Monday, September 22, 2008

MEMBENCI SIKAP LALAI

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dari shalatnya”. Q.S. al-Ma’un/107: 4-5.

Salah satu penyebab kecelakaan kita, sebagaimana disinyalir oleh ayat di atas adalah karena kita lalai dalam melaksanakan shalat. Kita lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat pemenuhan materi dan cenderung untuk memuaskan nafsu sesaat. Kita lebih cenderung mengejar kesenangan duniawi. Namun kita lalai akan kewajiban kita kepada Tuhan, lalai mengerjakan shalat, dan lalai kepada Tuhan.

Dalam ayat tersebut Allah menggunakan istilah “Sâhûn” (orang-orang yang lalai) dan bukan “Nâsûn” (orang-orang yang lupa). Hal itu tentu karena lalai (sahwân) mempunyai makna yang berbeda dengan lupa (nisyân). Lalai (sahwân) mengandung unsur kesengajaan dan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa memang perbuatan itu sengaja disia-siakan, tidak dihiraukan, dan sengaja diabaikan. Sedangkan lupa (nisyân) mengandung unsur ketidaksengajaan dan bukan karena suatu kesadaran untuk melaksanakannya. Itulah maka, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa qalam (pena) Allah diangkat (tidak dipergunakan untuk mencatat) amalan seseorang ketika berada dalam tiga kondisi; salah satunya adalah seorang yang lupa hingga ingat kembali. Seorang yang lupa, dia akan bebas dari risiko perbuatannya karena di luar kesadaran dirinya. Hal itu berbeda dengan seorang yang lalai, dia akan diberi sanksi atas keteledorannya itu.

Inti dari teguran Allah terhadap orang yang lalai shalat, sebagaimana yang tersebut dalam ayat di atas, adalah berkenaan dengan tidak ada kesungguhan dalam berbuat. Karena shalat tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sungguh-sungguh penting, maka ia mudah dilalaikan, lantas mendahulukan perbuatan yang lain. Bila terdapat perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap pekerjaan, maka pekerjaan itu tidak akan terabaikan.

Allah tidak menghendaki kita untuk melakukan suatu pekerjaan dengan asal jadi, tanpa kesungguhan dan ketelitian, yang mengakibatkan kita menjadi lalai. Setiap perbuatan harus didasari niat yang kuat, mempunyai tujuan yang jelas, dan mempunyai pengaruh yang pasti. Sebagaimana kita baca dalam pembukaan shalat: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah”. Tujuan utama dari setiap perbuatan adalah mendapatkan ridha dari Allah dan kemudian perbuatan itu membuahkan natîjah, hasil (pengaruh) berupa kebaikan untuk pribadi dan masyarakat sekitar, atau mengambil dari contoh pengaruh shalat, dapat mencegah dari keji dan mungkar (tanhâ ‘an al-fakhsyâ’ wa al-munkar).

Itulah gambaran sebuah kalimah thayyibah (kalimat yang baik, yang mencakup di dalamnya ucapan dan berbuatan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, serta semua perbuatan baik) yang dilukiskan oleh Allah sebagai sebuah pohon rindang, akarnya kokoh menghunjam jauh ke dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke angkasa. Pohon itu menghasilkan buah yang baik setiap waktu. Hal itu berbeda dengan gambaran kalimah khabîtsah (kalimat yang jelek, yang mencakup ucapan, tindakan dan semua perbuatan yang tidak baik) yang diibaratkan sebagai pohon buruk yang telah tercerabut beserta akar-akarnya dari permukaan bumi, sehingga ia tidak dapat tegak berdiri.

Terjadinya berbagai kekacauan, pertikaian antar keluarga, masyarakat, sampai para elit penguasa, tidak lain adalah merupakan buah (natîjah) dari tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori kalimah khabîtsah di atas. Kita sering lalai pada pekerjaan kita. Kurang memahami mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita telah terjebak dalam kesulitan memilih mana prioritas dan mana yang tidak.

Yang prioritas dilalaikan begitu saja demi mengejar sesuatu yang tidak jelas. Hanya dengan kesungguhan dan perhatian penuh pada setiap perbuatan, kesuksesan itu dapat diraih, baik kesuksesan duniawi maupun kesuksesan ukhrawi. Semoga dengan kesungguhan itu kita dapat terhindar dari kelalaian, mampu memilah antara kebaikan dan kejahatan, dan akhirnya meraih kesuksesan dunia akhirat. Allah berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. Fushshilat/41: 34).


*) Ditulis oleh Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

No comments: