Saturday, November 29, 2008

KEUTAMAAN SEPULUH HARI DZULHIJJAH,,,

بسم الله الرحمن الرحيم

Tanpa tersa hari ni kita sudah berada pada awal bulan dzulhijjah, bulan yag didalamnya terdapat hikmah dan pahala yang besar, bulan berkumpulnya amal-amalan utama seperti sholat,puasa, zakat, dan haji.

Sungguh merupakan karunia Allah SWT, Dia menjadikan bagi hamba-Nya yang beriman musim-musim untuk memperbanyak amal sholeh. dan diantara musim-musim tersebut adalah sepuluh hari pertama dzulhijjah yang keutamaannya di nyatakan oleh dalil-dalildalam kitab dan sunnah.

1. Firman Allah SWT dalam surat al-fajr ayat 1-2:
" DEMI FAJAR,DAN MALAM YANG SEPULUH"
Ibnu katsir berkata: "yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama dzulhijjah".

2. Allah ta'ala berfirman: "...DAN SUPAYA MEREKA MENYEBUT NAMA ALLAH PADA HARI YANG TELAH DI TENTUKAN".(Al-hajj 28)
Ibnu abbas berkata: yang dimaksud adalah hari-hari sepuluh bulan dzulhijjah.

3. dari Ibnu abbas RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: " Tidak ada hari-hari yang amal sholeh didalamnya lebih Allah cintai kecuali pada hari ini",yaitu : sepuluh hari bulan dzulhijjah, mereka berkata: apakah jihad fisabilillah tidak lebih utama dari itu ? " beliau bersabda: " Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwanya dan hartanya dan tidak ada yangkenbali satupun.( Riwayat Bukhori)

4.Dari Ibnu Umar RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: " Tidak ada hari-hari yang lebih besar disisi Allah SWT dan tidak ada amal perbuatan yang lebih dicintai selain pada sepuluh ahri itu. Maka perbanyaklah pada hari-hari tersebut Tahlil,Takbir dan Tahmid (Riwayat Thabrani dalam Mu'jam Al-kabir)

5. Adalah Sa'ad bin Jubair- Rahimahulah dan dia meriwayatkan hadits ibnu abbas yang lalu, jika datang sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah sangat bersungguh-sungguh hingga hampir saja dia tak kuasa( melaksanaknanya)" ( riwayat Darimidengan sanad yang hasan)

6.Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari': " Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari dzulhijjah disitimewakan adalah pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulanya ibadah-ibadah utama; yaitu sholat ,shaum,shadaqah,dan haji, tidak ada waktuyang selainnya seperti itu".

7. Para Ulama menyatakan:" Sepuluh hari dzulhijjah adalah hari -hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan Ramdahan adalh malam-malam yang paling utama".

PEKERJAAN YANG DIANJURKAN PADA HARI-HARI TERSEBUT:

A.SHALAT :
Disunnahkan bersegera mengerjakan sholat fardhu dan memperbanyak sholat-shalat sunnah karena semua itu merupakan ibadah yang paling utama. Dari Tsauban RA dia berkata: Saya mendengar RAsulullah SAW bersabda : " hendaklah kalian memperbanyak sujud kepada Allah, karena setiap kali kamu bersujud, Maka Allah mengangkat derajtmu, dan menghapus kesalahanmu". hal tersebut berlaku umum di setiap waktu.

B.SHOUM (PUASA):
Karena dia termasuk perbuatan amal sholeh. dari Hunaidah bin KHolid dari istrinya dari sebagian istri-istri Rasulullah SAW, dia berkata: " Adalah Rasulullah SAW berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, sepuluh muharramdan tiga hari setiap (pertengahan) bulan. (Riwayat Imam Ahmad,Au Dawud dan Nasa'i). Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari bulan dzulhijjah: " SANGAT DI SUNNAHKAN".

C.TAKBIR,TAHLIL DAN TAHMID.
Sebagaimana terdapat riwayat dalam hadits ibnu Umar terdahulu: "perbanyaklah Tahlil,Takbir dan Tahmid pada waktu itu.
Imam Bukhori berkata: " Suatu hari Ibnu Umar dan Abu hurairah RadiyallohuAnhuma keluar kepasar pada hari sepuluh bulan dzulhijjah , mereka berdua bertakbir dan orang-orangpun ikut bertakbir karenanya".
Beliau juga berkata: " adalah Umar bin Khottob bertakbir di kemahnya di Mina dan didengar mereka yang ada di dalam masjid, lalu mereka betakbir dan bertakbir pula orang2 yang dipasar hingga Mina bergetar oleh Takbir". Begitu pula ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari- hari tersebut, baik setelah shalat,diatas pembaringannya,di atas kudanya, di majlisnya, dan saat berjalan pada semua hari-hari tersebut. Di sunnahkan mengeraskan takbir berdasarkan perbuatan Umar tersebut dan anaknya dan Abu hurairah Radiyallohuanhum.
Maka hendaknya kita kaum muslimin menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan pada masa ini, bahkan hampir saja terlupakan, bahkan oleh orang-orang sholeh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh salafussalih terdahulu.

D. PUASA HARI ARAFAH.
Puasa Arafah sangat di anjurkan bagi mereka yang tidak pergi haji, sebagaimana riwayat dari Rasulullah SAW bahwa dia berkata tentang puasa Arafah: " Saya berharap kepada Allah agar di hapuskan ( dosa ) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya ( Riwayat muslim).

E. KEUTAMAAN HARI RAYA KURBAN (tanggal 10 dzulhijjah).
Banyak orang yang melalaikan hari yang besar ini, bahkan para ulama berpendapat bahwa dia lebih utama dari hari-hari dalam setahun secara mutlak, bahkan termasuk hari Arafah. Ibnu Qoyyim Rahimahullah berkata: sebaik-baik hari disisi Allahh adalah hari Nahr ( hari raya qurban ), dia adalah hari haji akbar", sebagaimana terdapat dalam sunan abu daud Rasululah SAW bersabda: " Sesungguhnya hari-hari yang paling mulia disisi Allah adalah hari Nahr( hari kurban), kemudian hari Qar".
Hari Qar adalah hari menetap di Mina, yaitu tanggal 11 dzulhijjah. ada juga yang mengatakan bahwa hari Arafah lebih mulia dari hari Nahr karena puasa pada hari itu menghapus dosa dua tahun, dan tidak ada hari yang lebih banyak Allah bebaskan orang dari hari neraka kecuali hari Arafah, dan karena pada hari tersebut Allah mendekat kepada hamba-Nya, kemudian Dia membanggakan orang-orang yang sedang wukuf di Arafah kepada Malaikat-Nya.
Yang benar adalah pendapat yang pertama, karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada yang menentangnya sama sekali. Namun apakah dia atau hari Arafah yang lebih utama hendaklah setiap muslim baik yang melaksanakan haji atau tidak berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan keutamaan hari tersebutdan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.

BAGAIMANA KITA MENYAMBUT BULAN KEBAIKAN INI??

Hendaklah setiap muslim berupaya untuk menyambut musim kebaikan ini secara umum dengan Taubatan nasuha ( Taubat sungguh-sungguh) meninggalkan dosa dan kemaksiatan. karena dosa-dosa lah mencegah karunia Allah dari manusia, menghalangi hatinya dari Tuhannya.
Begitu juga dituntut untuk menyambut musim inii dengan tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk mendapatkn keuntungan atas apa yang Allah Ridhoi. Maka siapa yang benardengan tekadnya Allah akan beri dia petunjuk:
" Dan orang-orag yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. ( Al-Ankabut 69)
Allah ta'ala juga berfirman:
" dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya selangit dan bumiyang disediakn untuk orang-orang bertaqwa" ( Ali Imran 133).
Saudaraku yang beriman..........
Berusahalah untuk mendapatkan kesempatan yangbaik ini sebelum hilang dari hadapan anda dan anda akan menyesal, betapa buruknya waktu bagi orang-orang yang menyesal. Karena sesungguhnya dunia ini sangat sedikit harinya dan kita sekarang di negeri amal perbuatan dan besok kita akan berada di negeri pembalasan,perhitungan, syurga dan Neraka. Maka hendaklah anda jadi orang-orang yang Allah sifatkandalam firman-Nya: " Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harapandan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu'kepada Kami". ( Al-anbiya 90).

Friday, November 14, 2008

Untuk Orang yang suka Mencela dan Membid'ahkan

Membaca berita hari ini, tentang dunia perpolitikan indonesia menjelang pemilu 2009, semua partai sudah berkampanye menebar janji janji mereka kepada rakyat yang akan memilihnya. membuat hati saya sedih melihat mereka mengapa mereka tega berbohong kepada rakyat demi mendapatkan dukungan dari rakyat, menebar janji ingin memajukan indonesia di segala bidang, seolah-olah mereka bisa merubah indonesia dalam hitungan hari, jam, bahkan menit. Antara partai yang satu dan lainnya saling mengejek mencela, fitnah sana, fitnah sini. bahkan untuk memenangkan partainya mereka rela melakukan segala cara gak peduli apa cara itu halal atau haram yang penting baginya menang dan menang di pemilu nanti. ga ada lagi yang namanya kesatuan dan persatuan. seandainya saja mereka bersatu, satu hati dan satu tujuan untuk membangun negeri ini, niscaya indonesia akan berubah dan di perhitungkan oleh dunia. Untuk itu melalui tulisan ini saya mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk bersatu kembali untuk membangun negeri kita indonesia tercinta jangan sampai terpecah gara partai. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang mayoritas beragama islam, seharusnya mengamalkan isi Al-qur'an dan Al-hadits.

Saudaraku seiman! sesungguhnya syri'at kita yang mulia mengarah dan menuju persatuan dan kesatuan, menjauhkan dari jalan-jalan perselisihan, bercerai berai dan perpecahan, mengajak kepada kasih sayang dan persaudaraan, memerintahkan kepada toleransi saling kasih, membela dan saling menyatu, terlebih lagi sesama ahlul haq, sesama sumber dan manhaj. Al-qur'an dan sunnah di padati leh keterangan dan dalil yang menunjukkan hal-hal diatas dengan segenap makna yang luhur.

Allah SWT berfirman yang artinya:
" Dan berpeganglah kamu semua pada tali ( agama ) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menrangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,, agar kamu mendapat petunjuk." ( QS. Ali Imran:103)

Dalam ayat ini terdapat tentang nikmat Allah yang merubah suatu keadaan yang kacau kepada keadaan yang teratur dan rapi.

Sementara itu dari sabda Rsulullah SAW kita dapati hadits yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang artinya:
" Sesungguhnya termasuk orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian, yang tawadhu' ( merendah) yang akrab dan bisa diakrabi."

