilih pilihannya, namun Allah menganjurkan agar yang dipilih adalah jalan kebaikan (najd al-khair). Jalan kebaikan itu dilukiskan sebagai jalan mendaki yang sulit (al-‘aqabah) (al-Balad:11). Hal itu karena untuk mendapatkan kebahagiaan, seseorang harus menempuhnya dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, baik dengan tenaga, harta, dan bahkan dengan jiwa.

Bukankah hidup adalah aqidah dan perjuangan (inna al-hayata ‘aqidah wa jihad), sebagaimana yang dikatakan seorang penyair Mesir, Syauqi Bek. Kita terkadang kurang sabar, ingin mengambil jalan pintas, mencari yang enak-enak, tanpa menyadari bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan harus didahului dengan perjuangan berat, menapaki jalan-jalan sulit yang penuh onak dan duri.

Di antara jalan mendaki yang sulit itu adalah (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan orang yang sedang dalam kelaparan, (3) memelihara anak yatim, (4) dan memperhatikan nasib fakir miskin.

Budak adalah gambaran dari seorang yang tidak memiliki kebebasan, berada dalam penindasan, terbelenggu dalam tekanan dan himpitan, baik berupa tekanan fisik, jiwa, mental, ekonomi, sosial, atau tekanan kekuasaan. Meskipun sekarang budak sudah tidak ada tapi orang-orang yang berada di dalam tekanan layaknya budak masih sering kita dapatkan di dalam masyarakat. Untuk membebaskan orang-orang yang berada di dalam tekanan sungguh merupakan perkara sulit yang membutuhkan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta tetapi terkadang jiwa pun ikut terancam. Maka membebaskan budak (orang yang berada dalam tekanan) termasuk jalan mendaki yang sulit (al-‘aqabah).

Memberi makan orang yang kelaparan adalah jalan kebaikan. Ketika ada orang yang sangat membutuhkan, sedang kelaparan, kemudian datang orang yang menolong, mengulurkan tangannya untuk memberi makan. Orang tersebut akan senang dan berterima kasih. Tidak semua orang yang kaya mau melakukan hal itu, karena dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang memerlukan, dia merasa hartanya akan berkurang, takut habis, dan hawatir jatuh miskin seperti orang yang hendak diberi. Maka kerelaan untuk membantu orang yang kelaparan merupakan sebuah pengorbanan yang sulit.

Anak yatim memang merupakan beban, karena yang tadinya menjadi tanggungan orangtuanya kini menjadi tanggungan kita. Beban itulah bagian dari jalan mendaki yang sulit (al-aqabah) yang akan mendatangkan kebahagiaan. Rasulullah SAW bersabda bahwa dirinya dan orang yang memelihara anak yatim itu nanti di surga ibarat dua jari yang saling berdekatan. Inilah gambaran betapa terhormat orang yang memelihara anak yatim.

Dalam masa krisis seperti sekarang ini, banyak sekali orang yang berada dalam kesulitan. Jumlah orang yang miskin semakin banyak. Banyak orang yang kehilangan rumah tinggal, keluarga, dan harta benda, akibat kerusuhan, dan bencana di beberapa tempat. Hari-hari sulit seperti ini mengundang kita untuk peduli kepada mereka, meskipun kita sendiri juga mendapatkan kesulitan. Bila kita rela berkurban untuk mereka dengan memberikan sebagian harta untuk meringankan beban mereka, walau terasa sulit, maka Allah akan memberi balasan besar.

Kemudian yang terpenting dari apa yang telah diinfaqkan adalah bahwa perbuatan itu dilakukan atas dasar iman yang kuat dalam dada, bukan karena ingin mendapatkan sanjungan dari orang. Perbuatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan demi mendapatkan ridha dari Allah. Amal kebaikan itu dilakukan dalam rangka mengajak orang lain yang sedang berada dalam kesulitan untuk lebih bersabar dan tabah dalam menjalani hidup. Kemudian melakukannya dalam rangka memupuk rasa kasih sayang dan saling tolong menolong. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya menyantuni yang miskin, yang pandai mengajari yang bodoh dan seterusnya.


*)Di tulis oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Monday, September 22, 2008

MEMBENCI SIKAP LALAI

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dari shalatnya”. Q.S. al-Ma’un/107: 4-5.

Salah satu penyebab kecelakaan kita, sebagaimana disinyalir oleh ayat di atas adalah karena kita lalai dalam melaksanakan shalat. Kita lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat pemenuhan materi dan cenderung untuk memuaskan nafsu sesaat. Kita lebih cenderung mengejar kesenangan duniawi. Namun kita lalai akan kewajiban kita kepada Tuhan, lalai mengerjakan shalat, dan lalai kepada Tuhan.

Dalam ayat tersebut Allah menggunakan istilah “Sâhûn” (orang-orang yang lalai) dan bukan “Nâsûn” (orang-orang yang lupa). Hal itu tentu karena lalai (sahwân) mempunyai makna yang berbeda dengan lupa (nisyân). Lalai (sahwân) mengandung unsur kesengajaan dan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa memang perbuatan itu sengaja disia-siakan, tidak dihiraukan, dan sengaja diabaikan. Sedangkan lupa (nisyân) mengandung unsur ketidaksengajaan dan bukan karena suatu kesadaran untuk melaksanakannya. Itulah maka, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa qalam (pena) Allah diangkat (tidak dipergunakan untuk mencatat) amalan seseorang ketika berada dalam tiga kondisi; salah satunya adalah seorang yang lupa hingga ingat kembali. Seorang yang lupa, dia akan bebas dari risiko perbuatannya karena di luar kesadaran dirinya. Hal itu berbeda dengan seorang yang lalai, dia akan diberi sanksi atas keteledorannya itu.

Inti dari teguran Allah terhadap orang yang lalai shalat, sebagaimana yang tersebut dalam ayat di atas, adalah berkenaan dengan tidak ada kesungguhan dalam berbuat. Karena shalat tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sungguh-sungguh penting, maka ia mudah dilalaikan, lantas mendahulukan perbuatan yang lain. Bila terdapat perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap pekerjaan, maka pekerjaan itu tidak akan terabaikan.

Allah tidak menghendaki kita untuk melakukan suatu pekerjaan dengan asal jadi, tanpa kesungguhan dan ketelitian, yang mengakibatkan kita menjadi lalai. Setiap perbuatan harus didasari niat yang kuat, mempunyai tujuan yang jelas, dan mempunyai pengaruh yang pasti. Sebagaimana kita baca dalam pembukaan shalat: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah”. Tujuan utama dari setiap perbuatan adalah mendapatkan ridha dari Allah dan kemudian perbuatan itu membuahkan natîjah, hasil (pengaruh) berupa kebaikan untuk pribadi dan masyarakat sekitar, atau mengambil dari contoh pengaruh shalat, dapat mencegah dari keji dan mungkar (tanhâ ‘an al-fakhsyâ’ wa al-munkar).

Itulah gambaran sebuah kalimah thayyibah (kalimat yang baik, yang mencakup di dalamnya ucapan dan berbuatan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, serta semua perbuatan baik) yang dilukiskan oleh Allah sebagai sebuah pohon rindang, akarnya kokoh menghunjam jauh ke dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke angkasa. Pohon itu menghasilkan buah yang baik setiap waktu. Hal itu berbeda dengan gambaran kalimah khabîtsah (kalimat yang jelek, yang mencakup ucapan, tindakan dan semua perbuatan yang tidak baik) yang diibaratkan sebagai pohon buruk yang telah tercerabut beserta akar-akarnya dari permukaan bumi, sehingga ia tidak dapat tegak berdiri.

Terjadinya berbagai kekacauan, pertikaian antar keluarga, masyarakat, sampai para elit penguasa, tidak lain adalah merupakan buah (natîjah) dari tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori kalimah khabîtsah di atas. Kita sering lalai pada pekerjaan kita. Kurang memahami mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita telah terjebak dalam kesulitan memilih mana prioritas dan mana yang tidak.

Yang prioritas dilalaikan begitu saja demi mengejar sesuatu yang tidak jelas. Hanya dengan kesungguhan dan perhatian penuh pada setiap perbuatan, kesuksesan itu dapat diraih, baik kesuksesan duniawi maupun kesuksesan ukhrawi. Semoga dengan kesungguhan itu kita dapat terhindar dari kelalaian, mampu memilah antara kebaikan dan kejahatan, dan akhirnya meraih kesuksesan dunia akhirat. Allah berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. Fushshilat/41: 34).


*) Ditulis oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Sunday, September 21, 2008

ISTIGHFAR MEMBUKA PINTU REZEKI

“Dan hendaklah kalian meminta ampun (beristighfar) kepada Tuhan dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan keutamaan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan…” (QS. Huud {11}:3)

Mohon ampun kepada Allah. Taubat. Istighfar. Itulah ikhtiar kita! Sebuah usaha yang jarang ditempuh oleh kebanyakan orang. Ikhtiar yang menurut kebanyakan manusia, termasuk juga saya hanya akan mendatangkan maghfirah dan ampunan Allah Swt. Namun siapa disangka, saat manusia membutuhkan karunia Allah Yang Maha Kaya…. Saat nafkah terasa berkurang… mungkin saja karena disebabkan kita belum menyambut ‘ampunan’ Allah Swt. Ya, ampunan-Nya! Maka itu dapat mendatangkan karunia Tuhan bagi kita semua!

Teringat kisah baginda Nabi Muhammad Saw. Kali itu, beliau memutuskan untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 10 Hijriyah. Begitu mendengar Sayyidul Mursalin berniat melaksanakannya, para sahabat yang berada di Madinah pun turut serta untuk mengerjakan haji sebagai rukun Islam yang terakhir. Subhanallah! Rombongan yang ikut dalam ritual haji tersebut mencapai angka lebih dari 120 ribu manusia.

Dengan jumlah rombongan sebanyak itu, atas izin-Nya kota Mekkah yang berada di bawah kekuasaan kafir Quraisy dapat ditaklukkan dengan amat mudahnya dan nyaris tanpa pertumpahan darah. Lebih hebatnya lagi, banyak penduduk Mekkah yang menyatakan masuk ke dalam agama Allah Swt dengan berbondong-bondong.
Namun kala itu, turunlah sebuah surat singkat yang diwahyukan kepada baginda Nabi Saw yang berbunyi:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. An Nashr {110}:1-3)

Siapa yang pernah menyangka…? Mungkin tiada terbayang dalam benak kaum muslimin saat itu yang hanya berniat untuk berhaji untuk mendapatkan anugerah yang luar biasa dan tiada terduga; yaitu penaklukan kota Mekkah & para penduduknya masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Ini adalah karunia yang tiada terbilang harganya! Karunia tersebut didapatkan karena istighfar mereka. Karena permohonan ampun mereka atas segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat! Tidakkah kita perhatikan di ayat terakhir pada surat tersebut? Setelah Allah Swt memberitahukan tentang penaklukan kota Mekkah & masuk Islamnya penduduk kota tersebut, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dan kaum muslimin secara menyeluruh untuk bertasbih juga memohon ampunan (beristighfar) kepada-Nya? Ya, memohon ampunan Allah! Sebelum dan sesudah kesuksesan itu datang. Sebelum dan sesudah prestasi diraih. Meminta ampunan-Nya untuk menjemput karunia-Nya dan mendapatkan kemuliaan serta keutamaan sebagaimana dijanjikan dalam QS. 11:3

Dalam tafsir Al Qurthubi disebukan sebuah riwayat dari Ibnu Shubaih bahwa ada seorang pria datang kepada Al Hasan Al Jadubah mengeluhkan permasalahannya. Maka Al Hasan memberi jawaban, “Beristighfarlah kepada Allah!” Lalu ada orang lain yang mengeluhkan rezeki yang sulit, maka Al Hasan menganjurkan, “Beristighfarlah kepada Allah!” Kemudian ada seorang perempuan yang datang kepada Al Hasan mengadukan bahwa dia belum dikaruniai anak. Al Hasan pun memberi jawaban yang sama. Ada lagi orang yang mengeluhkan padanya bahwa kebunnya kurang air, Al Hasan pun masih memberikan jawaban serupa. Maka kami pun bertanya kepada Al Hasan tentang jawaban yang sama itu dalam menghadapi masalah yang beragam. Maka ia menjawab, “Itu semua bukan aku yang jawab. Namun itulah jawaban Allah yang tertuang dalam surat Nuh:10-12.”

Tidakkah Anda melihat dalam riwayat tersebut bahwa istighfar dapat menyelesaikan banyak masalah? Karenanya, jika Anda merasa hidup sulit.. banyak masalah dan rezeki sempit… tidakkah kita mencoba resep Nabi Saw? Sebuah amalan yang amat mudah dan gampang untuk dikerjakan. Tiada lain amalan tersebut adalah istighfar (memohon ampunan) kepada Allah Swt.
Beliau Saw bersabda,

“Siapa yang membiasakan beristighfar (memohon ampun kepada Allah), maka Allah akan memudahkan baginya: 1) Jalan keluar dari setiap kesempitan, 2) Kemudahan dalam setiap kepanikan, 3) Rezeki dari Allah Swt lewat jalan yang tidak pernah terduga.” HR. Abu Daud

Maka, cobalah kebiasaan baik ini dalam hidup Anda yang tersisa. Beristighfar kepada Allah Swt dalam sehari-semalam sebanyak 100 kali. Ucapkanlah.... Astaghfirullahal Azhim... (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), atau dengan ucapan istighfar lain yang Anda ketahui, maka Anda akan dapati bahwa saat ampunan Allah Swt itu sudah Anda rasakan, maka kenikmatan yang diberikan kepada Anda akan semakin berlimpah-limpah dan banyak keutamaan serta keistimewaan yang Dia berikan kepada Anda. Ya, Anda... hamba-Nya yang suka mencari ampunan dari-Nya. Semoga bermanfaat!(asy/asy)

Thursday, September 18, 2008

POSITIVE THINKING

“Kalau saja kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia memberimu rizki sebagaimana Dia memberi rizki kepada burung. Di pagi hari burung itu pergi (mencari rizki) dengan perut kosong, dan datang pada sore hari dengan perut kenyang”. H.R. al-Tirmidzi.

Sebuah ungkapan yang baik sekali disampaikan oleh Rasulullah SAW. bahwa dalam hal bertawakkal kita disuruh untuk belajar dari perilaku burung. Burung itu dengan riang gembira, berkicau merdu di pagi hari sebelum menunaikan tugasnya mencari nafkah, dengan suatu harapan akan menghasilkan rizki yang cukup dalam kepergiannya nanti. Tidak ada rasa khawatir, bimbang dan sedih walau anak-anak dan dirinya sendiri masih lapar. Pada sore hari, setelah terbang ke sana kemari mencari rizki, akhirnya burung tersebut dapat mengisi perutnya bahkan ada yang dapat dibawa ke rumah untuk anak-anaknya. Demikianlah dilakukan burung setiap hari.

Seekor binatang yang tidak mempunyai akal mampu bekerja dan menghasilkan suatu hasil yang baik karena bekerja dengan penuh tawakkal. Manusia yang mempunyai pikiran untuk menabung, mengeksploitasi, membudidayakan, atau memproduksi justru sering kehilangan kepasrahan dirinya kepada Allah. Bahkan tidak jarang mereka mempunyai negative thingking (suudzan) kepada Allah, ketika usaha kerasnya belum membuahkan hasil yang nyata. Manusia gampang sekali bersedih ketika perutnya kosong, ketika badannya sakit, ketika usahanya gagal, dan ketika jabatannya hilang.

Hal demikian diungkapkan dalam sebuah ayat: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila dia mendapatkan kebaikan ia amat kikir”. (Q.S. al-Ma’ârij/70: 19-27).

Resep mujarab yang diajarkan oleh Rasulullah agar kita tidak mudah susah adalah dengan melatih diri untuk bertawakkal, yaitu memasrahkan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Kita dituntut bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin, dan berjuang tanpa henti. Setelah itu kita serahkan segala hasilnya kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Tawakkal tentu bukanlah berpangku tangan, bermalas-malasan, dan hanya menengadakan tangan meminta-minta.

Kita dituntut untuk selalu berpikiran positif (husnudzan) dalam hidup, tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah, dan tidak berkeluh kesah. Bila pikiran positif yang selalu ada dalam diri kita, maka kita tidak mudah berburuk sangka, walau mungkin saja ada suatu musibah yang menimpa kita. Pikiran positif artinya memandang segala yang terjadi pada kita dengan pandangan yang baik. Apabila ada nikmat yang diberikan, maka selalu disyukuri dan apabila ada musibah yang menimpa selalu dihadapi dengan tabah.

Begitulah yang dilakukan para nabi dan para wali Allah. Oleh karena itu ketika siksa bakar diberikan kepada Nabi Ibrahim, dan serangan kaum musyrikin ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW., mereka tetap bertawakkal sambil berucap: Hasbunallâh wa ni’mal wakîl (cukuplah bagi kami Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik wakil)”, lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh (tiada daya dan kekuatan kecuali bagi Allah). Kita dianjurkan untuk selalu berdoa dengan do’a tersebut agar kita ditolong Allah di saat-saat paling sulit sekalipun.

Kegagalan kita dalam berusaha dan membangun diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa kita, jangan-jangan karena watak saling mencurigai yang selalu kita kembangkan. Kita mudah sekali mencurigai orang, berburuk sangka, pada setiap prestasi yang dikembangkan oleh orang lain. Kita mudah sekali menuduh orang lain sebagai sumber masalah, sumber malapetaka dan sumber bencana.

Watak jelek itu bahkan tidak jarang kita tuduhkan kepada diri sendiri dan kepada Pencipta kita. Bila pikiran negatif yang kita kembangkan, maka seorang yang datang dengan tulus memberi makanan, umpamanya, pasti akan dicurigai secara negatif. Kenapa tidak kita kembangkan sikap baik sangka dengan menggunakan pikiran positif dan membuang jauh-jauh semua pikiran negatif. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang selalu curiga kepada orang lain, dia akan mati dengan sia-sia”. Dengan berpikiran positif kita dapat hidup damai, tenteram, dan bahagia. Tapi dengan berpikir negatif kita selalu susah, gelisah, dan sengsara. Wallâhu A’lam.

HAMBA YANG BERSUJUD

“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang kami berikan.”Q.S. al-Sajdah/32: 15-16.

Sesungguhnya seluruh makhluk Allah itu tunduk dan takluk kepada kekuasaan Allah. Manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk Allah lainnya pasti takluk dan tunduk pada aturan-aturan dan sunnah-sunnah yang dibuat-Nya. Bahkan orang yang mencoba melawan Allah bahkan mengingkari kekuasaan-Nya, pada akhirnya takluk dan tunduk pada kekuasaan-Nya.

Dia tidak bisa menolak ketika Allah menghendakinya jatuh bangkrut, menderita sakit, mendapat berbagai musibah, bahkan melawan kematian. Hanya saja ada segolongan manusia yang tunduk kepada Allah karena kepatuhan (thaw’an), dan ada yang tunduk kepada-Nya karena keterpaksaan (karhan).
Allah berfirman: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (Q.S. Ali Imrân/3: 83. Juga firman-Nya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Q.S. al-Ra’d/12: 15).

Persoalannya kemudian adalah apakah kita tunduk, dan takluk kepada Allah karena kepatuhan, ataukah karena keterpaksaan. Yang pertama itulah hakekat seorang muslim, seorang yang dengan kepatuhannya menyerahkan dirinya hanya kepada Allah. Sedangkan yang kedua, itulah hakekat seorang kafir yang tunduk karena terpaksa, hendak menentang Allah tapi sia-sia belaka.

Di dalam al-Quran, kata-kata ketundukan setidaknya disebutkan dalam lima bentuk kata-kata, yaitu: al-islâm (tunduk pasrah) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 133 kali, al-thâ’ah (tunduk setia) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 129 kali, al-sujûd (tunduk merendah) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 80 kali, al-khusyû’ (tunduk penuh konsentrasi) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 17 kali, dan al-khudhû’ (tunduk patuh) disebutkan dua kali.

Seseorang yang telah menundukkan diri kepada Allah dengan menyerahkan dirinya kepada Allah (yuslim wajhahu ila Allah), adalah orang yang telah berpegang teguh kepada ikatan yang kuat (al-urwah al-wuthqa) (Q.S. Luqman/31: 22). Ikatan itu adalah ikatan aqidah, ikatan iman. Hidupnya diikatkan dengan keyakinan yang kuat kepada Allah Yang Menciptakan dan Yang Memeliharanya. Sehingga oleh karenanya dia akan memiliki pendirian yang teguh, prinsip yang kuat dalam menjalani roda kehidupan, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai godaan-godaan duniawi yang memesonakan.

Orang yang tunduk sujud itu dialah yang sanggup untuk selalu bertaubat atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, selalu berupaya untuk menjalankan hidup dalam pengabdian kepada Allah, pandai bertasbih kepada-Nya, ruku’ dan sujud dilakukan dengan ketulusan tiada henti, menjalankan tugas dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, serta memelihara dan menerapkan Syari’ah Allah (Q.S. al-Taubah/9: 18). Oleh karenanya dialah orang yang mempunyai kemampuan untuk selalu berdzikir kepada Allah dengan membaca ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah, baik al-ayat al-Qur’aniyah (ayat-ayat al-Quran), maupun al-ayat al-kauniyyah (tanda-tanda alam ciptaan-Nya).

Dia selalu mengadakan kontemplasi, perenungan, dan tadabbur, dengan cara khusyu’ dalam shalat, dzikir, dan doa, selalu dalam al-khauf dan raja’ (khawatir amalannya tidak diterima dan mendapat murka dari Allah, serta penuh pengharapan akan ridha dan kasih sayang-Nya). Selain itu seorang muslim yang selalu tunduk bersujud itu berupaya selalu berbagi (al-infaq) dari nikmat, rizki, karunia yang diberikan Allah kepadaNya; maka dia tidak malas untuk menjalankan perintah zakat, anjuran shadaqah, wakaf, dan membagi yang dimiliki.

Semoga kita dapat menjadi hamba Allah yang terus tunduk patuh karena kesetiaan dan bukan karena terpaksa, dengan terus berusaha membaca tanda kekuasan Allah, selalu mengadakan kontemplasi dan perenungan, serta pandai berbagi kepada sesama. Dengan cara itulah kita menjadi hamba Allah yang dicintai, hambanya yang selalu dalam al-islam, al-tha’ah, al-sujud, al-khusyu’, dan al-khudhu’. Semoga.
Wallahu a’lam bi al-shawab.


*)Ditulis Oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar(asy/asy)

Tuesday, September 16, 2008

Rahasia Sholat 5 Waktu

Ali bin Abi Talib r.a. berkata, “Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, ‘Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.’

Lalu Rasullullah SAW bersabda, ‘Silahkan bertanya.’
Berkata orang Yahudi, ‘Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya. Shalat Isyak itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.’

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari rasullullah saw, lalu mereka berkata, ‘Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.’

Rasullullah SAW bersabda, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.’

Sabda Rasullullah saw lagi, ‘Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.’

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.’

Sabda Rasullullah saw seterusnya, ‘Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:

1. Dibebaskan daripada api neraka.
2. Dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, ‘Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, kenapakah Allah S.W.T mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?’

Sabda Rasullullah saw, ‘Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah S.W.T mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari.
Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah S.W.T kepada makhluk-Nya.’

Kata orang Yahudi lagi, ‘Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah S.W.T, dia akan diberikan oleh Allah S.W.T 7 perkara:

1. Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
2. Rahmat Allah senantiasa dekat dengannya.
3. Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
4. Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
5. Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
6. Diberikan cahaya oleh Allah S.W.T pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
7. Allah S.W.T akan memberinya kemudian di syurga.’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).’

Sedikit peringatan untuk kita semua: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Berlomba-Lomba Berbuat Kebajikan

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa adalah Nabi Muhammad SAW itu orang yang sangat dermawan, dan kedermawanannya itu lebih lagi ketika datang bulan Ramadan. Dalam riwayat al-Baihaqi disebutkan bahwa bila datang bulan Ramadan, beliau suka membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta. Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Dermawan, cinta kepada kedermawanan dan Maha Pemurah, cinta kepada kemurahan hati”. H.R. Tirmidzi.

Di bulan Ramadan ini, kita diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk banyak beramal, mendermakan apa saja yang kita miliki. Bagi para hartawan, maka sekarang ini saat yang sangat tepat untuk membagi-bagikan harta kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Bagi para ulama, kini saatnya untuk menyebarkan ilmunya kepada orang lain agar memahami agama secara baik. Dan bagi siapa saja, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seharusnya mempergunakan kesempatan yang sangat berharga ini untuk berlomba-lomba mencari keutamaan Allah dengan banyak bederma dengan apa yang dimiliki, mungkin dengan harta, ilmu, tenaga, pikiran, doa, atau hal lain yang bermanfaat.

Betapa Allah mengistimewakan bulan Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah, sepuluh hari pertamanya adalah rahmah (limpahan kasih sayang Allah), sepuluh hari kedua adalah maghfirah (diampuninya segala dosa), dan sepuluh hari ketiga adalah itqun min al-nar (pembebasan dari siksa neraka). Bila satu kebaikan di luar Ramadan dibalas sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat balasan kebaikan, maka di bulan Ramadan amal kebaikan itu akan dibalas jauh lebih banyak dari itu semua.

Rasulullah SAW memberikan gambaran tentang pahala orang yang berbuat baik di bulan Ramadan, bahwa memberi makanan kepada satu orang untuk berbuka puasa pahalanya sama dengan orang yang berpuasa itu sendiri. Bagaimana pula bila kita mampu memberi makan dua orang, tiga orang, dan seterusnya. Lebih dari itu, bagaimana pula kalau kita mampu memberikan bukan sekedar makanan, tapi lebih dari itu, kita sanggup memberi pakaian, tempat tinggal, ilmu pengetahuan, keamanan, ketenteraman, kenyamanan, pencerahan dan sebagainya. Tentu Allah akan membalasnya dengan balasan yang tak terhingga.

Mestinya kita bercermin kepada diri kita dengan meneladani perilaku Rasulullah. Kita diajak untuk selalu melakukan perenungan dengan selalu melakukan muhasabah (introspeksi) diri. Bila beliau lebih banyak bederma di bulan Ramadan, akankah kita mengikutinya dengan memperbanyak bederma. Bila diluar Ramadan kita bersedekah dengan satu piring nasi, akankah kita bersedekah dengan sepuluh atau dua puluh piring nasi. Bila yang lalu kita pernah membantu menyekolahkan sepuluh anak yatim, akankah sekarang melakukan hal yang sama kepada lima puluh atau seratus anak yatim. Bila kita telah menyantuni 100 fakir miskin, akankah sekarang menyantuni dengan yang lebih banyak.

Umat Islam akan tumbuh dengan baik bila kesadaran untuk saling berlomba dalam kebajikan semakin tinggi, rasa tolong menolong ditingkatkan, dan kepekaan terhadap sesama terus ditingkatkan. Ramadan yang penuh berkah inilah tempat terbaik menggembleng diri untuk melakukan semua itu, dengan suatu harapan semoga kita dapat melanjutkan amal kebaikan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan, dan semua keluar dari bulan ini dengan membawa taqwa yang terkandung di dalamnya kecintaan untuk berbuat baik kepada orang lain.

Mengendalikan Amarah.

Salah satu sifat yang melekat pada setiap manusia adalah marah. Sifat marah adalah luapan kekecewaan, kekesalan dan kebencian yang kemudian ditumpahkan dengan perasaan, ekspresi wajah, gerak tubuh, kata-kata dan tindakan. Terjadinya sifat marah dapat diakibatkan sakit hati, kekesalan dan rasa kecewa. Contohnya seseorang yang dihina oleh orang lain, maka bisa muncul sifat marah pada orang yang dihina tersebut.

Setiap manusia diperbolehkan marah, selama kemarahan itu wajar dan terkendali. Bukan kemarahan yang berlebihan, tanpa kendali dan tidak proporsional. Betapa banyak manusia tidak mampu mengendalikan marah. Contohnya seorang Ibu yang memerintahkan anaknya untuk belajar, tapi karena anaknya tidak mau mengikuti perintah ibunya tersebut, maka Sang Ibu memarahi anaknya sambil merobek buku pelajaran Sang Anak. Atau kasus seorang suami yang meminta istrinya memasak makanan kesukaan Sang Suami, tapi karena istrinya tidak melakukannya, maka Sang Suami menampar dan menendang Sang Istri, sambil membanting perlengkapan masak.

Pada kasus lain terjadi seorang istri bertengkar dengan suaminya karena cemburu, dalam pertengkaran tersebut sampai terjadi suami melemparkan piring ke arah istrinya, sementara istri melemparkan gelas ke arah suaminya. Bahkan pintu kamar istrinya juga ditendang sampai jebol oleh suaminya.

Atau dalam peristiwa lain, gara-gara ada pertunjukan musik dangdut di sebuah pernikahan, saat berjoget, seorang pengunjung menyenggol pemuda lainnya. Akhirnya terjadi perkelahian massal yang mengakibatkan 5 orang luka parah dengan darah mengucur di sekujur tubuh dan 10 orang luka ringan.

Bahkan dalam peristiwa lain terjadi, gara gara ada seorang pemuda naksir pada seorang pemudi di sebuah kampung. Kemudian pada saat pemuda itu apel ke rumah pemudi, ditegur oleh sekelompok pemuda di kampung tersebut. Akhirnya terjadi perkelahian, dan sang pemuda yang apel itu pulang ke kampungnya memberitahukan kepada pemuda lainnya. Akhirnya terjadilah tawuran massal antar kampung yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia, 17 orang luka-luka dan 10 bangunan rumah dan 2 buah sepeda motor terbakar hangus.

Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi dan akibatnya lebih besar daripada kasus-kasus di atas. Kalau kita telaah kasus-kasus di atas, maka kita melihat bahwa sifat marah yang disebabkan oleh sesuatu yang sebenarnya sederhana, telah ditumpahkan dalam bentuk kemarahan yang berlebihan dan tidak proporsional.

Bentuk berlebih-lebihan dalam kasus di atas misalnya adalah hanya karena anak tidak mau diperintahkan belajar, buku pelajaran anak dirobek-robek. Padahal apa kesalahan buku terhadap orang tua yang marah itu ? Atau kenapa istri yang dimarahi oleh suami, tetapi perlengkapan masak dibanting ? Atau kenapa hanya karena cemburu pada suami, piring dan gelas harus dilemparkan dan pecah ? Kesalahan apa yang telah dibuat oleh perlengkapan masak, piring dan gelas ? Atau kenapa pintu harus ditendang sampai rusak ? Apa salah pintu pada Sang Suami ? Kenapa hanya karena tersenggol orang lain, 15 orang harus terluka ? Atau hanya karena ditegur karena apel, mengapa sejumlah orang harus meninggal dan luka-luka ? Mengapa harus sekian rumah dan motor yang harus terbakar ? Itulah fakta-fakta kemarahan yang tidak terkendali.

Kemarahan yang tidak terkendali hanya menimbulkan penderitaan, rasa kebencian, dendam, jatuhnya sasaran kemarahan yang serampangan dan korban yang jauh lebih besar daripada penyebab kemarahannya.

Allah SWT berfirman yang artinya :
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak baik pada waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-Imran : 134)

Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Bukanlah orang kuat itu yang kuat dalam berkelahi, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalika hawa nafsunya ketika marah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda :

“Barangsiapa menahan amarahnya, maka Allah akan menahan siksa-Nya…” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Imam al-Ghazali menyebutkan tingkatan manusia dikaitkan dengan kemarahannya, dapat dikelompokkan kepada tiga jenis, yaitu :

1. Tafrith, yaitu orang yang tidak memiliki kemarahan sama sekali atau hilang marahnya. Dia serba tak acuh terhadap segala yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan terhadap segala penghinaan, penyelewengan agama sekalipun dia tidak memiliki sifat marah sama sekali.

2. Ifrath. Yaitu orang yang berlebih-lebihan dalam kemarahannya. Orang ini hanya disebabkan oleh satu kesalahan sedikit atau kekecewaan sedikit saja yang disebabkan orang lain, maka dia akan marah tanpa kendali. Kata-katanya kotor, gayanya menyeramkan, tindakannya kasar dan kejam, segala sesuatu akan menjadi sasaran kemarahannya.

3. I’tidal, yaitu orang yang mampu mengendalikan amarah, ketika muncul. Orang ini kalau marah mudah memaafkan. Dan penyebab kemarahannya juga adalah sesuatu yang sudah keterlaluan, termasuk penghinaan agama dan perendahan derajat manusia secara berlebihan.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa orang kelompok ketigalah yang terbaik.

Rasulullah SAW memberiken kiat kepada kita untuk mengendalikan amarah :
Kalau kita sedang berdiri lalu marah, cobalah duduk untuk mengurangi marah.
Kalau kita sudah duduk masih marah juga, cobalah berbaring.
Kalau sudah berbaring, masih marah juga, maka cobalah berwudhu.
Kalau setelah berwudhu masih marah juga, maka kita dianjurkan untuk sholat sunnat mutlak, yang disertai doa agar Allah menurunkan amarah.

Semoga Allah, menjadikan kita manusia yang pandai mengendalikan amarah. Amiin..!

BEKERJALAH UNTUK ISLAM

Seorang pria bernama Ahmad hari itu menjumpai kebuntuan. Kebuntuan jalan hidup demi menafkahi anak dan istrinya. Sudah 3 bulan lebih ia hidup tak berpenghasilan. Hampir setiap hari anak-anaknya menangis karena ingin minum susu, sementara istrinya suka menjerit histeris karena kalut dan panik akibat himpitan hidup.

Ahmad bukanlah orang yang gampang berpangku tangan, ia terus mencoba peruntungan hidup. Namun dunia modern yang selalu menilai manusia dari pengalaman pendidikan membuat dirinya yang hanya lulusan SMU selalu kalah terhempas oleh para pesaing pencari rezeki yang lebih ‘beruntung’ karena berpendidikan setingkat atau dua di atasnya.

Ahmad tidak mengerti mengapa rezeki diukur dari hal sedemikian. Mengapa ia, istri dan anaknya harus menanggung beban hidup sedemikian. Hanya karena kesialan akademika, maka seluruh rencana hidup manusia sudah ditentukan oleh manusia lainnya.

Pagi itu, Ahmad mencoba mencari nafkah Tuhan. Ia keluar rumah. Namun ia tak mengerti hendak pergi kemana, entah!! Ia berjalan dengan tatapan mata sayu. Tidak ada lagi sepeser rupiah pun di koceknya. Ia terpaksa keluar rumah. Sebab di rumah, hanya akan membuat kepalanya bertambah pening dan telinganya pekak akibat raungan dan jeritan isrti serta anaknya. Ia keluar rumah hari itu mencoba peruntungan nasib, setelah sebelumnya ia sempatkan berdoa sejenak dalam kedamaian hati kepada Allah SWT Sang Maha Pemberi rezeki agar ia dicukupkan nafkah pada hari ini.

Ia berjalan sambil menunduk. Tak ada daya baginya untuk menegakkan kepala sedikitpun. Dalam benaknya, ia terus berpikir hendak kemana ia pergi mencari nafkah?

Memang Allah Maha Pemurah!!
Setelah berjalan menyusuri bumi yang telah Allah Ta’ala tundukan untuk manusia, maka matanya tertumpu pada sebuah koin kuno yang ia dapati tertanam di tanah dan tidak diindahkan oleh kebanyakan manusia.

Ahmad memungut koin tua tersebut. Ia dapati dalam koin tersebut angka 1954 yang menunjukkan tahun pembuatannya. Ia berpikir sejenak bahwa umur koin ini lebih tua dari dirinya sendiri yang belum genap 30 tahun.

Seolah mendapat anugerah yang besar, Ahmad berjalan cepat menuju pasar. Sesampainya di sana, ia masuk ke sebuah bank.

Karena ketidak-tahuannya, Ahmad berkata kepada salah seorang teller bank, “Mbak, saya mau jual koin kuno ini?” Ahmad mengeluarkan benda yang dimaksud dari kantong celana sebelah kanan, lalu ia sodorkan kepada teller bank tersebut.

Sang teller merasa aneh, kalau saja ia tidak melihat mimik kesungguhan orang yang mengeluarkan koin tersebut, pasti ia sudah meledakkan tawa seraya mengejek. Dengan lembut sang teller berkata, “Bapak…, di bank ini kami tidak memberikan pelayanan jual-beli mata uang kuno. Bila bapak hendak menjualnya, saya bisa tunjukan kepada bapak sebuah toko kolektor uang kuno yang ada di pasar ini, dan bapak dapat menukarkannya di sana…”

Setelah mendapatkan arah toko tersebut, Ahmad pun meninggalkan bank untuk pergi ke tempat yang dimaksud.

Allah Sang Maha Pengasih tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha yang dilakukan para hamba-Nya!!!

Akhirnya, Ahmad tiba di toko kolektor uang kuno. Setelah pembicaraan singkat, tanpa diduga sang pemilik toko menaksir uang kuno itu dengan harga Rp 30 ribu. Alangkah senang hati Ahmad! Ia sempat memuji Allah Swt yang begitu pemurah dan memberikan padanya uang sebanyak itu di saat mendesak seperti ini.

Dengan rahmat-Nya, Allah masih memberikan ilham pada Ahmad agar uang tersebut tidak habis dikonsumsi.

Sambil berjalan menuju pulang, ia sempat melintasi sebuah pabrik kayu. Terbersit olehnya, untuk membeli potongan-potongan kayu bekas untuk dijadikan lemari buat di rumah. Lalu dengan uang yang ada ia coba berbicara kepada pemilik pabrik kayu itu untuk membeli beberapa potong kayu bekas. Tanpa disangka, Allah Swt masih menunjukan kemurahan-Nya. Dengan uang sejumlah sedemikian, ia dapatkan banyak potongan kayu lagi bagus kualitasnya. Pemilik pabrik berkata, “Ambillah sebanyak bapak suka… toh kayu-kayu yang bapak minta memang biasa kami buang sebagai limbah!”

Terbayang dibenak Ahmad bahwa ia dapat membuat lemari bagi keluarganya dengan kayu-kayu tadi. Saat berjalan menuju pulang dengan senyum terkulum, Ahmad melintasi sebuah toko meubel. Tanpa ia tahu, rupanya pemilik toko meubel itu memperhatikan kayu-kayu yang dibawa Ahmad sejak dari kejauhan.

Begitu melintas di mulut toko, sang pemilik menegur Ahmad, “Kayu-kayu itu mau dijual, pak...?”

Ahmad menoleh ke arah sumber suara dan setelah berpikir sejenak ia katakan, “Tidak pak, kayu ini hendak saya jadikan lemari buat di rumah.” “Oh… kalau bapak mau lemari, tukarkan saja kayu-kayu tersebut dengan lemari yang saya jual! Tapi, bapak sendiri mau gak?” Ahmad mencoba melongok beberapa lemari yang ada dalam toko tersebut. Ia sedikit bergidik sambil bertanya dalam hati, “Mau ditukarkan dengan lemari yang mana?” Dengan menghela nafas agak dalam sedikit, Ahmad memberanikan diri untuk bertanya, “Memangnya bapak mau bayari berapa kayu-kayu saya ini?” Pemilik toko itu menukas, “Bagaimana kalau dengan seratus ribu, tapi saya bayar dengan lemari yang ada ya pak?” Mendengarnya Ahmad berdecak kagum. Ia bersyukur dalam hati, begitu pemurahnya Allah Tuhan Sang Maha Pemberi Rezeki. Ia tidak mengira bahwa kayu-kayu yang dibawanya ditaksir dengan harga Rp 100 ribu.

Lalu Ahmad memilih lemari yang ia suka. Sebuah lemari dua susun setinggi 1 meter! Karena tidak terlalu besar, ia pun membopong lemari tersebut ke rumah. Ia bawa lemari seharga seratus ribu itu dengan perasaan senang. “Istriku pasti bahagia begitu melihat lemari ini!” gumamnya.

Tiga kelokan lagi Ahmad akan tiba di rumah, hanya berjarak 2 RT saja dari jalanan yang ia lewati. Saat menyusuri sebuah gang di perumahan padat penduduk, Ahmad yang sedang menggotong lemari mungilnya itu mendengar sapaan seorang wanita. Seorang ibu rumah tangga yang sedang menyapu teras rumahnya. “Pak, lemari itu mau dijual ya…?!” Glek…!! Ahmad menelan ludah. Ia berpikir, kejutan apalagi yang mau Allah Ta’ala berikan kepadanya.

Ahmad berhenti sebentar, menoleh dan memutarkan wajah. Tanpa menurunkan lemari itu Ahmad balik bertanya, “Emangnya ibu suka dengan lemari ini?” “Iya tuh bang! Lemarinya bagus. Mau dijual berapa?” sang ibu menukas. “Dua ratus ribu mau gak?!” Ahmad mencoba berspekulasi dengan harga yang ia tawarkan. “Eih… kok bisa ya... ini mah murah... Iya deh saya beli!” Sang ibu kesenangan dengan harga yang ditawarkan Ahmad. Sementara ia sendiri merasa bingung karena sang ibu mengiyakan harga yang ia berikan tanpa tawar lagi.

“Taruh di sudut situ ya, bang!” sang ibu menyuruh Ahmad. Usai meletakkan pada posisi yang dimaksud, Ahmad pun menerima uang yang disodorkan oleh ibu tadi.

Subhanallah, Allah begitu pemurah! Ahmad tak henti-hentinya mensyukuri peruntungan nasib yang ia alami pada hari ini. Ia mencoba merenungi kejadian satu demi satu. Ia dapati bahwa ia memulai usaha dengan doa tulus dalam hati. Setelah itu, ia berniat mencari nafkah dan bekerja hari ini. Karena niat untuk bekerja menghidupi keluarga, maka Allah tolong dirinya mendapatkan uang kuno. Uang kuno tadi kemudian ia tukar seharga Rp 30 ribu. Uang yang ia dapatkan ia belikan kayu-kayu bekas. Kayu itupun ditaksir dengan lemari senilai Rp 100 ribu dan akhirnya malah lemari itu dibeli seorang ibu dengan harga Rp 200 ribu. Kini Ahmad membawa pulang Rp 200 ribu untuk keluarganya. Ia pulang dengan hasil jerih payahnya dan nikmat yang luar biasa dari Tuhannya.

Islam, agama yang hanif ini… mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berpangku tangan. Bekerja dengan giat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Bukan karena urusan rezeki umat diperintahkan untuk bekerja, sebab rezeki itu sudah ada ukurannya. Akan tetapi umat Islam diperintahkan untuk bekerja demi izzah (kemulian) diri dan agamanya.

Asalkan bekerja meskipun badan kotor bersimbah lumpur sekalipun. Kulit tangan menjadi kasar dan kaki pecah, asalkan bekerja keras untuk menafkahi keluarga dan ikhlas lillahi ta’ala, maka Allah Swt akan memberikan kecintaan dan pahala yang besar baginya.

Dalam suatu riwayat, Rasulullah Saw pernah mencium tangan Saad bin Muadz begitu melihat tangan Saad yang kasar karena bekerja keras. Beliau bersabda, “Inilah dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala!”

Islam amat menghargai seseorang yang bekerja. Bahkan Rasul Saw juga pernah bersabda
,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال والذي نفسي بيده لأن يأخذ أحدكم حبله فيحتطب على ظهره خير له من أن يأتي رجلا فيسأله أعطاه أو منعه

“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak. (HR. Bukhari & Muslim)

Demikianlah agama ini mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja keras dan beramal sungguh-sungguh. Sebab karya nyata yang dilakukan oleh seorang muslim dengan sungguh-sungguh akan disaksikan oleh Allah, Rasul & seluruh kaum mukminin. Karenanya Allah Swt berfirman dalam surat At Taubah: 105

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan".

Semoga Allah memberkahi usaha yang kita jalankan dan pekerjaan yang kita lakukan di jalan-Nya. Amien. Selamat Bekerja!

Sunday, September 7, 2008

BULAN BERTABUR CINTA

Terima kasih Tuhan yang telah berkenan kembali mempertemukan kita dengan bulan bertabur cinta. Cinta yang ditawarkan Allah kepada segenap makhluk di bulan Ramadan selayaknya kita sambut dengan suka cita seraya berharap kelak kita menjadi bagian dari golongan yang mendapatkan cinta-Nya.

Detik-detik menjelang satu Ramadan ungkapan cinta bertaburan di seantero dunia menyambut hangat Ramadan ditandai dengan jalinan silaturahim melalui surat, telepon, SMS, email, atau bahkan rangkaian acara-acara khusus menyambut tamu agung ini.

Cinta yang diberikan-Nya bukanlah sesuatu yang abstrak. Setidaknya dengan Ramadan mereka yang terbiasa sibuk sedemikian rupa akan mempercepat aktivitasnya agar segera tiba di rumah untuk menikmati berbuka penuh cinta bersama keluarga.

Juga yang biasanya tak sempat untuk sarapan bersama Allah memfasilitasinya saat makan sahur. Bukankah yang demikian dapat kembali menyuburkan cinta dan menghangatkan keharmonisan keluarga?

Kata Rasul, saling mencintai dan berkasih sayanglah kepada sesama yang di bumi maka seluruh yang di langit akan mencintai dan mengasihimu.

Cinta sosial, Allah berikan juga kesempatan manusia untuk mengaplikasikannya saat-saat bersama melakukan shalat tarawih berjamaah, saling menghantarkan makanan berbuka kepada tetangga, juga tak lupa memberi sedekah dan hidangan berbuka kepada pengemis, fakir miskin, dan anak yatim-piatu.

Bahkan menjelang hari akhir Ramadan wujud cinta juga terealisasi dengan mengeluarkan sebagian harta kita untuk zakat guna melengkapi proses pembersihan diri menuju kesucian.

Infaq, sedekah, dan zakat yang kita keluarkan adalah bukti cinta kita kepada Allah sekaligus menegaskan bahwa kita tak termasuk orang-orang yang cinta harta dunia dan sadar akan adanya sebagian hak orang lain dari apa-apa yang kita miliki.

Tuesday, September 2, 2008

TELINGA DAN MATAMU

Seperti tanda-tanda ciptaan Allah SWT lainnya, kita jarang mencoba merenungkan betapa pentingnya telinga dan mata kita. Q.S. Al-mulk 23. yang artinya :

Katakanlah :” Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.

Bagaimanakah caranya kedua alat indera ini diciptakan ? Apa yang mungkin terjadi bila kita kehilangan karunia ini? Bagaimana kita memanfaatkan telinga da mata kita? Apakah akan ada pertanggung jawaban bila kita menyalahgunakannya? Banyak pertanyaan sederhana tetapi penting timbul didalam benak kita.

Pertama-tama, Allah SWT menciptakan manusia dalam tujuh tahap seperti dijelaskan dalam Al-qur’an berabad-abad yang lalu didalam surat Al-mu’minun ayat 12-14 yang terjemahannya:

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani dalam tempat yang kokoh, Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging,Kemudian Kami jadikan Dia mahluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang Paling Baik.

para ilmuan modern baru menemukan tahap-tahap ini dimasa sekarang, pertumbuhan janin manusia ini terjadi didalam rahim ibu, diselaputi tiga lapisan kegelapan. didalam surat Az-Zumar ayat 6 di sebutkan:

Dia menciptakan Kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk Kamu delapan ekor yang berpasngan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu didalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhan Kamu, tuhan yang mempunyai kerajaan, Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka bagaimana Kamu dapat dipalingkan?

Tiga lapisan kegelapan ini adalah perut sang ibu, Rahim, dan lapisan membran yang menyelaputi pertumbuhan bayi. Siapakah yang menentukan sel kecil mana dalam proses pertumbuhan janin akan berkembang menjadi alat pendengaran ? Sel mana yang terpilih akan menjadi alat penglihatan seseorang? Siapa yang mengambil keputusan- keputusan ini dan siapa yang mengatur pertumbuhan sel-sel ini menjadi telinga dan mata? Seberapa patuhkah telinga dan mata ini pada Penciptanya? Dengan kata lain, Mata tidak dapat digunakan untuk mendengar, dan telinga untuk melihat. Tidakkah kita harus menyerah sepenuhnya kepada Pencipta yang telah memberikan kita indera-indera ini. dan kebebasan serta petunjuk untuk menggunakannya ?. Q.S. Al-insan 2-3 yang artinya:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan Manusia dari setetes mani yang bercampur dan Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Mereka yang mendengar petunjuk ini dengan tulus akan berdo’a kepada Allah SWT. Ali Imran 1993-194.

Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar yang menyeru kepada iman.” Berimanlah Kamu kepada Tuhanmu”, Maka kamipun beriman. Ya Tuhan Kami ampunilah bagi kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau Janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”

Bebeapa orang yang beriman mendengar petunjuk ini dengan sembrono.Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mendapat manfaat dari petunjuk Allah SWT yang tak terhingga. Q.S. Al-anfal 20-21 yang artinya:

” Hai orang- orang yang beriman, Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah Kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar, dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berkata ” Kami mendengarkan padahal mereka tidak mendengar.

Sesungguhnya ada empat tahapan dari mendengar dan melihat sesuatu hal. Kita harus mengingat bahwa kesan-kesan dari penglihatan dan pendengaran sesuatu hal dikirim ke otak melalui suatu sistim yang sangat peka dan rumit. Bayangkan suatu kelas yang penuh dengan murid-murid. Satu murid mungkin mendengar percakapan gurunya dan juga melihat tulisan di papan tulis dengan mata terbuka lebar. Tetapi pikirannya ternyata melayang kearah lain. Dia tidak akan mengerti suatu apapun. Murid kedua mungkin mendengar dan melihat tapi tidak bisa mengerti maksud kata-kata sang guru. Murid ke tiga mungkin mendengar, melihat, dan mengerti maksud sang guru tetapi tidak melaksanakan perintahnya. Murid keempat mungkin melihat,mendengar, mengerti dan melaksanakan perintah sang guru. Perbedaan tahapan pendengaran dan penglihatan ini membagi murid-murid pada kelas yang sama dalam kategori yang berbeda.

Oleh karena itu Allah SWTberfirman ” Janganlah berlaku seperti mereka yang berkata ‘Kami mendengar’ padahal mereka tidak mendengar”. Oleh karena itu, supaya kita bisa mendapat manfaat dari petunjuk Allah, Kita harus mendengar petunjuk-Nya dengan sangat penuh perhatian serta sepenuh hati. Qaaf 37 yang artinya :

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar - benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.

Menutup Telinga dan Mata terhadap petunjuk Allah SWT berarti sama sekali tidak memberi diri kita kesempatan mengambil manfaat dari-Nya, akan sangat mengecewakan. AlBaqarah 171 yang artinya:

“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka Tuli, Bisu, dan Buta maka mereka tidak mengerti”.

Seseorang akan menyimpang dari jalan lurusNya bila dikuasai oleh nafsu yang sia-sia. Dia begitu hanyut dibawa arus nafsunya sehingga mata dan telinganya tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang palsu, Al-Jatsia ayat 23 yang artinya:

“Maka pernahkah Kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.

Bahkan untuk orang yang beriman menggunakan telinga dan mata dengan sebaik-baiknya adalah sangat penting. Penyimpangan apapun dari petunjuk Allah SWT akan mendapatkan hukuman. Al-Isra ayat 36:

” Dan janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,penglihatan,dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya”.

Bahkan sebetulnya kedua indera ini adalah bagaikan satuan pengaman yang dikirim Allah SWT dan mereka akan menjadi saksi ketika hari pengadilan tiba. Q.S. Fussilat 20-23 yang artinya:

” Sehingga apabila mereka sampai keneraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: ”Mengapa Kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: ” Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. Kamu sekali-kali tidak dapat bersebunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah perasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Oleh sebab itu kita tidak boleh menggunakan telinga dan mata kita untuk hal-hal selain amal/perbuatan yang baik, kita harus menggunakannya untuk menghormati sang Pencipta yang telah menganugrahkan indera yang tak terhingga ini sebagai Karunia-Nya. Hanya sebatas inilah yang bisa kita lakukan sebagai imbalan hadiah gratis ini.

semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang sempat membacanya di bulan Ramadhan yang mulia ini.. Amiin Ya Robbal AAlamiin..