Monday, February 28, 2011

Bukan Pria Idaman


Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.



Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul

Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingin buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.

Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak.

Ibnul Qayyim mengatakan,

“Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid). Berarti jika aqidah dan iman seseorang rusak -padahal itu adalah pokok atau pondasi-, maka bangunan di atasnya pun akan ikut rusak. Perhatikanlah hal ini!



Ciri Kedua: Menyia-nyiakan Shalat

Tidak shalat jama’ah di masjid juga menjadi ciri pria bukan idaman. Padahal shalat jama’ah bagi pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an dan berbagai hadits.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim).

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud, Shahih)



Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur:

[1] dia adalah seorang yang buta,

[2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani,

[3] banyak sekali tanaman, dan

[4] banyak binatang buas.

Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya ?!

Imam Asy Syafi’i sendiri mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha)



Jika pria yang menyia-nyiakan shalat berjama’ah di masjid saja bukan merupakan pria idaman, lantas bagaimana lagi dengan pria yang tidak menjalankan shalat berjama’ah sendirian maupun secara berjama’ah?!



Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, mengatakan,

”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”



Ciri Ketiga: Sulit Menundukkan Pandangan

Inilah ciri berikutnya, yaitu pria yang sulit menundukkan pandangan ketika melihat wanita. Inilah ciri bukan pria idaman. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30)



Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya.



Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)



Boleh jadi laki-laki tersebut jika telah menjadi suami malah memandang lawan jenisnya sana-sini ketika istrinya tidak melihat.

Kondisi seperti ini pun telah ditegur dalam firman Allah (yang artinya),

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir: 19)



Ibnu ‘Abbas ketika membicarakan ayat di atas, beliau mengatakan bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seorang yang bertamu ke suatu rumah. Di rumah tersebut ada wanita yang berparas cantik. Jika tuan rumah yang menyambutnya memalingkan pandangan, maka orang tersebut melirik wanita tadi. Jika tuan rumah tadi memperhatikannya, ia pun pura-pura menundukkan pandangan. Dan jika tuan rumah sekali lagi berpaling, ia pun melirik wanita tadi yang berada di dalam rumah. Jika tuan rumah sekali lagi memperhatikannya, maka ia pun pura-pura menundukkan pandangannya. Maka sungguh Allah telah mengetahui isi hati orang tersebut yang akan bertindak kurang ajar. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah itu mengetahui setiap mata yang memandang apakan ia ingin khianat ataukah tidak.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Qotadah. (Tafsir Ibnu Katsir)



Ciri Keempat: Senangnya Berdua-duaan

Inilah sikap pria yang tidak baik yang sering mengajak pasangannya yang belum halal baginya untuk berdua-duaan (baca: berkhalwat). Berdua-duaan (khokwat) di sini bisa pula bentuknya tanpa hadir dalam satu tempat, namun lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via FB dan lainnya. Seperti ini pun termasuk semi kholwat yang juga terlarang.



Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari) Dalam hadits lain disebutkan, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad. Shahih dilihat dari jalur lain)



Ciri Kelima: Tangan Suka Usil

Ini juga bukan ciri pria idaman. Tangannya suka usil menyalami wanita yang tidak halal baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.

Dari Abdulloh bin ‘Amr,

”Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat.” (HR. Ahmad. Shahih).

Dari Umaimah bintu Ruqoiqoh dia berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Malik. Shahih)



Ciri Keenam: Tanpa Arah yang Jelas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim)



Berarti kriteria pria idaman adalah ia bertanggungjawab terhadap istrinya dalam hal nafkah. Sehingga seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Sejak dini atau pun sejak muda, ia sudah memikirkan bagaimana kelak ia bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Di antara bentuk persiapannya adalah dengan belajar yang giat sehingga kelak bisa dapat kerja yang mapan atau bisa berwirausaha mandiri.

Begitu pula hendaknya ia tidak melupakan istrinya untuk diajari agama. Karena untuk urusan dunia mesti kita urus, apalagi yang sangkut pautnya dengan agama yang merupakan kebutuhan ketika menjalani hidup di dunia dan akhirat. Sehingga sejak dini pun, seorang pria sudah mulai membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup untuk dapat mendidik istri dan keluarganya.

Sehingga dari sini, seorang pria yang kurang memperhatikan agama dan urusan menafkahi istrinya patut dijauhi karena ia sebenarnya bukan pria idaman yang baik.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa sebagai petunjuk bagi para wanita muslimah yang ingin memilih laki-laki yang pas untuk dirinya. Dan juga bisa menjadi koreksi untuk pria agar selalu introspeksi diri. Nasehat ini pun bisa bermanfaat bagi setiap orang yang sudah berkeluarga agar menjauhi sifat-sifat keliru di atas.

Wallahu waliyyut taufiq.

di copas dari catatan[Muhammad Abduh Tuasikal] di klinik hati (facebook)

Merindukan Anak Shalih


Menjadi anak shalih, siapa yang tak mau? Memiliki anak shalih, orang tua mana yang tidak rindu? Anak shalih adalah dambaan tiap orang tua. Sejahat apapun kelakuan orang tua, nuraninya tak mungkin berkeinginan sang anak mengikuti jejak orang tuanya, menjadi penjahat, koruptor, penjudi, atau pezina.

“Jadilah anak shalih, tekun beribadah, rajin belajar, jadi orang pintar, jangan seperti bapakmu ya Nak?” begitu sering kali orang tua berpesan pada anaknya. Anak shalih senantiasa mengalirkan kebaikan bagi kedua orang tuanya walaupun keduanya telah tiada, bahkan derajat keduanya terangkat karena istighfar anaknya. Atau anaknya meninggal lebih dahulu sementara kedua tuanya bersabar dalam rangka mencari pahala dari Allah maka akan memberi balasan mulia di surga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Jika putera seorang hamba meninggal dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada malaikat: “Kalian telah mengambil putera hamba-Ku?“ Mereka berkata: “Ya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kalian telah mengambil buah hati hamba-Ku?” Mereka berkata: “Ya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?” Mereka berkata: “Ia memuji-Mu dan mengembalikan kepada-Mu.” Maka berfirman: “Bangunkanlah rumah di surga dan berilah nama dengan Baitul Hamad.”[1]

Anak shalih adalah buah hati yang senantiasa disayangi dan belahan jiwa yang membuat hati orang tua berbunga-bunga. Sehingga saat anak menderita, orang tua merasakan deritanya, saat sang buah hati terkena musibah, orang tua dirundung duka, dan pada saat anak berhasil, menjadi shalih atau berprestasi dalam hidupnya, maka orang tuanya merasa bangga bukan kepalang.

Namun realita banyak mengungkap, bahwa saat orang tua berhasil atau berjaya dalam hidupnya maka sang anak akan mengikuti dan menikmati kejayaan dan kemakmurannya. Sebaliknya, saat sang anak berjaya dan berhasil dalam hidupnya, belum tentu orang tuanya ikut menikmati kejayaan bersama buah hatinya yang selama ini disayangnya. Contoh yang jelas, saat orang tua memiliki rumah megah dan kendaraan mewah maka sang anak akan turut menikmatinya. Orang tuapun mengajarinya bagaimana mengendarai kendaraan mewah mereka. Namun, saat sang anak yang berhasil memiliki mobil mewah, apakah ia tergerak untuk mengajarkan orang tuanya agar bisa mengendarai dan menikmati kendaraan itu setiap hari? Tentu, tanpa dijawab pun kita sudah tahu jawabannya. Bila orang tua kaya kehidupan anak sangat manja dan tampil bagaikan majikan sementara bila anak yang berjaya orang tua diperlakukan sebagaimana pembantu atau bahkan budak.

Anak merupakan karunia terbesar dalam hidup manusia. Tetapi tidak jarang, justru karena si anak pula orang tua seringkali harus mengelus dada dan tenggelam dalam jurang nestapa dan derita. Karena di samping sebagai sebuah karunia, anak juga dapat membentuk sikap pengecut, melahirkan sifat bakhil, membuat bodoh dan menjadi sumber fitnah serta dapat menghancurkan hidup kedua orang tuanya. Maka benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Anak adalah buah hati dan sesungguhnya dia membuat (orang tuanya) pengecut, bersikap bakhil dan gundah gulana.[2]

Tidak sedikit contoh yang terjadi di sekitar hidup kita. Tiada hujan tiada badai, tiba-tiba orang tua kaget tak kepalang seperti tersambar petir di teriknya siang. Ia mendengar bahwa anaknya didapatkan sedang sakaw, meninggal karena overdosis, tertangkap sebagai penjahat, pezina, atau hamil di luar nikah. Padahal selama ini ia merasa belahan jiwanya itu sebagai anak yang pendiam, lucu, dan lugu. Ia juga merasa sudah mendidik dengan benar buah hatinya. Tapi tiba-tiba, ia menemukan kenyataan sangat memilukan, yang membuat dunia seakan runtuh. Maka terpukul hatinya, terkoyak nuraninya, tersiksa batinnya dan tersentak perasaannya serta merasa hancur jiwa raganya. Ternyata, buah hati yang disayang dan dibanggakan, telah mencoreng muka dan merusak nama baik keluarga.

Karena itu, Islam sangat menekankan kepada umatnya, agar senantiasa mendidik buah hati agar menjadi anak shalih, membimbing mereka agar selalu berdoa dan memohon keshalihan dan segala karunia kebaikan untuk putera-puteri mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Al Furqan [25] : 74)

Agar orang tua mampu menggapai derajat kesalihan anaknya dan memetik buah hatinya sehingga menjadi simpanan paling mahal di akherat kelak, dan keinginannya tidak pupus serta harapannya tidak kandas. Maka setiap orang tua harus berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, memiliki ilmu agama yang cukup, menumbuhkan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan anak dan memadatkan bimbingan aqidah dan akhlak Islam kepada mereka serta menjauhkan mereka dari teman-teman yang buruk dan lingkungan rusak.



Pendidikan untuk Anak Shalih

Anak selalu dipandang sebagai karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, buah hati, peneduh mata, kebanggaan orang tua, penyejuk jiwa, pelibur lara dan belahan jiwa yang berjalan di muka bumi sekaligus perhiasan dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik(Surga). (QS. Ali Imran [3] : 14)

Anak ibarat bunga yang senantiasa menebar aroma wangi bagi setiap sudut kehidupan orang tuanya, bahkan anak menjadi perekat hubungan kedua pasangan yang sedang dirundung konflik pasutri dan bisa menambah harmonis kehidupan rumah tangga. Namun terkadang anak juga bagaikan secawan arak yang membuat orang tuanya mabuk kepayang dan terjatuh dalam fitnah dunia sehingga binasa di dunia dan akherat. Agar orang tua tetap untung dan bahagia punya anak maka harus mengerahkan jerih payah untuk mendidik, karena untuk mendapatkan anak shalih tidak semudah membalik tangan tetapi dibutuhkan usaha serius dan kerja keras serta kerja sama kompak antara kedua orang tua dalam merealisasikan harapan tersebut, terutama meluruskan pemahanan tentang konsep pendidikkan anak. Sebab pendidikan ibarat proses menyemai tanaman bila tamanan setelah tumbuh dipupuk dan disemprot hamanya dengan rutin maka tanaman akan tumbuh lebat dan memberikan buah terbaiknya saat musim panen.

Dan anak bisa menjadi shalih hanya dengan peran aktif orang tua dalam membimbing, mengarahkan dan mendidiknya secara benar dan ikhlas. Walaupun anak terlahir dalam keadaan fitrah, namun seiring berjalannya waktu peran orang tua sangat menentukan baik dan buruk pribadi anak-anaknya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan tentang hal itu dalam sabdanya:

“Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat.” Kemudian Abu Hurairah berkata: “Dan Bacalah firman Allah jika kamu mau”:

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar Ruum [30] : 30). [3]

Barangsiapa berharap puteranya menjadi orang yang salih, ikhlas beramal karena Allah subhanahu wata’ala, mengamalkan petunjuk manusia pilihan, bermanfaat untuk umatnya, berjuang untuk umat, dan menjadi anak shalih yang selalu berdoa untuk kedua orang tua dan dikabulkan permohonannya oleh Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Mampu sehingga derajat kedua orang tua diangkat di surga maka hendaklah bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya. Dan orang tua akan mendapat pahala dan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada putera-puterinya baik berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal maka sebaiknya setiap orang tua memiliki perhatian tinggi dalam mendidik anak dengan bimbingan dan pendidikan yang benar.

Segala jerih payah orang tua dalam mendidik anak sangat dibutuhkan, baik dengan mendidiknya sendiri atau diamanahkan kepada orang lain dengan dikirim ke pondok pesantren atau lewat penyediaan sarana pendidikan yang terbaik melalui privat. Dan yang tak kalah penting, doa yang senantiasa dipanjatkan dengan tulus ikhlas dan penuh harap oleh kedua orang tuanya dapat memuluskan keinginan mereka untuk memiliki anak yang shalih dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala tergantung pada ridha orang tua?

Oleh karena itu, keshalihan atau kekufuran sang anak tidak bisa lepas dari peran dan tanggung jawab orang tuanya, karena pendidikan adalah sebuah amanah. Sedangkan pendidikan terhadap keluarga merupakan kewajiban utama dan amanah yang sangat besar, maka tidak boleh disia-siakan. Semuanya harus bermula dari diri sendiri, lalu istri, anak-anak dan kerabatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS at-Tahrim [66]: 6).

Setiap muslim pasti akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya. Ia akan mendapatkan limpahan karunia dan pahala atas segala kebaikan pendidikan yang ia berikan. Sebaliknya, bila ia menyia-nyiakan amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, maka ia akan mendapat sanksi atas segala keteledoran yang terjadi di tengah keluarganya.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.” [4]

Suami dan istri harus menyadari sepenuhnya bahwa mendidik keluarga bukanlah urusan ringan, perkara sepele dan kerjaan sambilan. Dan juga bukan hanya sekedar pernyataan atau pemikiran sederhana. Bahkan, pendidikan keluarga merupakan proses pemenuhan hajat hidup yang asasi bagi setiap anggota keluarga, masalah rumah tangga yang urgen dan buah karya yang memiliki konsekuensi jauh ke depan.

[1] Riwayat Tirmidzi1021 dia berkata Hadits hasan Shahih, Jami’ Shaghir 1/795, Ash Shahihah 1407

[2] . Shahih diriwayatkan Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3666) dan lihat Shahihul Jami’ no: 7160.

[3]. Muttafaqun alaih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya dalam Kitabul Janaiz, (1385) dan Imam Muslim dalam Shahih-nya dalam Kitab al Qadar (6697), Imam Abu Daud dalam Sunan-nya (4714) dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2138).

[4] . Shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (844, 2232, 2368, 4801).



Artikel ini diambil dari http://www.zainalabidin.org/?p=37, website ustadz Zainal Abidin, Lc.

Sebuah Kisah Inspiratif


Di sebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahun40-an.

Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas.

Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan: "Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur"

Suara itu berasal dari mulut seorang insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut. Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus. Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajeman Amerika.

Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya: Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku? Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur ?

Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka?

Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan "SIKAP POSITIF" . Muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya.


Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA. Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu.

Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi. Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan. Selanjutnya ia pulang kenegerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan ”rasa sakit”nya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja. Tidak, karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain. Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.

Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya. Suatu hari insinyur tersebut datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata; "Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu"

Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: "Aku ingin berterimakasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini.

Kini sikap positfnya sudah membuahkan hasil, lalu apakah ceritanya sampaidi sini?

Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.


Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company)perusahaan minyak terbesar di dunia. Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilakn 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas. Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.


Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini (2011) menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.


Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi hal yang positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.


Itulah kekuatan"SIKAP POSITIF"

Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita.

Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya.

Apakah ingin hancur karenanya? Atau bangkit dengan semangat "Bersikap Positif" dan menjadi bagian dari solusi ? .

KISAH CINTA SALMAN AL FARISY

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang
halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah.

Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan
dengannya, Abu Darda ’.”Subhanallaah. walhamdulillaah. ”, girang Abu darda’ mendengarnya.

Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal
dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah SAW,sampai-sampai
beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya. ”fasih Abud Darda ’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ” Adalah kehormatan bagi kami”ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,shahabat Rasulullah yang mulia.Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda ’kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan. ”Jelas sudah.

Keterusterangan yang mengejutkan, ironis,sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya!Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di
mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.”Allahu Akbar!”, seru Salman,”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda ’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”???

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini.

Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih,merasa salah memilih pengantar untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’ merasa berada ditempat yang keliru, di negeri yang salah,dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang
yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.

kisah ini di copas dari catatan pondok nurani (facebook)

Azab dan Ujian didalam Musibah


Bismillahirrahmanirrahim..

Allah SWT sangat Pemurah kepada hamba hambaNya, dan dibalik sikap Pemurah tersebut, hanya rasa syukur dan ibadah kitalah yang diminta Allah sebagai balasannya, dan itupun untuk kepentingan akhirat kita kelak, saat dipanggil untuk menghadapNya kembali.

Sebagai manusia, kadang kadang kita diberikan rasa sakit melalui penyakit, melalui perasaan yang terluka ataupun melalui musibah yang kita lihat yang terjadi terhadap sesama kita yang lain, maupun yang meniumpa diri kita sendiri. Semua kejadian itu merupakan ujian keimanan bagi kita sebagai makhlukNya yang kelak akan mempertanggung jawabkan semua amalan kita diakhirat kelak.

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An Nisaa’ 4 : 79)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari dirimu sendiri dan dari perbuatanmu sendiri, sebagaimana firman-Nya :

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syuura 42 : 30)

As Suddiy, Hasan al Bashri, Ibnu Juraih dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa makna “maka dari dirimu sendiri” adalah karena dosamu. Qatadah mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Adalah akibat dosamu wahai anak Adam.

Didalam sebuah hadits disebutkan,”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seorang mukmin ditimpa kegalauan, kesedihan, kepayahan bahkan duri yang menancap padanya kecuali dengannya Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 363)

Sebenarnya ujian itu diberikan Allah hanyalah untuk orang orang yang beriman, untuk diketahui apakah benar dia telah beriman kepada Allah dan masih beriman saat dia diuji dengan suatu kejadian yang tidak menyenangkan?

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS At Taubah 9 : 16)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al ‘Ankabuut 29 : 2)

Karena itulah, sebenarnya musibah atau bencana yang menimpa orang yang beriman yang tidak lalai dari keimanannya, sifatnya adalah ujian dan cobaan. Allah ingin melihat bukti keimanan dan kesabaran kita. Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan rahmat sesudah musibah atau bencana tersebut.

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan (QS Ali ‘Imraan 3 : 186)

Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan, bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana atau musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-lah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.

Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min 40 : 40)

Musibah juga bisa sebagai penggugur dosa-dosa kita. Perhatikan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berikut ini : “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Jadi sebenarnya musibah yang berupa ujian bagi orang yang beriman atau menjadi azab bagi kaum yang ingkar, merupakan kesalahan manusia sendiri yang tidak pandai dalam mengambil hikmah dari banyak kejadian ummat terdahulu.

Bagi orang yang beriman, sudah seharusnya beramal dengan berbagi ilmu dan mendakwahkan kebenaran Allah dan Rasulullah untuk sesama dan bagi yang ingkar, sudah seharusnya kembali kepada kebenaran yang syar’i.

Akankah kita semua tetap berkubang dalam kebodohan karena kesombongan kita yang tak mau mendengarkan dan tak mau mencari tahu kebenaran yang syar’i?

Wallahua'lam bish Shawwab.


Oleh Alexyusandria Moenir

di Situs BMB >> www.bukanmuslimahbiasa.com

Sunday, February 27, 2011

Nasehat Kematian Umar bin Abdul Aziz

Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz r.a mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur jenazah tadi. Beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya“.

Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?“.

Mereka menjawab, “Tentu”.

Umar berkata, “Kuburan ini memanggilku dan berkata, ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?‘, “Tentu“, jawabku.

Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?“.

“Tentu“, jawabku.

“Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya“.

Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,

Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.


Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia. Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di dalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.


Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan begitu, dan banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?


Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?


Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.


Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah. Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.


Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.


Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.


Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi. Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?“.


Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah.