Friday, September 26, 2008

JALUR-JALUR INFAQ

Terdorong rasa ingin memberi dan berbagi kepada sesama, seorang sahabat Rasul Saw bernama Amr bin Al Jamuh yang berumur cukup tua bertanya, “Wahai Rasul, aku punya sejumlah harta, bagaimana cara aku mensedekahkannya dan kepada siapa aku infakkan?”
Sejurus Rasulullah Saw berpikir. Beliau belum dapat ide demi menjawab pertanyaan ini.

Sesaat kemudian datanglah firman Allah Swt yang mengabarkan tentang jalur-jalur infak sunnah dalam ayat berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. 2:215)

Itulah sekelumit asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat di atas yang dinukil dari Tafsir Al Qurthubi. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa jalur infak sunnah yang utama adalah sebagaima tertera dalam ayat itu; yaitu orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Kelima golongan ini mendapat skala prioritas untuk diberi infak sunnah.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, datanglah seorang pemuda yang mengadu kepada beliau tentang ayahnya yang suka mencuri harta milik sang anak.Rasul Saw berujar, “Panggillah ayahmu untuk menghadapku!” Sang pemuda menuruti perintah Rasul Saw. Ia pergi ke rumah meninggalkan beliau demi memanggil sang ayah untuk datang menghadap Rasul.

Saat pemuda pergi untuk memanggil ayahnya, maka datanglah Jibril As menghampiri Rasulullah Saw. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, bila ayah pemuda itu datang maka tanyakanlah padanya apa yang telah ia ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telinganya!”

Beberapa saat kemudian, sang pemuda sungguh datang menghadap Rasulullah sambil membawa ayahnya. Sesampainya dihadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada ayah pemuda tadi, “Wahai bapak, anakmu mengadu bahwa engkau telah mencuri hartanya, apakah ini benar?” Maka sang ayah menjawab, “Ya Rasul, silakan tanya kepadanya telah aku apakan uangnya, apakah aku berikan kepada bibinya atau aku makan sendiri?”

Rasulullah Saw lalu menukas, “Izinkan aku untuk tidak membahas hal ini. Namun bolehkah aku tahu apa yang telah kau ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telingamu?” Itulah pertanyaan yang disampaikan Jibril As kepada Rasulullah Saw untuk ditanyakan kepada ayah dari pemuda tadi.

“Demi Allah, aku semakin percaya bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hati yang tiada terdengar oleh kedua telinga ini.” Lanjut sang ayah.“Sampaikanlah ucapanmu itu!” Rasulullah Saw mempersilakan.

Tidak dinyana, ayah pemuda tadi lalu membaca sebuah syair yang ia gubah untuk si pemuda; buah hati dan belahan jiwa ayahnya.

Saat engkau lahir, aku memberimu makanan
saat kau beranjak besar, aku selalu setia menjagamu
Engkau diberi minum atas jerih payahku
Jika kau sakit di malam hari, selama itu mataku tak terpejam
Tak bisa ku tidur karena memikirkan sakitmu
Hingga tubuhku limbung sebab kantuk yang menyerang
Seolah akulah yang sakit, bukan engkau wahai anakku
Aku meneteskan air mata sebab khawatir engkau akan mati
Padahal aku tahu bahwa ajal manusia telah digariskan
Saat engkau beranjak dewasa
Saat dimana telah pantas aku menggantungkan diri padamu
Kau balas diriku dengan kekerasan dan kekasaran
Seakan engkau adalah satu-satunya pemberi kebaikan padaku
Andai saja ketika tak dapat kau penuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku tak ubahnya seperti seorang jiran yang hidup bertetangga

Usai mendengarkan syair tersebut, Rasulullah Saw meneteskan air mata lalu menghardik sang anak dengan sabdanya, “Anta wa maaluka li abiika. Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)

Pemuda itu tertunduk lesu. Ia merasa malu. Tak sadar akan kealpaan diri selama ini. Ia telah menyia-nyiakan ayahnya yang begitu mencintai dirinya. Ia pun mengikhlaskan harta yang telah diambil ayahnya. Keduanya lalu berpelukan. Saling memaafkan. Kemudian pergi meninggalkan Rasulullah Saw.

Itulah sifat manusia. Suka lupa terhadap jasa orang lain, bahkan kepada orang tua sendiri. Demikian sebabnya, saat ditanya tentang kemana harta diinfakkan, maka Allah Swt menurunkan ayat 215 dari surat Al Baqarah di atas.

Ayat senada juga Allah firmankan,

“Maka berikanlah pada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) pada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 30:38)

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.” (QS. 2:177).

Ada sebuah kisah dari negeri seberang. Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karir dan dikarunia seorang anak yang pintar.

Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa kesepian.

Saat menerima surat dari ibunya, sang anak berurun-rembug dengan istrinya tentang bagaimana menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri menukas, “Mas, engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku. Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai mengurus anak sendiri.”

Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh beliau di panti jompo. Nah..., bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah saung dari bambu di halaman belakang rumah. Lalu kita tempatkan ibumu di sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”

Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan, namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman belakang rumah.
Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.

“Ma..., jangan lupa untuk mengirimkan makan 3 kali sehari untuk ibuku ya!” itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka, 3 kali sehari makanan diantar oleh pembantu kepada nenek yang berada di dalam saung.

Namun karena kesibukan mereka berdua, rupanya keduanya kerap alpa untuk mengingatkan pembantu demi mengantarkan makanan kepada nenek.
Tadinya 3 kali sehari, terkadang hanya 2 kali atau 1 kali. Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, maka pesan untuk mengirimkan makanan sudah tidak mereka ingat lagi. Maka pembantu pun sungguh lalai untuk mengirimkan makanan.

Allah Swt sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orang tuanya!
Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup didalam saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya pecah.
Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu lapar. Hingga membuatnya harus pergi ke warung untuk beli makanan demi sekedar pengganjal lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus meletakkan, sebab tiada lagi alas.

Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai dibersihkan, maka batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan. Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek. Hingga suatu hari Allah berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!
Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby-sitter, seorang bocah lelaki berusia sekitar 5 tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama rupanya ia tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah... saat ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri. Ia dorong pintunya hingga terbukalah. Anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya....

“Eh.... ada pangeran kecil rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir. “Nenek ini siapa?” tanya sang bocah polos. “Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” nenek itu mencoba menjelaskan. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak dipisahkan oleh jarak apapun. Keduanya membaur tak ubahnya darah & daging.

Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua orang tuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Hingga terbitlah sebuah pertanyaan kecil dari mulut si bocah saat ia melihat sebuah benda aneh di pojok saung.

“Itu benda apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu. Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Sejurus ia tahu bahwa yang dimaksud cucunya adalah sebuah batok kelapa. “Oh... itu adalah piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya...?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum. “Iya, nek. Ini bagus sekali” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.

Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota oleh papa dan mama. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata. Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran, berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.

“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo nak... lompati selokan itu. Kamu pasti bisa!” teriak keduanya berseru kepada anak mereka.

Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa... Ma..., tolong ambilkan benda itu dong!” Papa melihat ke arah benda yang ditunjuk anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam selokan. “Apa sih, nak? Nggak usah diambil... Itu kotor!” kata si papa. Sang mama menimpali dengan kalimat serupa.

Namun si anak tetap berkeras, merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.
Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah membau dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu... sebenarnya untuk apa sih batok kelapa itu, nak...?!” si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku mau kasih kejutan ke mama!”

Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapih, aku akan berikan ini untuk mama sebagai alas untuk makan.”

“Untuk makan...?!” mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya..., untuk makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah makan dengan ini. Papa dan mama yang berikan itu untuk nenek kan?” tanyanya polos.

Keduanya bergidik. Allah Swt sungguh telah menegur mereka berdua lewat lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah menyia-nyiakan orang tua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari sesuatu yang menjijikan bagi mereka, yaitu batok kelapa.

Apakah anda masih menyia-nyiakan hidup orang tua?!

No comments: