Tuesday, August 31, 2010

KISAH KEMULIAAN WANITA DALAM ISLAM


Sumayyah binti Hubath adalah ibu kandung dari Amar bin Yassir. Ia adalah gambaran cemerlang dari wanita yang pertama kali mati syahid. Dengan ketebalan Imannya, ia berani menentang Abu Jahal yang terkenal bengis dan kejam. Ia, suami, dan anaknya dilempar ke lautan pasir yang amat panas, dengan kaki dan tangan yang diikat sehingga tidak dapat bergerak leluasa.

Mereka disiksa dengan teramat kejam agar mau mengikuti kemauan Abu Jahal untuk keluar dari Islam. Namun tiada terdengar sepatah kata pun dari Yassir dan anaknya selain rintihan semata. Karena itu, penyiksaan terhadap mereka semakin ditingkatkan. Sedangkan Sumayyah tidak hanya diam dan merintih, tetapi dengan berani dia menentang Abu Jahal dan menyatakan bahwa dirinya akan tetap berpegang teguh pada keimanannya, meskipun harus menebusnya dengan tebusan yang teramat mahal.

Ketika Rasulullah melewati keluarga Yassir yang sedang menjalani penyiksaan, beliau langsung bersabda, "Wahai keluarga Yassir bersabarlah! Karena tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga."

Nah, apakah yang diperbuat Abu Jahal ketika ia ditentang oleh seorang wanita??? Apakah yang ia lakukan ketika kesombongan dan kebengisannya dianggap enteng serta penyiksaannya malah membuat mereka semakin berani? Maka ia pun menghabisi nyawa wanita mulia itu!

Perjalanan hidup Sumayyah dicatat dalam lembaran sejarah Islam dengan tinta emas. Hingga kini namanya tetap abadi, sebagai wanita yang pertama kali mati syahid, yang kematiannya menjadi lentera penerang iman. Dapat dijadikan contoh teladan dalam menegakkan prinsip. Ia mantap berpegang teguh pada keimanannya walaupun harus menebusnya dengan tebusan yang sangat mahal.

Dalam kitab Al-Ishabah, Ibnu hajar menegaskan: "Sumayyah binti Hubath adalah mantan budak Hudzaifah bin mughirah bin Makhzum. Ia termasuk angkatan pertama dalam memeluk Islam. Dalam menyatakan keimanannya ia berada pada urutan ke-7. Ia disiksa oleh Abu Jahal dan ditusuk dengan tombak pada alat vitalnya hingga meninggal dunia. Karenanya, ia adalah wanita pertama yang mati syahid dalam Islam. Sedangkan Yassir adalah sepupu Hudzaifah. Karena itu, ia dinikahkan dengan Sumayyah hingga dikaruniai anak bernama Amar bin Yassir. Dan setelah dimerdekakan, Yassir beserta anak dan istrinya termasuk angkatan pertama yang memeluk Islam".

Sumayyah adalah lambang pengorbanan dalam menegakkan agama Allah. Ia berani berterus terang menyatakan keislamannya, ketika kaum kafir Quraisy sedang bengis-bengisnya. Mujahid menegaskan orang yang pertama kali menunjukkan keislamannya ada tujuh orang, Rasulullah, Abu Bakar, Bilal, Khabab, Shuhaib, Amar bin Yassir, dan Sumayyah. Rasulullah dan Abu Bakar dihalang-halangi oleh kaumnya, sedangkan yang lain disiksa. Mereka dipanggang diteriknya sinar matahari padang pasir. Di tengah penyiksaan yang biadab itu, datanglah Abu Jahal menghampiri Sumayyah, lantas menusuk alat vitalnya dengan tombak hingga meninggal dunia.

Ibnu Sa'ad mengetengahkan sebuah riwayat dengan sanad yang sahih, bersumber dari Mujahid, bahwa ia telah berkata, "Wanita yang pertama kali syahid dalam Islam adalah Sumayyah, seorang wanita tua lagi lemah". Ketika Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, Rasulullah bersabda kepada Amar bin Yassir, "Yaa Amar, Allah telah membunuh orang yang telah membunuh ibumu."

Bila kita perhatikan secara saksama, ternyata orang yang pertama kali memeluk Islam adalah Khadijah Binti Khuwailid dan orang yang pertama kali mati syahid dalam Islam adalah Sumayyah binti Hubath, yang keduanya adalah wanita. Maka di manakah letak Anda selaku muslimah dalam Islam saat ini??? (Wanita-wanita Pendamping Rasulullah - Aba Firdaus Al-Halwani).

Kalau sudah jelas posisi wanita dalam Islam sangat dihargai dan di hormati.... lalu mengapa masih banyak orang yang mendiskreditkan Islam dengan unsur-unsur KETIDAK ADILAN JENDER???. Perlu saya tekankan bahwa ISLAM MENGAJARKAN KEBENARAN, TETAPI SEGELINTIR UMMAT YANG SALAH DALAM MEMPERSEPSIKAN, MEMAHAMI & MENGAMALKAN ISLAM... MAKA, JANGAN MENYALAHKAN AGAMA-NYA... TETAPI "OKNUMNYA".

Saturday, August 7, 2010

Mengawal Hati Jauhi Dusta

HATI dalam tubuh manusia ibarat raja di sebuah negeri, di mana semua warga negara, baik militer maupun sipil, baik politikus maupun agamawan, semua tunduk kepadanya. Hati adalah raja, seluruh anggota tubuh laksana prajurit yang siap melaksanakan titahnya.

Bila hati sehat dan adil, maka semua titahnya pun menuju kebaikan, istiqamah, iman dan amal shalih yang pada akhirnya menghantarkan ke surga. Sebaliknya, jika hati sedang sakit, maka instruksi yang keluar otomatis diikuti oleh anggota jasad akan mengarah kepada perbuatan dosa, maksiat, kejahatan dan penyimpangan dari jalan yang haq.

Rasulullah SAW bersabda:

“...Ketahui­lah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, ia adalah hati” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi, dari Nu’man bin Basyir RA).

...Meluruskan, menyehatkan dan menjaga hati adalah pekerjaan besar setiap insan yang mendambakan kebaikan dan keselamatan dunia-akhirat...

Maka meluruskan, menyehatkan dan menjaga hati adalah pekerjaan besar setiap insan yang mendambakan kebaikan dan keselamatan dunia-akhirat. Sekecil apapun penyakit hati, harus diobati sedini mungkin supaya tidak mengganas. Awas, jangan salah obat dengan tarekat-tarekat yang bid’ah maupun amalan yang tidak jelas dari mana sumbernya. Untuk manajemen qalbu, obatilah hati yang sakit dengan resep mujarab dari Al-Qur‘an dan Sunnah.

Salah satu buah penyakit hati adalah dusta, yaitu mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Dusta adalah sifat tercela yang tidak pantas dimiliki oleh orang yang beriman. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa para pendusta pada hakikatnya tidak memiliki iman kepada ayat-ayat Allah.

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta" (An-Nahl 105).

"Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa" (Al-Jatsiyah 7).

Bila kejujuran adalah syiar yang menjadi pakaian orang-orang mukmin, maka sebaliknya dusta adalah tanda-tanda orang munafik. Allah Ta'ala berfirman:

"…Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta" (Al-Munafiqun 1).

Berangkat dari sebuah kebohongan, maka seseorang tak segan-segan untuk merekayasa dua kebohongan baru untuk menutupi kebohongan yang pertama...

Di Akhirat nanti Allah akan membangkitkan para pendusta dengan wajah yang hitam pekat di neraka Jahanam.

"Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?" (Qs. Az-Zumar 60).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: "Nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah secara umum menunjukkan tentang keharaman berdusta. Dusta adalah dosa dan aib yang teramat buruk. Konsensus umat Islam dan nas-nas yang jelas juga telah menetapkan keharaman berdusta."

Meski sifat dusta itu berbahaya, tapi nafsu manusia mencari popularitas, takhta, dan kekayaan duniawi, sering bisa membuat mereka nekad dan lupa diri. Apapun dilakukannya untuk kekuasaan dan ketenaran di mata manusia, misalnya dengan melakukan kebohongan dan fitnah.

Ingatlah dan camkan baik-baik wasiat orang bijak ini. Hati yang semula jernih dan suci, ketika sekali saja berbohong, maka kebohongan itu akan terus menghantui dan memenjarakan dirinya. Dia akan ketakutan jika sewaktu-waktu kebohongannya itu terbongkar. Maka dia akan terus menutupi kebohongannya agar kehormatannya selamat.

Berangkat dari sebuah kebohongan, maka seseorang tak segan-segan untuk merekayasa dua kebohongan baru untuk menutupi kebohongan yang pertama. Dan begitulah, dia terus berbohong, menutupi satu kebohongan dengan kebohongan-kebohongan lain. Saking seringnya dia berbohong, hatinya pun menjadi bebal, tak lagi mengenal mana yang jujur dan mana yang bohong. Baginya, kejujuran atau kebohongan adalah sama saja. Na'udzubillah min dzalik.

Seseorang sukses berbohong, hal itu sebenarnya bukan karena dia piawai dalam menyembunyikan kedustaan. Dia bisa 'sukses' justru karena Allah belum membukakan aib-aibnya. Allah Maha Tahu segala kebohongan, amat mudah bagi-Nya untuk membeberkan apapun yang Dia kehendaki. Dan bila Allah berkehendak membeberkan semua kebohongan itu, maka tak ada yang dapat menghalangi-Nya. Maka alangkah pahit ketika hancur nama baik kita di dunia ini, lalu di akhirat kelak kita akan dipanggil sebagai pendusta. Na'udzubillah.

Marilah kita hidup dengan jujur perkataan. Satukan kata dan perbuatan dengan syariat Ilahi agar menjadi manusia yang diridhai-Nya. Sebuah kunci agar kita tidak berdusta adalah jangan mengharap orang lain menilai diri kita lebih dari keadaan yang sebenarnya. Belajarlah selalu untuk realistis, menerima kenyataan hidup apa adanya. Syukuri setiap kebaikan yang ada, dan ikhlas mendengar penilaian negatif orang lain. Dan jangan coba-coba berdusta agar tidak kecanduan!

Istri Yang Tidak Berterima Kasih Kepada Suaminya Berarti Tak Bersyukur Kepada Allah


Rasul Saw. bersabda:
"Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah melihat kepada wanita (istri) yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia menggantungkan hidupnya kepada sang suami." (HR. al-Hakim)

Karenanya, seorang istri yang bebal dan pikir, tidak mau berterima kasih atau menghargai jerih payah suaminya, sejatinya adalah istri yang tidak mensyukuri karunia Allah atas dirinya. Bukankah ketidaksyukuran bersanding lurus dengan kesombongan dan keangkuhan? Kesombongan hanya melahirkan siksa dunia. dan sejatinya siksa dunia ialah terputusnya rahmat Allah dari diri seseorang.

Wahai Wanita Muslimah ...

Suamimu bekerja keras, membanting tulang, memeras otak dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengkais rezki demi menghidupimu dirimu. Suamimu bekerja siang malam untuk mendapatkan uang, guna mencukupi kebutuhan hidupmu.

Suamimu selalu masyghul memikirkan usaha untuk membahagiakan dirimu. Akankah semua kerja keras suamimu kau sisa-siakan? Tidakkah terbesit di hati nuranimu, sekedar mengucapkan terima kasih atau menghargai jerih payah suamimu? Sungguh naif, jika niatan mulia suamimu menghidupi dan mencukupi kebutuhanmu, kau pandang sebelah mata.

Ungkapkan rasa terima kasihmu kepada suamimu dengan menjaga perasaannya, menghargai usahanya, memahami keadaannya, meringankan jerih payahnya, menyejukkan hatinya, menerima pemberiannya dengan hati tulus - berapa pun nominal yang ia kasihkan kepadamu - , menyiapkan pakaiannya sehari-hari, menghidangkan menu makanannya saban hari, mengelola uang pemberiannya dengan sebaik mungkin. Mengucapkan terima kasih atas semua pemberiannya, tidak menuntutnya lebih dari kemampuannya. Dengan mewujudkan rasa terima kasih seperti itu, sejatinya kau telah mewujudkan rasa syukurmu kepada Allah.

Ungkapkan rasa terima kasihmu kepada suamimu dengan tidak melukai hatinya atas kerja kerasnya untuk membahagiakan dirimu, jangan menista suamimu hanya karena belum mampu memenuhi keinginanmu, jangan mengina suamimu karena penghasilannya yang rendah. Ungkapkan rasa terima kasihmu kepada suamimu dengan merasa cukup atas semua pemberian suamimu, tunjukkan kepadanya bahwa dirimu ridha dengan apa yang ada, serta merasa bahagia hidup bersamanya. Ungkapkan rasa terima kasihmu kepada suamimu dengan tidak membuka aib suamimu, mengudar keterbatasannya, terlebih membuat untuk menyudutkan suamimu.



dikutip dari buku "26 Kiat merebut hati pria", karya Adil fathi.
Semoga bermanfaat ^^

Wednesday, August 4, 2010

Memburu Untung, Menghindari Buntung


Man jadda wa jada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya

MENJADI orang yang beruntung adalah cita-cita semua orang. Sebab tak satupun manusia, memimpikan diri menjadi orang yang merugi. Dalam berniaga, misalnya, sudah pasti si penjual mengharapkan keuntungan dari peniagaannya. Seorang pengusaha, dengan sekuat tenaga mengerahkan kemampuan, supaya usahanya senantiasa memiliki omzet yang setiap bulan atau tahun selalu mengalami peningkatan.

Seorang politikus yang mengikuti ‘kontes’ pemilihan wakil rakyat, akan berjuang mati-matian untuk menggapai kursi DPR RI/DPRD, sekalipun harus mengeluarkan kocek pribadi yang tidak sedikit. Pada intinya, dalam segala aspek kehidupan, manusia menginginkan keberuntungan.

Memiliki ambisi untuk selalu meraih keuntungan adalah suatu yang lumrah, bahkan, Allah dan Rosul-Nya senantiasa memacu manusia (mukmin) untuk senantiasa berusaha, tidak putus asa dari rahmat-Nya, tidak lain, agar mereka survive dalam kehidupan, terutama kehidupan akhirat.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS: 94: 7).

Dalam ayat ini, tersirat perintah Allah supaya kita senantiasa berusaha untuk menggapai keuntungan/kesuksesan. Jangan pernah merasa puas dengan satu prestasi yang telah kita raih. Tapi, burulah prestasi-prestasi yang lain, rengguh sebanyak-banyaknya.

Al-Imam Abdurrahman bin Nashir Assyaa’di, dalam tafsirnya,”Taisiiru Al-Karim Al-Rahman Fii Tafsiiri Kalaami Al-Manaan”, menjelaskan kandungan dari surat ini, bahwa termasuk mereka yang merugilah orang-orang yang menggunakan waktu luangnya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, bukan untuk berdzikir, beribadah, ataupun bekerja.

Dan yang perlu dijadikan titik tekan dalam hal ini, bahwa dalam meraih keuntungan, itu dibutuhkan kesabaran, karena dalam menggapainya, harus melalui proses yang panjang dan –terkadang-- penuh ujian.

Sama halnya, ketika kita hendak mengambil manfaat dari hasil cocok tanam yang kita lakukan. Butuh proses. Dimulai dari penyemaiannya, penanaman, perawatan, hingga akhirnya menghasilkan buah. Itupun tidak langsung bisa kita nikmati. Kalau kita pingin menikmatinya, maka terlebih dahulu kita harus memetiknya. Ketika kita hendak menjadikannya pemasukkan (uang) kitapun kudu memasarkannya, menjajakannya kepada pembeli.

Sayangnya, dalam realitas di lapangan, tidak sedikit orang, justru gagal pada tahap ini. Mereka tidak tahan melewati ‘duri-duri ’ kecil yang ‘menggoda’ ketangguhan mereka. Padahal, sudah jelas bahwa “Sesungguhnya setelah kesusahan itu ada kemudahan” demikianlah penegasan Allah dalam salah satu firman-Nya.

Namun, karena sebagian mereka hanya menghendaki kemudahan, banyak dari mereka yang melakukan keculasan, dengan menempuh cara-cara yang sangat tidak profesional, bahkan, irasional. Mereka menipu, mendatangi dukun-dukun, tempat-tempat keramat, memasang jimat-jimat, dan lain sebagainya, dengan harapan, agar semua usaha, profesi, jabatan yang dia kejar/pegang, berjalan dengan normal, dan menghasilkan keuntungan yang melimpah.

Trik macam ini tentu saja tidak dibenarkan, dan yang pastinya telah menyalahi sunnatullah, terkait dengan terjadinya segala sesuatu. Bukankah penciptaan langit dan manusia, itu melalui proses dan tahapan-tahapan? Ini membuktikan bahwa dalam menggapai segala hal yang kita kejar, semua membutuhkan proses.

Keuntungan Semu

Hakekat dari meraih keuntungan adalah agar tercapainya kebahagiaan hidup. Sedangkan kebahagiaan hidup, itu bersumber dari kebahagiaan hati. adapun hati, akan mengecap kebahagian manakala ia berjalan di atas rel-rel ketetapan Allah. Harta yang melimpah, tidak menjamin mendatangkan kebahagiaan. Betapa banyak bukti nyata yang menunjukkan kebenaran hal tersebut. Banyak orang kaya yang meninggal dengan cara bunuh diri, lantaran hatinya kering, tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.

Tidak sedikit orang kaya lari ke narkoba, diskotik, wanita-wanita penghibur, hanya untuk menghilangkan kegundahan hatinya, barang sekejap, setelah itu, kembali dia merana.

Tentu saja, kita, sebagai muslim berlindung kepada Allah dari hal ini. Kita tidak ingin menukar kebahagiaan akhirat yang abadi, dengan kebahagian di dunia yang sementara. Yang menjadi incaran kita (dan ini memang diperintahkan) ialah meraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Bermuamalah dengan curang, meminta bantuan jin, dukun, sejatinya hanyalah menghantarkan kita kepada kebahagiaan semu, yang hanya bersandarkan hawa nafsu. Bukalah kembali sejarah nenek moyang kita, Adam. Beliau dan istrinya, Hawa, termakan oleh bujuk rayu syetan yang menjanjikan keuntungan, kehidupan abadi. Namun yang terjadi, justru kesengsaraan huduplah yang mereka terima.

Kisah ini merupakan warning bagi kita, bahwa janji-janji syetan dan sekutu-sekutunya (para dukun dll) yang –mungkin- sangat menggiurkan itu, hanyalah tipu daya belaka. Sebab itu, jangan terkecoh. Jalanilah garis yang telah ditetapkan untuk meraih keuntungan.

Allah berfirman, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Kiat –Kiat Al-Quran

Al-Quran adalah dustur kaum muslimin, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk tentang tuntunan bermuamalah agar memperoleh keuntungan, yang tidak membuahkan ‘kebuntungan’ di dunia, lebih-lebih di akhirat. Berikut adalah diantara kiat-kiat tersebut, yang telah terjamin akan kebenarannya:

1. Fokus

Dalam mengerjakan sesuatu, hendaklah kita mengfokuskan diri dalam menyelesaikannya. Fokus bisa diartikan dengan bekerja sungguh-sungguh. Insya Allah, dengan cara demikian, lambat-laun apa yang impian kita akan menjadi kenyataan. “Man jadda wa jada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya).

2. Tidak Membuang-Buang Waktu

Dalam pribahasa Arab dikatakan, “Lan tarji’a ayyaamu al-latii madhat” (Tidak akan pernah kembali hari-hari yang telah berlalu). Sebab itu, dalam rangka mengejar kesuksesan, kita harus memanfaatkan waktu dan peluang sebaik-baiknya. Kalau tidak, maka waktu akan membinasakan kita. Ingat, waktu bagaikan pedang, kalau kita tidak handal menggunakannya, bisa-bisa kita yang akan dilukainya, “Al-Waktu kaa shoifi in lam taqtho’hu qatha’aka.”

3. Menunaikan Zakat

Sesungguhnya dalam harta-harta yang kita miliki, itu terdapat hak-hak orang miskin. Sebab itu, kita harus menunaikan zakat, demi kesucian harta yang kita miliki. Jangan sampai, kasus Qorun yang ingkar akan nikmat Allah, setelah dia dianugerahi kenikmatan harta, menimpa diri kita. Selain itu, dengan jalur zakat, secara secara sosiologis, sebenarnya dalam rangka membangun relasi yang baik dengan pihak luar, sehingga mereka tertarik untuk menjalin hubungan dengan kita.

4. Memelihara hawa nafsu sahwat

Tidak usah jauh-jauh untuk menggambarkan betapa persoalan seks yang diumbar di sana-sini, telah menyebabkan kehancuran orang-orang tersohor. Para politikus, selebritis, pengusaha, dll, banyak ‘berguguran’ karirnya, lantaran perilaku seks yang mereka lakukan di sembarang ‘tempat’. Sebab itu, akan lebih baik bagi kita menikah sebagai jalur yang suci dalam melampiaskan nafsu shwat, apabila ia tidak tertahankan lagi. Dan cara ini, justru akan menghantarkan kita kepada kehormatan dan kemulyaan hidup.

5. Amanah

Amanah merupakan sifat yang sangat penting dalam meraih keuntungan. Dengannya akan terbangun kepercayaan orang lain terhadap kita. Sebaliknya, ketika kita berbuat curang, sekalipun hanya sekali dan orang lain merasakan efeknya, berarti kita telah membangun stigma/citra buruk diri kita sendiri, yang kemudian membuat orang enggan untuk menjalin hubungan dengan kita.

6. Menjaga Sholat

Sebagaiman yang telah dituturkan di atas, bahwa perburuan keuntungan/kebahagiaan seorang muslim, skupnya tidak hanya dunia semata, tetapi jauh ke depan, yaitu akhirat. Sebab itu, apapun profesi kita, jangan lupa untuk senantiasa melaksanakan sholat, sehingga kebahagiaan kedua-duanya bisa kita raih.

Demikianlah di antara kiat-kiat yang dusugukan Al-Quran untuk kita, agar mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Keseluruhan kiat-kiat ini, merupakan kandungan ayat-ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat Al-Mukminun, ayat 1-11. Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin, amin yaa rabbal ‘aalamin. Wallahu ‘alam bis-showab.

Liga Muslim Dunia Mengajak Umat Islam Lindungi Al-Aqsa




Konferensi juga menyesalkan usaha-usaha organisasi ekstrim di Eropa yang mentarget wanita-wanita Muslim dan cadar mereka

Hidayatullah.com--Konferensi Persatuan Muslim Dunia di Makkah, "Persatuan Muslim Dunia - Realitas dan Masa Depan" berakhir pada Senin dengan sejumlah hasil yang meminta dialog konstrukstif dan keadilan untuk muslim.

Peserta konferensi meminta PBB, UNESCO dan organisasi-organisasi lain untuk mencegah Israel menjalankan rencananya untuk menghancurkan Mesjid Al-Aqsa dan mengambil alihnya sehingga mereka bisa membangun kuil di atas reruntuhannya.

Mereka juga mencela peraturan pendudukan Israel, yang mentarget keberadaan penduduk Palestina dengan mengambil alih rumah-rumah dan tanah mereka dan mengeluarkan mereka dari negaranya.

Pada akhir konferensi, mereka menekankan pentingnya pembelajaran Islam di universitas-universitas yang berada di Negara-negara dimana Islam menjadi minoritas, untuk menyuarakan prinsip-prinsip Islam yang murni, yang mencakup toleransi, dan moderat.

Para partisipan mengekspresikan penghargaan mereka terhadap usaha-usaha yang dilakukan Raja Abdullah, Penjaga dua mesjid suci, dalam mensupport organisasi, menseponsori aktifitas mereka dan layanan kepada Islam, Muslim dan kemanusiaan.

Mereka mengatakan bahwa usaha-usaha Raja Abdullah dalam hal ini adalah untuk mencapai kestabilan dan kedamaian diantara manusia, lepas dari budaya dan agama mereka.

Konferensi juga memuji keterbukaan Persatuan Muslim Dunia, dimana hal ini didukung oleh Raja dan petunjuk-petunjuknya untuk mewujudkan inisiatifnya terhadap dialog antar agama, hal ini membantu orang-orang di seluruh dunia untuk belajar Islam secara lebih jauh.

Konferensi juga menyesalkan usaha-usaha beberapa pihak dan organisasi ekstrim di Eropa yang mentarget wanita-wanita Muslim dan cadar mereka. Mereka juga meminta Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk melakukan pendekatan pada pemerintah-pemerintah Eropa dan meminta mereka untuk tidak menekan wanita-wanita Muslim untuk membuka cadarnya dimana hal ini telah diperintahkan Allah. [meo/ar/hidayatullah.com]

Tuesday, August 3, 2010

Dapat Kucuran Nikmat Berkat Amal Saleh


Saya pun sadar. Tidak semua bisa dirasionalkan. Ada hitungan Allah SWT yang tak bisa dinalar logika

KESULITAN finansial adalah masalah klasik yang hampir pernah dialami setiap orang. Dalam kondisi ini, tidak sedikit orang yang bingung, bahkan stres. Betapa tidak, hajat hidup tinggi tapi pemasukan rendah. Bahkan seringkali minus. Siapapun pasti masygul menghadapi situasi ini. Kondisi ini juga pernah saya alami.

Sebagai guru honor di sekolah swasta di kota Depok, Jabar, gaji saya hanya Rp. 250 ribu perbulan. Uang sebesar itu otomatis bakal terkulai lemas oleh kerasnya cekikan harga barang yang melambung tinggi.

Tahu sendirilah, bagaimana kejamnya kota Depok, yang tak jauh beda dengan kota tetangganya, Jakarta.

Kendati begitu, saya tidak mau pusing, apalagi berputus asa. Meski pendapatan kecil, tapi saya yakin, Allah SWT maha kaya dan pemberi rezeki. Rezeki-Nya tidak akan pernah habis meski tiap detik dikeruk oleh milyaran manusia. Dan terpenting, rezekiku, meski banyak orang di dunia, tak akan ada yang mengambilnya. Saya yakin itu.

Karena itu, saya berniat melanjutkan kuliah S2 meski biaya belum ada. Tapi, dengan kondisi keuangan tipis, saya jadi pesimis.

“Apa bisa gaji Rp. 250 buat biaya kuliah, sedang kebutuhan yang lain numpuk?” batinku.

Rasioku belum bisa menerima. Hitungan matematis masih dominan ketimbang hitungan iman. Jujur saja, hal itu membuatku berfikir keras sekitar sebulan lamanya. Tidur pun jadi tak nyenyak. Gundah gaulana. Yang ada di pikiran hanya satu; kuliah, kuliah, dan kuliah.

Saya pun sadar. Tidak semua bisa dirasionalkan. Ada hitungan Allah SWT yang tak bisa dinalar logika. Sebab, pertolongan-Nya jarang bisa diprediksi oleh logika. Entah besok, bulan depan atau jam ini juga. Wallahu’alam. Untuk mematangkan niatku, saya pun shalat tahajud.

Sekitar sebulan lamanya, setiap di sepertiga malam, saya selalu berdoa kepada Allah sang pengijabah doa.

“Ya Allah, jika niat saya ini baik dan bisa membantu agama-Mu, maka mudahkanlah. Sebaliknya, jika tidak, maka jauhkanlah.”

Itulah doa yang saya panjatkan. Pendek, tapi dalam. Sebuah permintaan sekaligus pilihan; ya atau tidak. Doa itupun saya ulang-ulang. Tak jarang diselingi dengan deraian air mata. Meminta kepada yang Maha Menguasai Kehidupan, memang harus begini. Mengiba. Laksana pengemis kepada majikannya.

Hatiku pun mulai tenang. Putusan untuk lanjut kuliah telah bulat. Tiba-tiba, ada seorang teman yang mengajak silaturahim ke salah satu ustadz. Saya pun ikut. Kebetulan, saya mengenal ustadz yang juga pernah menjabat sebagai anggota DPD sebuah provinsi di Indonesia bagian Timur. Tak disangka, sang ustadz ternyata menyuruhku kuliah lagi. Tak hanya itu, ustadz itu juga memberiku uang Rp. 300 ribu.

“Secepat mungkin, kalau bisa langsung daftar. Jangan ditunda lagi,” ujarnya mantap.

Hatiku pun bergemuruh. Laksana deburan ombak. Bunyinya sahut menyahut dan berakhir di batu karang. Begitu juga hatiku. Kini, ucapan tahmid dan tasbih mengisi penuh relung hatiku.

Ya, Allah inikah tanda doaku Engkau kabulkan? Saya pun langsung mendaftarkan diri. Ketika itu, saya langsung mendaftar magister manajemen pendidikan Islam di sebuah universitas Islam. Jurusan itu saya impikan sejak lama.

Saya ingin jadi “ideolog” dalam bidang pendidikan. Miris rasanya lihat output pendidikan sekarang yang kering spiritual. Hanya kognitif saja yang dijejali. Dengan harapan, saya bisa lahirkan generasi Islam handal. Setidaknya mengikuti jejak Imam Al-Gahzali yang melahirkan generasi Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima besar pembebas negeri Palestina. Ya, itulah cita-citaku. Normatif memang!

Kendati sudah registrasi, bukan berarti masalah selesai. Saya harus membayar uang gedung sebesar Rp. 5 juta rupiah. Tapi, lagi-lagi saya yakin Allah SWT akan mempermudah langkah hamba-Nya yang menuntut ilmu. Saya pun tetap optimis melangkah dengan mencari beasiswa kesana-kemari.

Alhamdulillah, akhirnya dapat beasiswa dari sebuah lembaga amil zakat sebesar Rp. 3 juta rupiah. Uang itu sangat membantu kekurangan pembayaran.

Kuliah pun berjalan lancar. Depok-Bogor cukup jauh. Karena tidak punya kendaraan, saya selalu nunut teman satu kuliah dan kebetulan punya motor. Atau, jika tidak, saya naik angkot.

Tak terasa, tiga bulan sudah saya jalani kuliah. Tak ada masalah. Paling keuangan dan itu bisa saya atasi. Namun, yang membuat tiba-tiba menjadi bingung, ada seorang bapak menawarkan putrinya. Masa ada yang mau dengan saya; anak perantauan dan tidak punya uang. Tampang juga pas-pasan. Saya kira, tawaran itu hanya canda. Ternyata tidak. Bapak yang tinggal di Sukabumi, Jabar itu terlihat sangat serius.

Dia menawarkan anaknya yang sedang kuliah di sebuah universitas di Bandung.

“Saya percaya sama adik. Karena itu, saya ingin jodohkan anak saya,” ujarnya serius.

Saya pun langsung mengiyakan meski belum melihat siapa calon istri saya. Ternyata, saya kaget bukan kepalang. Calon istri saya tidak hanya sangat cantik, tapi juga berjilbab. Sosok muslimah yang luar biasa, menurutku.

Karena tahu kondisi saya, seluruh biaya pernikahan diurus mertua. Saya hanya ikut nyumbang Rp. 1 juta rupiah. Awalnya saya memang belum sepenuhnya berani untuk menikah. Apalagi kalau bukan alasan ma’isyah. Kuliah aja belum kelar, apalagi harus membiayai keluarga. Untung saja, pihak mertua selalu men-support saya agar selalu yakin.

Menikahlah, maka engkau akan kaya, begitu dalil yang pernah saya baca. Dan ternyata benar. Dengan pernikahanku, rezeki seolah tak pernah putus. Baru beberapa bulan menikah, saya dapat beasiswa dari provinsi tempat asalku sebesar Rp. 12 juta rupiah. Tak hanya itu, istriku sangat pengertian. Dia tidak pernah meminta sesuatu aneh-aneh, hatta, sehelai kain pun. Subhanallah!

Jadi, sejak menikah hingga sekarang, saya belum pernah membelikan pakaian satu stelpun. Jika ada rezeki, dan hendak saya belikan, dia selalu menolak.

“Jangan mas, pake aja buat biaya kuliah atau membeli buku,” ujar istriku. Saya pun bahagia dibuatnya. Anugerah paling indah dalam hidupku. Betul, istriku adalah perhiasan terindah. Ya, istri yang shalehah.

Kini, dari pernikahanku telah dikaruniai putri yang cantik dan imut. Saya harap, kelak, dia jadi mujahidah shalihah dan pinter seperti Aisyah, putri Nabi.

Tak hanya itu, kuliah S2-ku tinggal menyelesaikan tesis. Jika tidak ada aral melintang, insya Allah, tahun depan sudah diwisuda. Dan, jika diizinkan Allah, saya akan langsung lanjutkan ke jenjang S3. Lengkap sudah nikmat dari Allah SWT yang diberikan kepadaku.

Bagiku, kemudahan dan nikmat Allah SWT tidak gratis diberikan. Setidaknya, ada sebab-musababnya. Saya jadi ingat ketika mendiang ibuku beberapa waktu hendak menghembuskan nafas terkhir berpesan kepadaku.

“Nak, jangan sedih. Jika kita tak lagi hidup bersama di dunia ini, insya Allah kita akan sama-sama di Surga. Jadilah anak yang shalih, jalin silaturahim, dan rajin belajar. Tahu Imam Nawawi? Jadilah seperti dia, ulama besar yang punya karya fenomenal.”

Petuah almarhum ibu-lah yang jadi motivasi hidupku. Petuah itu yang menyemangatiku ketika lemah. Petuah itulah yang membuka cakrawala hidupku. Dan petuah itulah yang membuatku bercita-cita untuk belajar dan kuliah hingga sekarang.

Meski saya tahu, ibu tidak meninggalkan kepingan rupiah, tapi dengan petuah itu, melebih dari rupiah.

Karena petuah itulah, saya berusaha menjadi orang baik. Rajin ibadah, jaga silaturahim, dan suka berbagi pada sesama. Dalam berbagi, misalnya, saya selalu usahakan meski dalam segala keadaan; sempit dan lapang. Termasuk ketika saya dapat beasiswa Rp 12 juta.

Tiba-tiba dua orang teman saya meminjam uang. Tak tanggung-tanggung, masing-masing Rp 3 juta. Karena butuh, tanpa merasa berat, saya pinjamkan uang tersebut.

Saya yakin, dengan itu, Allah SWT akan mengganti rezeki jauh lebih banyak dari itu. Dari apa yang telah saya lakukan, bisa jadi, pertolongan Allah SWT tak pernah terputus. Saya pun selalu beramal saleh, jika ingin pertolongan Allah terus mengucur.

sumber di ambil dari cerita seorang ikhwan di Hidayatullah.com