Wahai umat pengikut Al-qur'an dan sunnah! Siapa yang menyembunyikan penyakit maka ia akan tersiksa, merana, meradang, dan menyulitkannya. Sesungguhnya termasuk penyakit yang mestinya di kategorikan sebagai penyakit yang paling berbahaya dan parah adalah penyakit yang muncul akibat kekerasan hati, sikap saling menjauh, kasar dan saling membelakangi yang samapi pada tahap tajrih( menilai cacat orang lain) tahdzir ( memperingatkan) membodoh-bodohkan, serata mengumbar aib orang lain yang muncul darikaum muslimin sebagian yang satu terhadap sebagian yang lain,dari mereka yang menapaki jalam kebenaran secara aqidah ibadah maupun prilaku, juga dari mereka yang menisbatkandiri kepada kebaikan, dakwah dan kecemburuan terhadap perkara-perkara yang di haramkan, begitu perhatian terhadap keselamatan umat dari kesalahan dan ketergelinciran, dan sangat meendambakan persatuan dan membenci perpecahan.

Dan sesungguhnya termasuk musibah yang memalukan adalah sebagian kaum muslimin yang bersikap lancang terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan ulama yang mulia dan para da'i yang terhormat, dengan tujuan menghinakan kedudukan serta melecehkan kehormatan, mengaburkan sisi kebaikan mereka serta mencabut rasa kepercayaan terhadp diri mereka.
Hal yang memalukan ini semakin menjadi-jadi ketika di barengi niat untuk menghinakan, mencemooh,dan mengumbar kekurangan mereka melalui satelit dan media masa seperti surat kabar, majalah, stasiun televisi,serta internet. semua dilakukan dengan segenap kenekatan, jauh dari sikap wira'i atau merasa bersalah. padahal Rasulullah SAW telah memperingatkan dan mengancam:
" Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisan mereka sementara iman belum masuk ke lubuk hati mereka, janganlahkalian menggunjing kaum muslimin, jangan mencari-cari kesalahan mereka, sebab siapa yang mencari-cari kesalahan mereka maka pasti Allah akan mencari-cari kesalahan dan kekurangannya. Dan siapa yang di cari kesalahannya oleh Allah SWT, maka pasti ia akan di hinakan ( di bongkar semua cacat dan aibnya) sekalipun ia bersembunyi jauh didalam rumahnya." (HR.Ahmad,Abu dawud dan Turmudzi).

" Imam Ahmad berkata " Menodai ulama ( mencaci dan menghinakan ) terlebih lagi ulama-ulama besar termasuk dosa besar!"
sedang Malik bin Dinar berkata," Cukuplah keburukan seseorang, jika Ia tidak bisa menjadi sholeh, malah menjelek-jelekkan orang sholeh."

Maka bagaimana pula halnya dengan orang-ornag dari kaum muslimin. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. yang mana puncak tujuan duniawinya, harapan dan cita-cita terbesarnya,adalah untuk menelusuri ( mencari-cari) kesalahan, berburu kekeliruan dan mengipas-ngipaskan kesalahan yang tidak seberapa sehingga menjadi fitnah, danmengumbar cacat orang melalui majelis -majelis serta tempat pertemuan?! mereka tidak henti-hentinya menghina, tidak bosan-bosannya mencaci,dan tidak pernah sedikitpun meningalkan cibiran. ciri mereka membikin rusuh, karakter mereka dalah memprovokasi, dan watak dasar mereka adalah mengganggu dan menghina. Kamus mereka adalah berburuk sangka, Kosa kata mereka adalah menyakiti danmengungkit-ungkit berebut dalam menuduh, bersegera dalam bersikap keras dan mengucilkan,banyak mencaci dan memarahi, tidak merasa takut untuk mencaci dan mencela, melukai teman sendiri dari samping, serta memberondongkan anak panah dari belakang. Jika mereka melihat Anda bergelimang nikmat maka mereka meradang karena hasud, danjika jauh di belakang mereka menggunjing anda.
" Apabila mereka mendengar ada kesalahan maka mereka serta merta bergembira dan terbang membawanya. tetapi kebaikan apa saja yang mereka ketahui mereka tutup-tutupi."

Mereka bekerja siang dan malam untuk menodai dan meremehkan orang, mencela dan menjelekkan citra orang-ornag baik yang tak bersalah, bergerak bak kelelawar di gelap malam, beraksi di balik teralis. Jika da yang melihat mereka pasti pasti wajah wajah orangyang melihatnya penuuh dengan pengingkaran, raut dan air muka yang melihat mereka bisa berubah karena geram. Dalam keadaan lapang mereka adalah teman,tetapi jika dalam kesempitan mereka berbalik menjadi musuh yang paling kejam, yang tidak bisa membedakan mana sahabat dan kerabat dekat. Mereka tidak mahu mencarikan alasan untuk memaafkan saudaranya, selalu berupaya untuk enjatuhkan orang-orang mulia dan ternama, menebarkan aib dan kekurangan mereka, mengada-adakn hasutan dan provokasi untuk menghantam mereka. Maha Suci Allah yang maha Agung, tidaklah mereka merasa takut kepada Allah Rabb semesta alam? Hanya kepada Allah tempat mengadu, dan tidak ada daya upaya melainkan dengan Allah yang maha Tinggi lagi Mulia.

lebih dari itu, mereka selalu memanfaatkan situs-situs di internet atau sebut saja tempat-tempat ularyang berbisa, dengan mengklaim bahwa mereka hendak menjelaskan kebenaran, padahal sebenarnya mereka sperti lalat-lalat yang selalu mengerumuni luka-luka. Mereka tidak ambil pusing apakah mereka mendapatkan berita dari orang-orangyang buruk atau kedustaan, atau melalui buku-buku yang lolos dari koreksi atau tidak tersentuh oleh komentar dan penjelasan para ulama.

kemudian berdadsarkan dugaan atau kesalahan persepsi yang masih memungkinkan untuk di pahami atau di maafkan karena enggelam dalam lautan kebaikan, mereka membangun konsep wala'dan bara', sikap boikot, memusuhi adn memerangi, yang dilakukan melalui tashrif ( menggolong- golongkan orang),taashshub (sikap panatisme) dan tahazzub ( faham golongan yang sempit).

Akibatnya para pencari ilmu yang baru belajar, atau kaum terdidik dan para pejuang kebaikan tersibukkan dengan fitnah mereka apalagi orang awam. Disisi lain orang-orang yang berkepentingan dan memiliki ambisi di setiap tempat menelan entah-mentah fitnah tersebut. Akibat lainnya adalah banyak kekuatan,potensi dan waktu terbang percuma. karena disibukkan antara yang membantah dan yang di bantah.

Diadakanlah perhelatan dalam rangka menodai kehormatan dengan kata-kata yang kasardan melukai, pedas dan menyakitkan disertai tuduhan-tuduhan yang seakan-akan jilatan api yang menyala-nyala. yang menghasut dan mengadu domba akibat buruknya niat dan keinginan, membentur kesucian diri dengan kesucian lisan dengan segenap kekuatan, padahal yang lebih utama mestinya menggunakannya untuk memeusuhu dan membidik kelompok yang menyimpang yang memusuhi kaum muslimin, berupaya utnuk menggrogoti rasa aman dan kemurniannya, Saya peringatkan kepada orang-orang baik dan pencari kebaikan, jangan sampai menyerupai sifat dan karakter kelompok sesat yang mana kita telah di peringatkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya yang di rawayatkan oleh Ahmad dan Bukhor Muslim.:
" Mereka adalah kaum yang membaca Al-qur'an, tidaklah ayat-ayat alqur'an itu melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah melesat dari sasarannya, Mereka membunuhi kaum muslimin sementara para penyembah berhala mereka biarkan!".

Saturday, October 18, 2008

PERNIKAHAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai

1). perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi);
2). perkawinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti “pasangan” untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.

Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:49).

Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan,baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah –karena perkawinan– adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: “Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya” (QS An-Nur[24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya “Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan” (QS An-Nur [24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa “nikah adalah sunnahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan –lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa’ [4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa’ [4]: 22 yang secara tegas menyatakan.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah 1a1u dimaafkan oleh Allah).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan.

Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.

Kedua,adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik.

Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut –tidak dapat absen– kemudian ia menunjuk salah seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak.

Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan “bercampur” dengan siapa pun yang suka kepadanya.

Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,

Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau
tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa

Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau 1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu –yang disebut di atas– juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawõnan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

TUJUAN PERKAWINAN

Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa “pemenuhan kebutuhan seksual merupakan tujuan utama perkawinan, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi”.

Benarkah demikian? Baiklah terlebih dahulu kita menggarisbawahi bahwa dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Mengapa kotor, atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 187, Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu bagaimana saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]:223).

Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu, Rasulullah SAW. menganjurkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai.

Beberapa ayat Al-Quran sangat menarik untuk direnungkan dalam konteks pembicaraan kita ini adalah:

Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dan jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu … Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al-Syura [42]: 11).

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat di atas. Tetapi dalam ayat di atas tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana ditegaskan ketika Al-Quran berbicara tetang pernikahan manusia.

Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya, dari dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir (QS Al-Rum [30]: 21).

Mengapa demikian? Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini.

Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.

Demikian sekilas pandangan Al-Quran tentang pernikahan, tentu saja lembaran kecil ini tidak menggambarkan secara sempurna wawasan Kitab Suci itu, namun paling tidak apa yang dikemukakan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran umum. Semoga.


Sumber: Wawasan Al-Qur’an, Bab Pernikahan, oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

TALI PEREKAT PERNIKAHAN

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali ruhani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan,

Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa’ [4]: l9).

Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa’i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.

Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri –orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan– harus dapat berfungsi “menutup kekurangan pasangannya”. sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya.

Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. Dalam sabdanya,

Kalian menerima istri berdasar amanah Allah.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.

Istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami –demikian juga istri– tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.

Kesediasn seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa’ [4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).

Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:

a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan

b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri/keluarganya).

Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas?

Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis lelaki dan perempuan. Sementara psikolog berpendapat bahwa perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki da1am hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Keistimewaan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan utama lelaki adalah konsistensinya serta kecenderungannya berpikir secara praktis. Keistimewaan ini menjadikan ia diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.

Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (para istri)”. (QS A1-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, “Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu.”

Imam Al-Ghazali menulis, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya.”

“Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi.” Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi.

Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.

Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini Al-Quran berpesan,

Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa’ [4]: 35).

Sumber: Wawasan Al-Qur’an, Bab Pernikahan, oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Sunday, September 28, 2008

" Menghargai Waktu "

"Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”. Q.S. al-‘Ashr: 1-3.

Dalam sebuah polling di Amerika diketahui ternyata mayoritas bangsa Amerika merasa bahwa tidak bekerja, menganggur, dan hidup santai, adalah bagian yang dibenci dan bahkan mereka merasa itu adalah suatu dosa. Dalam istilah terkenal dalam bahasa Inggris pun kita kenal dengan the time is money, sebuah ungkapan betapa pentingnya memanfaatkan waktu hingga dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Dalam Islam tujuan hidup bukan sekadar mencari uang (baca: mencari kebahagiaan materi), namun lebih dari itu agar dapat mendapatkan kebahagiaan materi dan ruhani, duniawi dan ukhrawi (fiddunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah). Oleh karena itu Islam sangat menghargai waktu agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam rangka mendapatkan dua tujuan sekaligus. Bila hanya ingin mendapatkan satu tujuan saja kita tidak dapat bersikap santai dalam hidup, apalagi bila hendak meraih kedua tujuan di atas.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jadilah kamu di dunia seperti seorang asing atau seperti orang yang melewati suatu jalan. Kalau kamu berada pada waktu sore, maka janganlah menunggu waktu pagi. Dan kalau kamu berada pada waktu pagi, maka janganlah menunggu waktu sore. Pergunakanlah masa sehatmu guna persiapan waktu sakit, dan pergunakanlah masa hidupmu untuk persiapan waktu matimu. H.R. al-Bukhari.

Yang sering terjadi pada kita justru sebaliknya. Di saat sehat, kita lupa bahwa suatu ketika akan sakit. Ketika masih muda, kita lalai bahwa nanti akan menjadi tua. Ketika kaya, kita lupa bahwa mungkin akan bangkrut dan jatuh miskin. Ketika berkuasa, kita lupa bahwa kekuasaan itu sementara. Ketika tertawa, kita lupa suatu saat akan menangis. Ketika hidup, kita lupa pada akhirnya pasti mati. Kita kemudian lupa untuk bersyukur, mendekatkan diri kepada Allah, beribadah sebanyak-banyaknya, lupa menolong orang lain, lupa untuk membela agama Allah, dan lupa mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Kita lebih senang menghambur-hamburkan waktu untuk menuruti hawa nafsu, sebagaimana kita pun sering terlena dibuai waktu dalam kegemerlapan duniawi. Waktu kita habis terbuang sia-sia, hanya untuk melakukan hal-hal remeh dan menuju kepada kemaksiatan.

Sebuah pepatah Arab mengatakan: “Waktu ibarat pedang, kalau ia tidak kamu pergunakan sebaik-baiknya, maka ia dapat memenggal dirimu”. Karena lengah dalam memanfaatkan waktu, kita kehilangan kesempatan emas. Kita sering gagal karena tidak dapat mengatur waktu dengan baik. Kita dipenggal oleh waktu karena lengah memanfaatkannya.

Kita harus membiasakan memahami betapa berharganya waktu. Betapa sukses dan gagal ditentukan oleh kemampuan kita dalam menggunakan waktu. Dan betapa sikap meremehkan waktu sebagai sikap hina yang tidak disukai oleh semua orang beriman.


*)Di tulis Oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Friday, September 26, 2008

JALUR-JALUR INFAQ

Terdorong rasa ingin memberi dan berbagi kepada sesama, seorang sahabat Rasul Saw bernama Amr bin Al Jamuh yang berumur cukup tua bertanya, “Wahai Rasul, aku punya sejumlah harta, bagaimana cara aku mensedekahkannya dan kepada siapa aku infakkan?”
Sejurus Rasulullah Saw berpikir. Beliau belum dapat ide demi menjawab pertanyaan ini.

Sesaat kemudian datanglah firman Allah Swt yang mengabarkan tentang jalur-jalur infak sunnah dalam ayat berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. 2:215)

Itulah sekelumit asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat di atas yang dinukil dari Tafsir Al Qurthubi. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa jalur infak sunnah yang utama adalah sebagaima tertera dalam ayat itu; yaitu orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Kelima golongan ini mendapat skala prioritas untuk diberi infak sunnah.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, datanglah seorang pemuda yang mengadu kepada beliau tentang ayahnya yang suka mencuri harta milik sang anak.Rasul Saw berujar, “Panggillah ayahmu untuk menghadapku!” Sang pemuda menuruti perintah Rasul Saw. Ia pergi ke rumah meninggalkan beliau demi memanggil sang ayah untuk datang menghadap Rasul.

Saat pemuda pergi untuk memanggil ayahnya, maka datanglah Jibril As menghampiri Rasulullah Saw. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, bila ayah pemuda itu datang maka tanyakanlah padanya apa yang telah ia ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telinganya!”

Beberapa saat kemudian, sang pemuda sungguh datang menghadap Rasulullah sambil membawa ayahnya. Sesampainya dihadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada ayah pemuda tadi, “Wahai bapak, anakmu mengadu bahwa engkau telah mencuri hartanya, apakah ini benar?” Maka sang ayah menjawab, “Ya Rasul, silakan tanya kepadanya telah aku apakan uangnya, apakah aku berikan kepada bibinya atau aku makan sendiri?”

Rasulullah Saw lalu menukas, “Izinkan aku untuk tidak membahas hal ini. Namun bolehkah aku tahu apa yang telah kau ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telingamu?” Itulah pertanyaan yang disampaikan Jibril As kepada Rasulullah Saw untuk ditanyakan kepada ayah dari pemuda tadi.

“Demi Allah, aku semakin percaya bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hati yang tiada terdengar oleh kedua telinga ini.” Lanjut sang ayah.“Sampaikanlah ucapanmu itu!” Rasulullah Saw mempersilakan.

Tidak dinyana, ayah pemuda tadi lalu membaca sebuah syair yang ia gubah untuk si pemuda; buah hati dan belahan jiwa ayahnya.

Saat engkau lahir, aku memberimu makanan
saat kau beranjak besar, aku selalu setia menjagamu
Engkau diberi minum atas jerih payahku
Jika kau sakit di malam hari, selama itu mataku tak terpejam
Tak bisa ku tidur karena memikirkan sakitmu
Hingga tubuhku limbung sebab kantuk yang menyerang
Seolah akulah yang sakit, bukan engkau wahai anakku
Aku meneteskan air mata sebab khawatir engkau akan mati
Padahal aku tahu bahwa ajal manusia telah digariskan
Saat engkau beranjak dewasa
Saat dimana telah pantas aku menggantungkan diri padamu
Kau balas diriku dengan kekerasan dan kekasaran
Seakan engkau adalah satu-satunya pemberi kebaikan padaku
Andai saja ketika tak dapat kau penuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku tak ubahnya seperti seorang jiran yang hidup bertetangga

Usai mendengarkan syair tersebut, Rasulullah Saw meneteskan air mata lalu menghardik sang anak dengan sabdanya, “Anta wa maaluka li abiika. Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)

Pemuda itu tertunduk lesu. Ia merasa malu. Tak sadar akan kealpaan diri selama ini. Ia telah menyia-nyiakan ayahnya yang begitu mencintai dirinya. Ia pun mengikhlaskan harta yang telah diambil ayahnya. Keduanya lalu berpelukan. Saling memaafkan. Kemudian pergi meninggalkan Rasulullah Saw.

Itulah sifat manusia. Suka lupa terhadap jasa orang lain, bahkan kepada orang tua sendiri. Demikian sebabnya, saat ditanya tentang kemana harta diinfakkan, maka Allah Swt menurunkan ayat 215 dari surat Al Baqarah di atas.

Ayat senada juga Allah firmankan,

“Maka berikanlah pada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) pada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 30:38)

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.” (QS. 2:177).

Ada sebuah kisah dari negeri seberang. Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karir dan dikarunia seorang anak yang pintar.

Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa kesepian.

Saat menerima surat dari ibunya, sang anak berurun-rembug dengan istrinya tentang bagaimana menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri menukas, “Mas, engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku. Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai mengurus anak sendiri.”

Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh beliau di panti jompo. Nah..., bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah saung dari bambu di halaman belakang rumah. Lalu kita tempatkan ibumu di sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”

Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan, namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman belakang rumah.
Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.

“Ma..., jangan lupa untuk mengirimkan makan 3 kali sehari untuk ibuku ya!” itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka, 3 kali sehari makanan diantar oleh pembantu kepada nenek yang berada di dalam saung.

Namun karena kesibukan mereka berdua, rupanya keduanya kerap alpa untuk mengingatkan pembantu demi mengantarkan makanan kepada nenek.
Tadinya 3 kali sehari, terkadang hanya 2 kali atau 1 kali. Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, maka pesan untuk mengirimkan makanan sudah tidak mereka ingat lagi. Maka pembantu pun sungguh lalai untuk mengirimkan makanan.

Allah Swt sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orang tuanya!
Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup didalam saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya pecah.
Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu lapar. Hingga membuatnya harus pergi ke warung untuk beli makanan demi sekedar pengganjal lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus meletakkan, sebab tiada lagi alas.

Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai dibersihkan, maka batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan. Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek. Hingga suatu hari Allah berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!
Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby-sitter, seorang bocah lelaki berusia sekitar 5 tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama rupanya ia tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah... saat ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri. Ia dorong pintunya hingga terbukalah. Anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya....

“Eh.... ada pangeran kecil rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir. “Nenek ini siapa?” tanya sang bocah polos. “Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” nenek itu mencoba menjelaskan. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak dipisahkan oleh jarak apapun. Keduanya membaur tak ubahnya darah & daging.

Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua orang tuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Hingga terbitlah sebuah pertanyaan kecil dari mulut si bocah saat ia melihat sebuah benda aneh di pojok saung.

“Itu benda apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu. Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Sejurus ia tahu bahwa yang dimaksud cucunya adalah sebuah batok kelapa. “Oh... itu adalah piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya...?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum. “Iya, nek. Ini bagus sekali” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.

Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota oleh papa dan mama. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata. Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran, berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.

“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo nak... lompati selokan itu. Kamu pasti bisa!” teriak keduanya berseru kepada anak mereka.

Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa... Ma..., tolong ambilkan benda itu dong!” Papa melihat ke arah benda yang ditunjuk anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam selokan. “Apa sih, nak? Nggak usah diambil... Itu kotor!” kata si papa. Sang mama menimpali dengan kalimat serupa.

Namun si anak tetap berkeras, merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.
Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah membau dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu... sebenarnya untuk apa sih batok kelapa itu, nak...?!” si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku mau kasih kejutan ke mama!”

Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapih, aku akan berikan ini untuk mama sebagai alas untuk makan.”

“Untuk makan...?!” mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya..., untuk makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah makan dengan ini. Papa dan mama yang berikan itu untuk nenek kan?” tanyanya polos.

Keduanya bergidik. Allah Swt sungguh telah menegur mereka berdua lewat lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah menyia-nyiakan orang tua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari sesuatu yang menjijikan bagi mereka, yaitu batok kelapa.

Apakah anda masih menyia-nyiakan hidup orang tua?!

QIYAMULLAIL DO'A DAN INFAQ

Allah Swt adalah Tuhan alam semesta. Dialah Yang mengatur segala urusan makhluk di bumi maupun di langit. Dialah Tuhan Yang Mampu menghidupkan dan mematikan. Di tangan-Nya terletak segala kebaikan.

Beruntunglah manusia yang sungguh menjadi hamba-Nya. Hamba yang dicintai dan diridhai-Nya. Sehingga setiap tindak-tanduk, laku dan pekerjaan yang ia kerjakan akan selalu mendapat pertolongan-Nya.

Allah Swt berfirman . Yang Artinya :

“Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah nafilah (sunnah) hingga Aku jatuh cinta kepadanya. Bila Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran dimana ia mendengar. Aku akan menjadi penglihatan dimana ia menglihat. Aku akan jadi tangan dengannya ia menggenggam. Aku akan menjadi kaki dengannya ia berjalan.” HR. Bukhari.

Demikianlah manusia yang menjadi hamba Allah sekaligus mendapatkan kecintaan-Nya. Hidupnya akan penuh dengan berkah dan bahagia dunia serta akhirat.

Dalam banyak kesempatan, Allah Ta’ala menggambarkan kebiasaan para hamba-Nya yang shalihin. Seperti tergambar pada ayat berikut: yang artinya:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang Kami berikan.” QS. 32:16

Mengambil kesimpulan dari ayat di atas maka ada 3 cara kaum shalihin untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketiganya adalah: Qiyamullail, Berdoa dan Berinfak!

Ketiga hal ini, bila dijalankan dengan kesungguhan dan istiqamah maka akan mendatangkan kecintaan Allah Swt dan pertolongan-Nya.

Qiyamullail, merupakan sebuah ibadah shalat malam yang kedudukannya adalah satu tingkat dibawah shalat fardhu. Dia begitu utama dan amat dianjurkan. Sebab, pada saat itu Allah Swt turun ke langit dunia hanya untuk menjumpai para hamba-Nya yang shalih.

Rasulullah Saw bersabda,

"Jika telah berlalu pertengahan atau dua pertiga malam, Allah Swt turun ke langit dunia dan berfirman, ‘Adakah hamba-Ku yang meminta, pasti diberikan permintaannya. Adakah hamba-Ku yang berdo’a, pasti akan terkabulkan. Adakah hamba-Ku yang memohon ampunan, pasti akan diampunkan.’ Peristiwa ini terjadi hingga waktu Fajar datang.” HR. Muslim

Do’a, adalah sebuah hubungan komunikasi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Bagai sebuah mantra sulap, maka doa pun akan terkabulkan! Sebagaimana janji Allah Swt dalam ayat-ayat berikut:
“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” QS.2:186

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” QS. 40:60

Infak, adalah manifestasi rasa syukur seorang hamba atas anugerah Tuhan yang pernah ia terima. Infak ini pun akan membuat pertolongan Allah Swt segera datang kepadanya.

Rasulullah Saw bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya..., Barangsiapa menolong urusan saudaranya (berinfak/bersedekah), maka Allah akan menolong segala urusannya. Barangsiapa yang menyelesaikan sebuah kekalutan seorang muslim, maka dengannya Allah akan melenyapkan kekalutan dirinya pada hari kiamat...” Hadits Muttafaq Alaihi.

Ketiga cara ini merupakan sebuah metode yang sistemik untuk meraih pertolongan Allah Swt. Ia merupakan sebuah entitas utuh dan berwujud satu-kesatuan. Bila rangkaian 3 ibadah ini dilakukan secara bersamaan, maka Insya Allah pertolongan Tuhan pun akan terwujud.

Terdapat dalam kitab hadits Riyadhus Shalihin sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Siang itu seorang petani di kebun kurma meratapi kebunnya. Banyak sudah pohon yang tak menghasilkan disebabkan tanah kering tak punya air berkecukupan.

Tak lama kemudian ia mengambil sikap. Ia angkat kedua tangannya dan menengadahkan kepalanya ke arah langit. Ia pasrahkan kondisinya dan mengadukan permasalahannya kepada Tuhan Yang Teramat Kuasa. Lama ia lakukan itu sambil berdiri. Ia yakin bahwa Allah Ta’ala mendengarkan pintanya. Benar saja, Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan harapan serta permintaan hamba-Nya. Sejenak berselang, beberapa awan datang beriringan. Bagai ijabah atas do’anya, awan itu bergumul semakin tebal hingga berwarna kehitaman. Sang petani merasa girang. Ia tahu sebentar lagi akan turun hujan.

Namun sayang, seketika ia mendengar suara dari langit yang mengatakan, “Wahai awan, bergeraklah ke kebun si Fulan!” Sejurus kemudian, bergeraklah awan meninggalkan petani yang tengah berdiri di kebunnya.Gusar ia mendapati hal ini. Seolah tak menerima ketentuan, ia pun berlari mengikuti kemana awan itu pergi. Benar saja, akhirnya awan itu berhenti. Awan kemudian menurunkan segala air yang dikandungnya di atas sebuah kebun yang amat rimbun. Lebat pohonnya serta buahnya. Di kebun tersebut, air tidak pernah kekurangan. Si petani berdiri terdiam dengan rasa sesal dan tanda tanya.

Sejenak berselang, kemudian ia dapati ada sesosok pria yang ia duga adalah pemilik kebun beruntung. Di bawah derasnya hujan, si petani menghampiri pemilik kebun lalu mengucapkan salam kepadanya. Salam pun terbalas, dan pembicaraan pun dimulai.

Petani berujar, “Saudaraku, apakah anda bernama si Fulan (ia menyebut sebuah nama yang ia dengar dari suara yang bersumber dari langit)?!” Seolah kaget namanya telah diketahui oleh orang yang belum ia kenal, si pemilik kebun bertanya balik, “Dari mana anda tahu nama saya?” Maka petani pun menceritakan kisahnya. Usai menjelaskan, sang petani bertanya kembali kepada pemilik kebun, “Saudara, apa yang kau lakukan sehingga namamu disebut di langit dan rezekimu bisa datang berlimpah tanpa susah?”

Pemilik kebun menghela nafas. Sejenak ia berpikir, kemudian ia pun berujar, “Saudara..., tidak seorang pun yang mengetahui hal ini dan aku pun enggan memberitahukannya. Sebab engkau telah datang kemari dan mengetahui hal ini, aku pun akan menceritakan sebuah rahasia yang senantiasa aku lakukan.” “Apa itu, saudaraku?!” sang petani mengejar penuh rasa penasaran.

“Ketahuilah..., setiap kali tanah ini memberikan hasil, sepertiganya aku sedekahkan. Sepertiganya lagi aku makan bersama keluarga. Sementara sepertiga sisanya, aku kembalikan ke kebun ini sebagai tambahan modal. Itulah yang aku kerjakan, dan rupanya Allah Ta’ala memberi keberkahan.” pemilik kebun menjelaskan rahasianya.

Subhanllah! Rupanya inilah yang tidak dimiliki oleh si petani. Benar, ia telah berdoa kepada Allah Swt agar hujan membasahi kebunnya, dan Allah Swt pun mengabulkan perkenannya dengan mendatangkan awan. Namun keampuhan ibadah sunnah seperti qiyamul lail dan do’a belum akan terasa dampaknya, sebelum manusia melakukan infak atau sedekah di jalan Allah Swt. Maka awan pun memilih untuk bergerak dan menurunkan airnya bagi orang yang bisa mengerjakan ketiga cara ini sekaligus; Qiyamul Lail, Do’a dan Infak! Semoga saya dan Anda dapat melakukannya bersamaan. Amien.

JALAN MENDAKI PENUH PERJUANGAN

Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih pilihan hidupnya. Dia bebas menentukan jalan yang harus ditempuh. Hanya saja pada setiap pilihan, terdapat tanggung jawab atas pilihannya itu. Allah memberikan kepada manusia dua jalan (najdain) yang dapat dipilih , yaitu jalan kejelekan dan jalan kebaikan (najd al-syar dan najd al-khair). Bila jalan pertama yang ditempuh, masuklah ia ke dalam kesengsaraan, dan bila jalan kedua yang ditempuh, maka masuklah ia ke dalam kebahagiaan.

Meskipun manusia bebas memilih pilihannya, namun Allah menganjurkan agar yang dipilih adalah jalan kebaikan (najd al-khair). Jalan kebaikan itu dilukiskan sebagai jalan mendaki yang sulit (al-‘aqabah) (al-Balad:11). Hal itu karena untuk mendapatkan kebahagiaan, seseorang harus menempuhnya dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, baik dengan tenaga, harta, dan bahkan dengan jiwa.

Bukankah hidup adalah aqidah dan perjuangan (inna al-hayata ‘aqidah wa jihad), sebagaimana yang dikatakan seorang penyair Mesir, Syauqi Bek. Kita terkadang kurang sabar, ingin mengambil jalan pintas, mencari yang enak-enak, tanpa menyadari bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan harus didahului dengan perjuangan berat, menapaki jalan-jalan sulit yang penuh onak dan duri.

Di antara jalan mendaki yang sulit itu adalah (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan orang yang sedang dalam kelaparan, (3) memelihara anak yatim, (4) dan memperhatikan nasib fakir miskin.

Budak adalah gambaran dari seorang yang tidak memiliki kebebasan, berada dalam penindasan, terbelenggu dalam tekanan dan himpitan, baik berupa tekanan fisik, jiwa, mental, ekonomi, sosial, atau tekanan kekuasaan. Meskipun sekarang budak sudah tidak ada tapi orang-orang yang berada di dalam tekanan layaknya budak masih sering kita dapatkan di dalam masyarakat. Untuk membebaskan orang-orang yang berada di dalam tekanan sungguh merupakan perkara sulit yang membutuhkan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta tetapi terkadang jiwa pun ikut terancam. Maka membebaskan budak (orang yang berada dalam tekanan) termasuk jalan mendaki yang sulit (al-‘aqabah).

Memberi makan orang yang kelaparan adalah jalan kebaikan. Ketika ada orang yang sangat membutuhkan, sedang kelaparan, kemudian datang orang yang menolong, mengulurkan tangannya untuk memberi makan. Orang tersebut akan senang dan berterima kasih. Tidak semua orang yang kaya mau melakukan hal itu, karena dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang memerlukan, dia merasa hartanya akan berkurang, takut habis, dan hawatir jatuh miskin seperti orang yang hendak diberi. Maka kerelaan untuk membantu orang yang kelaparan merupakan sebuah pengorbanan yang sulit.

Anak yatim memang merupakan beban, karena yang tadinya menjadi tanggungan orangtuanya kini menjadi tanggungan kita. Beban itulah bagian dari jalan mendaki yang sulit (al-aqabah) yang akan mendatangkan kebahagiaan. Rasulullah SAW bersabda bahwa dirinya dan orang yang memelihara anak yatim itu nanti di surga ibarat dua jari yang saling berdekatan. Inilah gambaran betapa terhormat orang yang memelihara anak yatim.

Dalam masa krisis seperti sekarang ini, banyak sekali orang yang berada dalam kesulitan. Jumlah orang yang miskin semakin banyak. Banyak orang yang kehilangan rumah tinggal, keluarga, dan harta benda, akibat kerusuhan, dan bencana di beberapa tempat. Hari-hari sulit seperti ini mengundang kita untuk peduli kepada mereka, meskipun kita sendiri juga mendapatkan kesulitan. Bila kita rela berkurban untuk mereka dengan memberikan sebagian harta untuk meringankan beban mereka, walau terasa sulit, maka Allah akan memberi balasan besar.

Kemudian yang terpenting dari apa yang telah diinfaqkan adalah bahwa perbuatan itu dilakukan atas dasar iman yang kuat dalam dada, bukan karena ingin mendapatkan sanjungan dari orang. Perbuatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan demi mendapatkan ridha dari Allah. Amal kebaikan itu dilakukan dalam rangka mengajak orang lain yang sedang berada dalam kesulitan untuk lebih bersabar dan tabah dalam menjalani hidup. Kemudian melakukannya dalam rangka memupuk rasa kasih sayang dan saling tolong menolong. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya menyantuni yang miskin, yang pandai mengajari yang bodoh dan seterusnya.


*)Di tulis oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Monday, September 22, 2008

MEMBENCI SIKAP LALAI

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dari shalatnya”. Q.S. al-Ma’un/107: 4-5.

Salah satu penyebab kecelakaan kita, sebagaimana disinyalir oleh ayat di atas adalah karena kita lalai dalam melaksanakan shalat. Kita lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat pemenuhan materi dan cenderung untuk memuaskan nafsu sesaat. Kita lebih cenderung mengejar kesenangan duniawi. Namun kita lalai akan kewajiban kita kepada Tuhan, lalai mengerjakan shalat, dan lalai kepada Tuhan.

Dalam ayat tersebut Allah menggunakan istilah “Sâhûn” (orang-orang yang lalai) dan bukan “Nâsûn” (orang-orang yang lupa). Hal itu tentu karena lalai (sahwân) mempunyai makna yang berbeda dengan lupa (nisyân). Lalai (sahwân) mengandung unsur kesengajaan dan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa memang perbuatan itu sengaja disia-siakan, tidak dihiraukan, dan sengaja diabaikan. Sedangkan lupa (nisyân) mengandung unsur ketidaksengajaan dan bukan karena suatu kesadaran untuk melaksanakannya. Itulah maka, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa qalam (pena) Allah diangkat (tidak dipergunakan untuk mencatat) amalan seseorang ketika berada dalam tiga kondisi; salah satunya adalah seorang yang lupa hingga ingat kembali. Seorang yang lupa, dia akan bebas dari risiko perbuatannya karena di luar kesadaran dirinya. Hal itu berbeda dengan seorang yang lalai, dia akan diberi sanksi atas keteledorannya itu.

Inti dari teguran Allah terhadap orang yang lalai shalat, sebagaimana yang tersebut dalam ayat di atas, adalah berkenaan dengan tidak ada kesungguhan dalam berbuat. Karena shalat tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sungguh-sungguh penting, maka ia mudah dilalaikan, lantas mendahulukan perbuatan yang lain. Bila terdapat perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap pekerjaan, maka pekerjaan itu tidak akan terabaikan.

Allah tidak menghendaki kita untuk melakukan suatu pekerjaan dengan asal jadi, tanpa kesungguhan dan ketelitian, yang mengakibatkan kita menjadi lalai. Setiap perbuatan harus didasari niat yang kuat, mempunyai tujuan yang jelas, dan mempunyai pengaruh yang pasti. Sebagaimana kita baca dalam pembukaan shalat: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah”. Tujuan utama dari setiap perbuatan adalah mendapatkan ridha dari Allah dan kemudian perbuatan itu membuahkan natîjah, hasil (pengaruh) berupa kebaikan untuk pribadi dan masyarakat sekitar, atau mengambil dari contoh pengaruh shalat, dapat mencegah dari keji dan mungkar (tanhâ ‘an al-fakhsyâ’ wa al-munkar).

Itulah gambaran sebuah kalimah thayyibah (kalimat yang baik, yang mencakup di dalamnya ucapan dan berbuatan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, serta semua perbuatan baik) yang dilukiskan oleh Allah sebagai sebuah pohon rindang, akarnya kokoh menghunjam jauh ke dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke angkasa. Pohon itu menghasilkan buah yang baik setiap waktu. Hal itu berbeda dengan gambaran kalimah khabîtsah (kalimat yang jelek, yang mencakup ucapan, tindakan dan semua perbuatan yang tidak baik) yang diibaratkan sebagai pohon buruk yang telah tercerabut beserta akar-akarnya dari permukaan bumi, sehingga ia tidak dapat tegak berdiri.

Terjadinya berbagai kekacauan, pertikaian antar keluarga, masyarakat, sampai para elit penguasa, tidak lain adalah merupakan buah (natîjah) dari tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori kalimah khabîtsah di atas. Kita sering lalai pada pekerjaan kita. Kurang memahami mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita telah terjebak dalam kesulitan memilih mana prioritas dan mana yang tidak.

Yang prioritas dilalaikan begitu saja demi mengejar sesuatu yang tidak jelas. Hanya dengan kesungguhan dan perhatian penuh pada setiap perbuatan, kesuksesan itu dapat diraih, baik kesuksesan duniawi maupun kesuksesan ukhrawi. Semoga dengan kesungguhan itu kita dapat terhindar dari kelalaian, mampu memilah antara kebaikan dan kejahatan, dan akhirnya meraih kesuksesan dunia akhirat. Allah berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. Fushshilat/41: 34).


*) Ditulis oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Sunday, September 21, 2008

ISTIGHFAR MEMBUKA PINTU REZEKI

“Dan hendaklah kalian meminta ampun (beristighfar) kepada Tuhan dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan keutamaan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan…” (QS. Huud {11}:3)

Mohon ampun kepada Allah. Taubat. Istighfar. Itulah ikhtiar kita! Sebuah usaha yang jarang ditempuh oleh kebanyakan orang. Ikhtiar yang menurut kebanyakan manusia, termasuk juga saya hanya akan mendatangkan maghfirah dan ampunan Allah Swt. Namun siapa disangka, saat manusia membutuhkan karunia Allah Yang Maha Kaya…. Saat nafkah terasa berkurang… mungkin saja karena disebabkan kita belum menyambut ‘ampunan’ Allah Swt. Ya, ampunan-Nya! Maka itu dapat mendatangkan karunia Tuhan bagi kita semua!

Teringat kisah baginda Nabi Muhammad Saw. Kali itu, beliau memutuskan untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 10 Hijriyah. Begitu mendengar Sayyidul Mursalin berniat melaksanakannya, para sahabat yang berada di Madinah pun turut serta untuk mengerjakan haji sebagai rukun Islam yang terakhir. Subhanallah! Rombongan yang ikut dalam ritual haji tersebut mencapai angka lebih dari 120 ribu manusia.

Dengan jumlah rombongan sebanyak itu, atas izin-Nya kota Mekkah yang berada di bawah kekuasaan kafir Quraisy dapat ditaklukkan dengan amat mudahnya dan nyaris tanpa pertumpahan darah. Lebih hebatnya lagi, banyak penduduk Mekkah yang menyatakan masuk ke dalam agama Allah Swt dengan berbondong-bondong.
Namun kala itu, turunlah sebuah surat singkat yang diwahyukan kepada baginda Nabi Saw yang berbunyi:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. An Nashr {110}:1-3)

Siapa yang pernah menyangka…? Mungkin tiada terbayang dalam benak kaum muslimin saat itu yang hanya berniat untuk berhaji untuk mendapatkan anugerah yang luar biasa dan tiada terduga; yaitu penaklukan kota Mekkah & para penduduknya masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Ini adalah karunia yang tiada terbilang harganya! Karunia tersebut didapatkan karena istighfar mereka. Karena permohonan ampun mereka atas segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat! Tidakkah kita perhatikan di ayat terakhir pada surat tersebut? Setelah Allah Swt memberitahukan tentang penaklukan kota Mekkah & masuk Islamnya penduduk kota tersebut, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dan kaum muslimin secara menyeluruh untuk bertasbih juga memohon ampunan (beristighfar) kepada-Nya? Ya, memohon ampunan Allah! Sebelum dan sesudah kesuksesan itu datang. Sebelum dan sesudah prestasi diraih. Meminta ampunan-Nya untuk menjemput karunia-Nya dan mendapatkan kemuliaan serta keutamaan sebagaimana dijanjikan dalam QS. 11:3

Dalam tafsir Al Qurthubi disebukan sebuah riwayat dari Ibnu Shubaih bahwa ada seorang pria datang kepada Al Hasan Al Jadubah mengeluhkan permasalahannya. Maka Al Hasan memberi jawaban, “Beristighfarlah kepada Allah!” Lalu ada orang lain yang mengeluhkan rezeki yang sulit, maka Al Hasan menganjurkan, “Beristighfarlah kepada Allah!” Kemudian ada seorang perempuan yang datang kepada Al Hasan mengadukan bahwa dia belum dikaruniai anak. Al Hasan pun memberi jawaban yang sama. Ada lagi orang yang mengeluhkan padanya bahwa kebunnya kurang air, Al Hasan pun masih memberikan jawaban serupa. Maka kami pun bertanya kepada Al Hasan tentang jawaban yang sama itu dalam menghadapi masalah yang beragam. Maka ia menjawab, “Itu semua bukan aku yang jawab. Namun itulah jawaban Allah yang tertuang dalam surat Nuh:10-12.”

Tidakkah Anda melihat dalam riwayat tersebut bahwa istighfar dapat menyelesaikan banyak masalah? Karenanya, jika Anda merasa hidup sulit.. banyak masalah dan rezeki sempit… tidakkah kita mencoba resep Nabi Saw? Sebuah amalan yang amat mudah dan gampang untuk dikerjakan. Tiada lain amalan tersebut adalah istighfar (memohon ampunan) kepada Allah Swt.
Beliau Saw bersabda,

“Siapa yang membiasakan beristighfar (memohon ampun kepada Allah), maka Allah akan memudahkan baginya: 1) Jalan keluar dari setiap kesempitan, 2) Kemudahan dalam setiap kepanikan, 3) Rezeki dari Allah Swt lewat jalan yang tidak pernah terduga.” HR. Abu Daud

Maka, cobalah kebiasaan baik ini dalam hidup Anda yang tersisa. Beristighfar kepada Allah Swt dalam sehari-semalam sebanyak 100 kali. Ucapkanlah.... Astaghfirullahal Azhim... (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), atau dengan ucapan istighfar lain yang Anda ketahui, maka Anda akan dapati bahwa saat ampunan Allah Swt itu sudah Anda rasakan, maka kenikmatan yang diberikan kepada Anda akan semakin berlimpah-limpah dan banyak keutamaan serta keistimewaan yang Dia berikan kepada Anda. Ya, Anda... hamba-Nya yang suka mencari ampunan dari-Nya. Semoga bermanfaat!(asy/asy)

Thursday, September 18, 2008

POSITIVE THINKING

“Kalau saja kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia memberimu rizki sebagaimana Dia memberi rizki kepada burung. Di pagi hari burung itu pergi (mencari rizki) dengan perut kosong, dan datang pada sore hari dengan perut kenyang”. H.R. al-Tirmidzi.

Sebuah ungkapan yang baik sekali disampaikan oleh Rasulullah SAW. bahwa dalam hal bertawakkal kita disuruh untuk belajar dari perilaku burung. Burung itu dengan riang gembira, berkicau merdu di pagi hari sebelum menunaikan tugasnya mencari nafkah, dengan suatu harapan akan menghasilkan rizki yang cukup dalam kepergiannya nanti. Tidak ada rasa khawatir, bimbang dan sedih walau anak-anak dan dirinya sendiri masih lapar. Pada sore hari, setelah terbang ke sana kemari mencari rizki, akhirnya burung tersebut dapat mengisi perutnya bahkan ada yang dapat dibawa ke rumah untuk anak-anaknya. Demikianlah dilakukan burung setiap hari.

Seekor binatang yang tidak mempunyai akal mampu bekerja dan menghasilkan suatu hasil yang baik karena bekerja dengan penuh tawakkal. Manusia yang mempunyai pikiran untuk menabung, mengeksploitasi, membudidayakan, atau memproduksi justru sering kehilangan kepasrahan dirinya kepada Allah. Bahkan tidak jarang mereka mempunyai negative thingking (suudzan) kepada Allah, ketika usaha kerasnya belum membuahkan hasil yang nyata. Manusia gampang sekali bersedih ketika perutnya kosong, ketika badannya sakit, ketika usahanya gagal, dan ketika jabatannya hilang.

Hal demikian diungkapkan dalam sebuah ayat: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila dia mendapatkan kebaikan ia amat kikir”. (Q.S. al-Ma’ârij/70: 19-27).

Resep mujarab yang diajarkan oleh Rasulullah agar kita tidak mudah susah adalah dengan melatih diri untuk bertawakkal, yaitu memasrahkan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Kita dituntut bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin, dan berjuang tanpa henti. Setelah itu kita serahkan segala hasilnya kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Tawakkal tentu bukanlah berpangku tangan, bermalas-malasan, dan hanya menengadakan tangan meminta-minta.

Kita dituntut untuk selalu berpikiran positif (husnudzan) dalam hidup, tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah, dan tidak berkeluh kesah. Bila pikiran positif yang selalu ada dalam diri kita, maka kita tidak mudah berburuk sangka, walau mungkin saja ada suatu musibah yang menimpa kita. Pikiran positif artinya memandang segala yang terjadi pada kita dengan pandangan yang baik. Apabila ada nikmat yang diberikan, maka selalu disyukuri dan apabila ada musibah yang menimpa selalu dihadapi dengan tabah.

Begitulah yang dilakukan para nabi dan para wali Allah. Oleh karena itu ketika siksa bakar diberikan kepada Nabi Ibrahim, dan serangan kaum musyrikin ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW., mereka tetap bertawakkal sambil berucap: Hasbunallâh wa ni’mal wakîl (cukuplah bagi kami Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik wakil)”, lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh (tiada daya dan kekuatan kecuali bagi Allah). Kita dianjurkan untuk selalu berdoa dengan do’a tersebut agar kita ditolong Allah di saat-saat paling sulit sekalipun.

Kegagalan kita dalam berusaha dan membangun diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa kita, jangan-jangan karena watak saling mencurigai yang selalu kita kembangkan. Kita mudah sekali mencurigai orang, berburuk sangka, pada setiap prestasi yang dikembangkan oleh orang lain. Kita mudah sekali menuduh orang lain sebagai sumber masalah, sumber malapetaka dan sumber bencana.

Watak jelek itu bahkan tidak jarang kita tuduhkan kepada diri sendiri dan kepada Pencipta kita. Bila pikiran negatif yang kita kembangkan, maka seorang yang datang dengan tulus memberi makanan, umpamanya, pasti akan dicurigai secara negatif. Kenapa tidak kita kembangkan sikap baik sangka dengan menggunakan pikiran positif dan membuang jauh-jauh semua pikiran negatif. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang selalu curiga kepada orang lain, dia akan mati dengan sia-sia”. Dengan berpikiran positif kita dapat hidup damai, tenteram, dan bahagia. Tapi dengan berpikir negatif kita selalu susah, gelisah, dan sengsara. Wallâhu A’lam.

HAMBA YANG BERSUJUD

“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang kami berikan.”Q.S. al-Sajdah/32: 15-16.

Sesungguhnya seluruh makhluk Allah itu tunduk dan takluk kepada kekuasaan Allah. Manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk Allah lainnya pasti takluk dan tunduk pada aturan-aturan dan sunnah-sunnah yang dibuat-Nya. Bahkan orang yang mencoba melawan Allah bahkan mengingkari kekuasaan-Nya, pada akhirnya takluk dan tunduk pada kekuasaan-Nya.

Dia tidak bisa menolak ketika Allah menghendakinya jatuh bangkrut, menderita sakit, mendapat berbagai musibah, bahkan melawan kematian. Hanya saja ada segolongan manusia yang tunduk kepada Allah karena kepatuhan (thaw’an), dan ada yang tunduk kepada-Nya karena keterpaksaan (karhan).
Allah berfirman: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (Q.S. Ali Imrân/3: 83. Juga firman-Nya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Q.S. al-Ra’d/12: 15).

Persoalannya kemudian adalah apakah kita tunduk, dan takluk kepada Allah karena kepatuhan, ataukah karena keterpaksaan. Yang pertama itulah hakekat seorang muslim, seorang yang dengan kepatuhannya menyerahkan dirinya hanya kepada Allah. Sedangkan yang kedua, itulah hakekat seorang kafir yang tunduk karena terpaksa, hendak menentang Allah tapi sia-sia belaka.

Di dalam al-Quran, kata-kata ketundukan setidaknya disebutkan dalam lima bentuk kata-kata, yaitu: al-islâm (tunduk pasrah) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 133 kali, al-thâ’ah (tunduk setia) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 129 kali, al-sujûd (tunduk merendah) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 80 kali, al-khusyû’ (tunduk penuh konsentrasi) disebutkan dalam al-Quran dengan berbagai bentuk jadiannya sebanyak 17 kali, dan al-khudhû’ (tunduk patuh) disebutkan dua kali.

Seseorang yang telah menundukkan diri kepada Allah dengan menyerahkan dirinya kepada Allah (yuslim wajhahu ila Allah), adalah orang yang telah berpegang teguh kepada ikatan yang kuat (al-urwah al-wuthqa) (Q.S. Luqman/31: 22). Ikatan itu adalah ikatan aqidah, ikatan iman. Hidupnya diikatkan dengan keyakinan yang kuat kepada Allah Yang Menciptakan dan Yang Memeliharanya. Sehingga oleh karenanya dia akan memiliki pendirian yang teguh, prinsip yang kuat dalam menjalani roda kehidupan, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai godaan-godaan duniawi yang memesonakan.

Orang yang tunduk sujud itu dialah yang sanggup untuk selalu bertaubat atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, selalu berupaya untuk menjalankan hidup dalam pengabdian kepada Allah, pandai bertasbih kepada-Nya, ruku’ dan sujud dilakukan dengan ketulusan tiada henti, menjalankan tugas dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, serta memelihara dan menerapkan Syari’ah Allah (Q.S. al-Taubah/9: 18). Oleh karenanya dialah orang yang mempunyai kemampuan untuk selalu berdzikir kepada Allah dengan membaca ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah, baik al-ayat al-Qur’aniyah (ayat-ayat al-Quran), maupun al-ayat al-kauniyyah (tanda-tanda alam ciptaan-Nya).

Dia selalu mengadakan kontemplasi, perenungan, dan tadabbur, dengan cara khusyu’ dalam shalat, dzikir, dan doa, selalu dalam al-khauf dan raja’ (khawatir amalannya tidak diterima dan mendapat murka dari Allah, serta penuh pengharapan akan ridha dan kasih sayang-Nya). Selain itu seorang muslim yang selalu tunduk bersujud itu berupaya selalu berbagi (al-infaq) dari nikmat, rizki, karunia yang diberikan Allah kepadaNya; maka dia tidak malas untuk menjalankan perintah zakat, anjuran shadaqah, wakaf, dan membagi yang dimiliki.

Semoga kita dapat menjadi hamba Allah yang terus tunduk patuh karena kesetiaan dan bukan karena terpaksa, dengan terus berusaha membaca tanda kekuasan Allah, selalu mengadakan kontemplasi dan perenungan, serta pandai berbagi kepada sesama. Dengan cara itulah kita menjadi hamba Allah yang dicintai, hambanya yang selalu dalam al-islam, al-tha’ah, al-sujud, al-khusyu’, dan al-khudhu’. Semoga.
Wallahu a’lam bi al-shawab.


*)Ditulis Oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar(asy/asy)

Tuesday, September 16, 2008

Rahasia Sholat 5 Waktu

Ali bin Abi Talib r.a. berkata, “Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, ‘Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.’

Lalu Rasullullah SAW bersabda, ‘Silahkan bertanya.’
Berkata orang Yahudi, ‘Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya. Shalat Isyak itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.’

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari rasullullah saw, lalu mereka berkata, ‘Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.’

Rasullullah SAW bersabda, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.’

Sabda Rasullullah saw lagi, ‘Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.’

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.’

Sabda Rasullullah saw seterusnya, ‘Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:

1. Dibebaskan daripada api neraka.
2. Dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, ‘Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, kenapakah Allah S.W.T mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?’

Sabda Rasullullah saw, ‘Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah S.W.T mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari.
Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah S.W.T kepada makhluk-Nya.’

Kata orang Yahudi lagi, ‘Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah S.W.T, dia akan diberikan oleh Allah S.W.T 7 perkara:

1. Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
2. Rahmat Allah senantiasa dekat dengannya.
3. Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
4. Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
5. Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
6. Diberikan cahaya oleh Allah S.W.T pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
7. Allah S.W.T akan memberinya kemudian di syurga.’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).’

Sedikit peringatan untuk kita semua: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Berlomba-Lomba Berbuat Kebajikan

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa adalah Nabi Muhammad SAW itu orang yang sangat dermawan, dan kedermawanannya itu lebih lagi ketika datang bulan Ramadan. Dalam riwayat al-Baihaqi disebutkan bahwa bila datang bulan Ramadan, beliau suka membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta. Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Dermawan, cinta kepada kedermawanan dan Maha Pemurah, cinta kepada kemurahan hati”. H.R. Tirmidzi.

Di bulan Ramadan ini, kita diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk banyak beramal, mendermakan apa saja yang kita miliki. Bagi para hartawan, maka sekarang ini saat yang sangat tepat untuk membagi-bagikan harta kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Bagi para ulama, kini saatnya untuk menyebarkan ilmunya kepada orang lain agar memahami agama secara baik. Dan bagi siapa saja, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seharusnya mempergunakan kesempatan yang sangat berharga ini untuk berlomba-lomba mencari keutamaan Allah dengan banyak bederma dengan apa yang dimiliki, mungkin dengan harta, ilmu, tenaga, pikiran, doa, atau hal lain yang bermanfaat.

Betapa Allah mengistimewakan bulan Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah, sepuluh hari pertamanya adalah rahmah (limpahan kasih sayang Allah), sepuluh hari kedua adalah maghfirah (diampuninya segala dosa), dan sepuluh hari ketiga adalah itqun min al-nar (pembebasan dari siksa neraka). Bila satu kebaikan di luar Ramadan dibalas sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat balasan kebaikan, maka di bulan Ramadan amal kebaikan itu akan dibalas jauh lebih banyak dari itu semua.

Rasulullah SAW memberikan gambaran tentang pahala orang yang berbuat baik di bulan Ramadan, bahwa memberi makanan kepada satu orang untuk berbuka puasa pahalanya sama dengan orang yang berpuasa itu sendiri. Bagaimana pula bila kita mampu memberi makan dua orang, tiga orang, dan seterusnya. Lebih dari itu, bagaimana pula kalau kita mampu memberikan bukan sekedar makanan, tapi lebih dari itu, kita sanggup memberi pakaian, tempat tinggal, ilmu pengetahuan, keamanan, ketenteraman, kenyamanan, pencerahan dan sebagainya. Tentu Allah akan membalasnya dengan balasan yang tak terhingga.

Mestinya kita bercermin kepada diri kita dengan meneladani perilaku Rasulullah. Kita diajak untuk selalu melakukan perenungan dengan selalu melakukan muhasabah (introspeksi) diri. Bila beliau lebih banyak bederma di bulan Ramadan, akankah kita mengikutinya dengan memperbanyak bederma. Bila diluar Ramadan kita bersedekah dengan satu piring nasi, akankah kita bersedekah dengan sepuluh atau dua puluh piring nasi. Bila yang lalu kita pernah membantu menyekolahkan sepuluh anak yatim, akankah sekarang melakukan hal yang sama kepada lima puluh atau seratus anak yatim. Bila kita telah menyantuni 100 fakir miskin, akankah sekarang menyantuni dengan yang lebih banyak.

Umat Islam akan tumbuh dengan baik bila kesadaran untuk saling berlomba dalam kebajikan semakin tinggi, rasa tolong menolong ditingkatkan, dan kepekaan terhadap sesama terus ditingkatkan. Ramadan yang penuh berkah inilah tempat terbaik menggembleng diri untuk melakukan semua itu, dengan suatu harapan semoga kita dapat melanjutkan amal kebaikan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan, dan semua keluar dari bulan ini dengan membawa taqwa yang terkandung di dalamnya kecintaan untuk berbuat baik kepada orang lain.

Mengendalikan Amarah.

Salah satu sifat yang melekat pada setiap manusia adalah marah. Sifat marah adalah luapan kekecewaan, kekesalan dan kebencian yang kemudian ditumpahkan dengan perasaan, ekspresi wajah, gerak tubuh, kata-kata dan tindakan. Terjadinya sifat marah dapat diakibatkan sakit hati, kekesalan dan rasa kecewa. Contohnya seseorang yang dihina oleh orang lain, maka bisa muncul sifat marah pada orang yang dihina tersebut.

Setiap manusia diperbolehkan marah, selama kemarahan itu wajar dan terkendali. Bukan kemarahan yang berlebihan, tanpa kendali dan tidak proporsional. Betapa banyak manusia tidak mampu mengendalikan marah. Contohnya seorang Ibu yang memerintahkan anaknya untuk belajar, tapi karena anaknya tidak mau mengikuti perintah ibunya tersebut, maka Sang Ibu memarahi anaknya sambil merobek buku pelajaran Sang Anak. Atau kasus seorang suami yang meminta istrinya memasak makanan kesukaan Sang Suami, tapi karena istrinya tidak melakukannya, maka Sang Suami menampar dan menendang Sang Istri, sambil membanting perlengkapan masak.

Pada kasus lain terjadi seorang istri bertengkar dengan suaminya karena cemburu, dalam pertengkaran tersebut sampai terjadi suami melemparkan piring ke arah istrinya, sementara istri melemparkan gelas ke arah suaminya. Bahkan pintu kamar istrinya juga ditendang sampai jebol oleh suaminya.

Atau dalam peristiwa lain, gara-gara ada pertunjukan musik dangdut di sebuah pernikahan, saat berjoget, seorang pengunjung menyenggol pemuda lainnya. Akhirnya terjadi perkelahian massal yang mengakibatkan 5 orang luka parah dengan darah mengucur di sekujur tubuh dan 10 orang luka ringan.

Bahkan dalam peristiwa lain terjadi, gara gara ada seorang pemuda naksir pada seorang pemudi di sebuah kampung. Kemudian pada saat pemuda itu apel ke rumah pemudi, ditegur oleh sekelompok pemuda di kampung tersebut. Akhirnya terjadi perkelahian, dan sang pemuda yang apel itu pulang ke kampungnya memberitahukan kepada pemuda lainnya. Akhirnya terjadilah tawuran massal antar kampung yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia, 17 orang luka-luka dan 10 bangunan rumah dan 2 buah sepeda motor terbakar hangus.

Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi dan akibatnya lebih besar daripada kasus-kasus di atas. Kalau kita telaah kasus-kasus di atas, maka kita melihat bahwa sifat marah yang disebabkan oleh sesuatu yang sebenarnya sederhana, telah ditumpahkan dalam bentuk kemarahan yang berlebihan dan tidak proporsional.

Bentuk berlebih-lebihan dalam kasus di atas misalnya adalah hanya karena anak tidak mau diperintahkan belajar, buku pelajaran anak dirobek-robek. Padahal apa kesalahan buku terhadap orang tua yang marah itu ? Atau kenapa istri yang dimarahi oleh suami, tetapi perlengkapan masak dibanting ? Atau kenapa hanya karena cemburu pada suami, piring dan gelas harus dilemparkan dan pecah ? Kesalahan apa yang telah dibuat oleh perlengkapan masak, piring dan gelas ? Atau kenapa pintu harus ditendang sampai rusak ? Apa salah pintu pada Sang Suami ? Kenapa hanya karena tersenggol orang lain, 15 orang harus terluka ? Atau hanya karena ditegur karena apel, mengapa sejumlah orang harus meninggal dan luka-luka ? Mengapa harus sekian rumah dan motor yang harus terbakar ? Itulah fakta-fakta kemarahan yang tidak terkendali.

Kemarahan yang tidak terkendali hanya menimbulkan penderitaan, rasa kebencian, dendam, jatuhnya sasaran kemarahan yang serampangan dan korban yang jauh lebih besar daripada penyebab kemarahannya.

Allah SWT berfirman yang artinya :
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak baik pada waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-Imran : 134)

Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Bukanlah orang kuat itu yang kuat dalam berkelahi, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalika hawa nafsunya ketika marah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda :

“Barangsiapa menahan amarahnya, maka Allah akan menahan siksa-Nya…” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Imam al-Ghazali menyebutkan tingkatan manusia dikaitkan dengan kemarahannya, dapat dikelompokkan kepada tiga jenis, yaitu :

1. Tafrith, yaitu orang yang tidak memiliki kemarahan sama sekali atau hilang marahnya. Dia serba tak acuh terhadap segala yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan terhadap segala penghinaan, penyelewengan agama sekalipun dia tidak memiliki sifat marah sama sekali.

2. Ifrath. Yaitu orang yang berlebih-lebihan dalam kemarahannya. Orang ini hanya disebabkan oleh satu kesalahan sedikit atau kekecewaan sedikit saja yang disebabkan orang lain, maka dia akan marah tanpa kendali. Kata-katanya kotor, gayanya menyeramkan, tindakannya kasar dan kejam, segala sesuatu akan menjadi sasaran kemarahannya.

3. I’tidal, yaitu orang yang mampu mengendalikan amarah, ketika muncul. Orang ini kalau marah mudah memaafkan. Dan penyebab kemarahannya juga adalah sesuatu yang sudah keterlaluan, termasuk penghinaan agama dan perendahan derajat manusia secara berlebihan.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa orang kelompok ketigalah yang terbaik.

Rasulullah SAW memberiken kiat kepada kita untuk mengendalikan amarah :
Kalau kita sedang berdiri lalu marah, cobalah duduk untuk mengurangi marah.
Kalau kita sudah duduk masih marah juga, cobalah berbaring.
Kalau sudah berbaring, masih marah juga, maka cobalah berwudhu.
Kalau setelah berwudhu masih marah juga, maka kita dianjurkan untuk sholat sunnat mutlak, yang disertai doa agar Allah menurunkan amarah.

Semoga Allah, menjadikan kita manusia yang pandai mengendalikan amarah. Amiin..!

BEKERJALAH UNTUK ISLAM

Seorang pria bernama Ahmad hari itu menjumpai kebuntuan. Kebuntuan jalan hidup demi menafkahi anak dan istrinya. Sudah 3 bulan lebih ia hidup tak berpenghasilan. Hampir setiap hari anak-anaknya menangis karena ingin minum susu, sementara istrinya suka menjerit histeris karena kalut dan panik akibat himpitan hidup.

Ahmad bukanlah orang yang gampang berpangku tangan, ia terus mencoba peruntungan hidup. Namun dunia modern yang selalu menilai manusia dari pengalaman pendidikan membuat dirinya yang hanya lulusan SMU selalu kalah terhempas oleh para pesaing pencari rezeki yang lebih ‘beruntung’ karena berpendidikan setingkat atau dua di atasnya.

Ahmad tidak mengerti mengapa rezeki diukur dari hal sedemikian. Mengapa ia, istri dan anaknya harus menanggung beban hidup sedemikian. Hanya karena kesialan akademika, maka seluruh rencana hidup manusia sudah ditentukan oleh manusia lainnya.

Pagi itu, Ahmad mencoba mencari nafkah Tuhan. Ia keluar rumah. Namun ia tak mengerti hendak pergi kemana, entah!! Ia berjalan dengan tatapan mata sayu. Tidak ada lagi sepeser rupiah pun di koceknya. Ia terpaksa keluar rumah. Sebab di rumah, hanya akan membuat kepalanya bertambah pening dan telinganya pekak akibat raungan dan jeritan isrti serta anaknya. Ia keluar rumah hari itu mencoba peruntungan nasib, setelah sebelumnya ia sempatkan berdoa sejenak dalam kedamaian hati kepada Allah SWT Sang Maha Pemberi rezeki agar ia dicukupkan nafkah pada hari ini.

Ia berjalan sambil menunduk. Tak ada daya baginya untuk menegakkan kepala sedikitpun. Dalam benaknya, ia terus berpikir hendak kemana ia pergi mencari nafkah?

Memang Allah Maha Pemurah!!
Setelah berjalan menyusuri bumi yang telah Allah Ta’ala tundukan untuk manusia, maka matanya tertumpu pada sebuah koin kuno yang ia dapati tertanam di tanah dan tidak diindahkan oleh kebanyakan manusia.

Ahmad memungut koin tua tersebut. Ia dapati dalam koin tersebut angka 1954 yang menunjukkan tahun pembuatannya. Ia berpikir sejenak bahwa umur koin ini lebih tua dari dirinya sendiri yang belum genap 30 tahun.

Seolah mendapat anugerah yang besar, Ahmad berjalan cepat menuju pasar. Sesampainya di sana, ia masuk ke sebuah bank.

Karena ketidak-tahuannya, Ahmad berkata kepada salah seorang teller bank, “Mbak, saya mau jual koin kuno ini?” Ahmad mengeluarkan benda yang dimaksud dari kantong celana sebelah kanan, lalu ia sodorkan kepada teller bank tersebut.

Sang teller merasa aneh, kalau saja ia tidak melihat mimik kesungguhan orang yang mengeluarkan koin tersebut, pasti ia sudah meledakkan tawa seraya mengejek. Dengan lembut sang teller berkata, “Bapak…, di bank ini kami tidak memberikan pelayanan jual-beli mata uang kuno. Bila bapak hendak menjualnya, saya bisa tunjukan kepada bapak sebuah toko kolektor uang kuno yang ada di pasar ini, dan bapak dapat menukarkannya di sana…”

Setelah mendapatkan arah toko tersebut, Ahmad pun meninggalkan bank untuk pergi ke tempat yang dimaksud.

Allah Sang Maha Pengasih tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha yang dilakukan para hamba-Nya!!!

Akhirnya, Ahmad tiba di toko kolektor uang kuno. Setelah pembicaraan singkat, tanpa diduga sang pemilik toko menaksir uang kuno itu dengan harga Rp 30 ribu. Alangkah senang hati Ahmad! Ia sempat memuji Allah Swt yang begitu pemurah dan memberikan padanya uang sebanyak itu di saat mendesak seperti ini.

Dengan rahmat-Nya, Allah masih memberikan ilham pada Ahmad agar uang tersebut tidak habis dikonsumsi.

Sambil berjalan menuju pulang, ia sempat melintasi sebuah pabrik kayu. Terbersit olehnya, untuk membeli potongan-potongan kayu bekas untuk dijadikan lemari buat di rumah. Lalu dengan uang yang ada ia coba berbicara kepada pemilik pabrik kayu itu untuk membeli beberapa potong kayu bekas. Tanpa disangka, Allah Swt masih menunjukan kemurahan-Nya. Dengan uang sejumlah sedemikian, ia dapatkan banyak potongan kayu lagi bagus kualitasnya. Pemilik pabrik berkata, “Ambillah sebanyak bapak suka… toh kayu-kayu yang bapak minta memang biasa kami buang sebagai limbah!”

Terbayang dibenak Ahmad bahwa ia dapat membuat lemari bagi keluarganya dengan kayu-kayu tadi. Saat berjalan menuju pulang dengan senyum terkulum, Ahmad melintasi sebuah toko meubel. Tanpa ia tahu, rupanya pemilik toko meubel itu memperhatikan kayu-kayu yang dibawa Ahmad sejak dari kejauhan.

Begitu melintas di mulut toko, sang pemilik menegur Ahmad, “Kayu-kayu itu mau dijual, pak...?”

Ahmad menoleh ke arah sumber suara dan setelah berpikir sejenak ia katakan, “Tidak pak, kayu ini hendak saya jadikan lemari buat di rumah.” “Oh… kalau bapak mau lemari, tukarkan saja kayu-kayu tersebut dengan lemari yang saya jual! Tapi, bapak sendiri mau gak?” Ahmad mencoba melongok beberapa lemari yang ada dalam toko tersebut. Ia sedikit bergidik sambil bertanya dalam hati, “Mau ditukarkan dengan lemari yang mana?” Dengan menghela nafas agak dalam sedikit, Ahmad memberanikan diri untuk bertanya, “Memangnya bapak mau bayari berapa kayu-kayu saya ini?” Pemilik toko itu menukas, “Bagaimana kalau dengan seratus ribu, tapi saya bayar dengan lemari yang ada ya pak?” Mendengarnya Ahmad berdecak kagum. Ia bersyukur dalam hati, begitu pemurahnya Allah Tuhan Sang Maha Pemberi Rezeki. Ia tidak mengira bahwa kayu-kayu yang dibawanya ditaksir dengan harga Rp 100 ribu.

Lalu Ahmad memilih lemari yang ia suka. Sebuah lemari dua susun setinggi 1 meter! Karena tidak terlalu besar, ia pun membopong lemari tersebut ke rumah. Ia bawa lemari seharga seratus ribu itu dengan perasaan senang. “Istriku pasti bahagia begitu melihat lemari ini!” gumamnya.

Tiga kelokan lagi Ahmad akan tiba di rumah, hanya berjarak 2 RT saja dari jalanan yang ia lewati. Saat menyusuri sebuah gang di perumahan padat penduduk, Ahmad yang sedang menggotong lemari mungilnya itu mendengar sapaan seorang wanita. Seorang ibu rumah tangga yang sedang menyapu teras rumahnya. “Pak, lemari itu mau dijual ya…?!” Glek…!! Ahmad menelan ludah. Ia berpikir, kejutan apalagi yang mau Allah Ta’ala berikan kepadanya.

Ahmad berhenti sebentar, menoleh dan memutarkan wajah. Tanpa menurunkan lemari itu Ahmad balik bertanya, “Emangnya ibu suka dengan lemari ini?” “Iya tuh bang! Lemarinya bagus. Mau dijual berapa?” sang ibu menukas. “Dua ratus ribu mau gak?!” Ahmad mencoba berspekulasi dengan harga yang ia tawarkan. “Eih… kok bisa ya... ini mah murah... Iya deh saya beli!” Sang ibu kesenangan dengan harga yang ditawarkan Ahmad. Sementara ia sendiri merasa bingung karena sang ibu mengiyakan harga yang ia berikan tanpa tawar lagi.

“Taruh di sudut situ ya, bang!” sang ibu menyuruh Ahmad. Usai meletakkan pada posisi yang dimaksud, Ahmad pun menerima uang yang disodorkan oleh ibu tadi.

Subhanallah, Allah begitu pemurah! Ahmad tak henti-hentinya mensyukuri peruntungan nasib yang ia alami pada hari ini. Ia mencoba merenungi kejadian satu demi satu. Ia dapati bahwa ia memulai usaha dengan doa tulus dalam hati. Setelah itu, ia berniat mencari nafkah dan bekerja hari ini. Karena niat untuk bekerja menghidupi keluarga, maka Allah tolong dirinya mendapatkan uang kuno. Uang kuno tadi kemudian ia tukar seharga Rp 30 ribu. Uang yang ia dapatkan ia belikan kayu-kayu bekas. Kayu itupun ditaksir dengan lemari senilai Rp 100 ribu dan akhirnya malah lemari itu dibeli seorang ibu dengan harga Rp 200 ribu. Kini Ahmad membawa pulang Rp 200 ribu untuk keluarganya. Ia pulang dengan hasil jerih payahnya dan nikmat yang luar biasa dari Tuhannya.

Islam, agama yang hanif ini… mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berpangku tangan. Bekerja dengan giat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Bukan karena urusan rezeki umat diperintahkan untuk bekerja, sebab rezeki itu sudah ada ukurannya. Akan tetapi umat Islam diperintahkan untuk bekerja demi izzah (kemulian) diri dan agamanya.

Asalkan bekerja meskipun badan kotor bersimbah lumpur sekalipun. Kulit tangan menjadi kasar dan kaki pecah, asalkan bekerja keras untuk menafkahi keluarga dan ikhlas lillahi ta’ala, maka Allah Swt akan memberikan kecintaan dan pahala yang besar baginya.

Dalam suatu riwayat, Rasulullah Saw pernah mencium tangan Saad bin Muadz begitu melihat tangan Saad yang kasar karena bekerja keras. Beliau bersabda, “Inilah dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala!”

Islam amat menghargai seseorang yang bekerja. Bahkan Rasul Saw juga pernah bersabda
,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال والذي نفسي بيده لأن يأخذ أحدكم حبله فيحتطب على ظهره خير له من أن يأتي رجلا فيسأله أعطاه أو منعه

“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak. (HR. Bukhari & Muslim)

Demikianlah agama ini mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja keras dan beramal sungguh-sungguh. Sebab karya nyata yang dilakukan oleh seorang muslim dengan sungguh-sungguh akan disaksikan oleh Allah, Rasul & seluruh kaum mukminin. Karenanya Allah Swt berfirman dalam surat At Taubah: 105

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan".

Semoga Allah memberkahi usaha yang kita jalankan dan pekerjaan yang kita lakukan di jalan-Nya. Amien. Selamat Bekerja!