Saturday, November 27, 2010

Muslimah Penentu Kemenangan Ummat

BUKANLAH suatu kebetulan bahwa Al-Qur’an menginformasikan kita di dalam surat Al-Qashash mengenai konflik antara Nabi Musa dan Firaun, lalu menjadikan wanita sebagai fokus titik tolak kebangkitan. Allah menyatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (Al-Qashash 5).

Maka, proses menjadikan orang-orang tertindas itu sebagai pemimpin merupakan inisiasi kebangkitan, yang dimulai dengan seorang wanita. Allah berfirman, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men jadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash 7).

Dengan demikian, wanita menjadi titik fokus dari konflik kita dengan lawan-lawan kita. Potensi kemenangan dan kekalahan umat Islam sangat bergantung erat kepada wanita. Ini bukan kata-kata untuk ceramah ataupun puisi. Ini merupakan preposisi aksiomatik yang menjadi realita, dan harus mendapatkan perhatian lebih.

Tidak percaya? Kita bisa melihat bahwa sosok-sosok terbaik aset umat ini yang kebanyakan para laki-laki, mereka berada di penjara, diasingkan dari negeri mereka, atau berjuang habis-habisan dalam perjuangan mereka. Lantas, siapa yang akan menjaga keluarga dan merawat anak-anak, serta menunaikan sejumlah tugas domestik? Maka, tiada lain, jawabannya adalah para wanita muslim. Dan bersyukur kepada Allah, bahwa dakwah Islam sanggup untuk memenangi ‘pertempuran’.

…Islam sangat menghormati wanita dan mengapresiasinya dengan memberi hak pendidikan, kepemilikan harta, dan waris yang selaras dengan petunjuk syariat…

Di saat para mujahid Islam diperangi, keberadaan mereka satu persatu dihabisi, maka dakwah juga harus dipikul para muslimah. Kendati mereka dihadapkan pada kekurangan-kekurangan mereka. Hal ini dipahami dengan baik oleh musuh-musuh Islam. Tidak puas hanya dengan memberangus sosok-sosok laki-laki terbaik umat, mereka juga berupaya melemahkan kaum wanitanya. Mereka sepertinya sadar bahwa wanita kekuatan second line umat. Sebagai istri, para muslimah menjadi batu loncatan para suami untuk bisa melompat lebih tinggi. Lalu sebagai ibu, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagai anak, mereka sanggup menggembleng adik-adik mereka, dan menyemangati kakak-kakak mereka.

Belum selesai terlibat dalam konflik kebenaran vis a vis kebatilan, para muslimah sudah harus dihadapkan pada konflik lainnya. Ya, para pendengki tak ingin wanita muslim menjelma menjadi kekuatan signifikan. Sehingga mereka merasa perlu untuk menghadapkan para muslimah dengan berbagai konflik. Konflik selanjutnya terjadi ketika situasi yang dijalani para muslimah umat sangat tidak Islami, semisal –pertama— banyaknya pembatasan dan –kedua— interaksi sosial yang bertentangan dengan syariah.

Sebagai contoh, adanya pembatasan yang menghalangi para muslimah untuk mendapatkan pendidikan, hak kepemilikan harta, dan lain sebagainya. Atau merebaknya interaksi sosial bernuansa jahiliyah. Yang terakhir ini sangat berbahaya, karena memberi kesempatan kepada kaum liberal modern untuk merangkul para perempuan muslim miskin dan juga tidak berpendidikan. Para liberalis itu menginginkan agar wanita menjadi tak ubahnya sebuah produk yang dipajang dan dipamerkan.

Karena hal-hal di atas, setiap individu muslim yang terlibat dalam dakwah harus membebaskan masyarakat muslim dari dua bentuk jahiliyah tersebut. Bentuk pertama, alih-alih ingin menjaga wanita dari dampak buruk pergaulan kekinian, justru sampai mengharamkan sama sekali hak mencari ilmu, kepemilikan harta, dan lainnya. Sementara bentuk kedua terlalu bebas, sampai-sampai tidak mengindahkan syariat.

Jalan terbaik adalah jalan Islam yang hanif. Islam sangat menghormati wanita dan mengapresiasinya dengan memberi hak pendidikan, kepemilikan harta, dan waris yang selaras dengan petunjuk syariat. Di antara hal-hal yang harus diperjuangkan dalam rangka menutup jalan setan untuk menyebarkan bujuk rayunya adalah tingginya mahar (mas kawin) dalam pernikahan.

…Muslimah merupakan intisari dan pokok umat. Segala sesuatu yang merefleksikan kekurangan dan kelemahan para muslimah berpotensi menciptakan kekalahan serta kemunduran…

Muslimah merupakan intisari dan pokok umat. Segala sesuatu yang merefleksikan kekurangan dan kelemahan para muslimah berpotensi menciptakan kekalahan serta kemunduran. Maka kita harus menjaga setiap aspek tersebut dan memberinya perhatian yang layak. Kita mungkin sering menyaksikan para ikhwan gagal dalam perjuangan mereka. meski demikian, kita jangan sampai melihat para wanita muslim gagal dalam perjuangan mereka mendidik generasi muslim tangguh atau gagal dalam menopang perjuangan kaum laki-laki. Para laki-laki itu boleh saja terbuang dan terbunuh, tapi ‘percetakan’ kader-kader mujahid tangguh itu jangan sampai terhenti. Kita harus senantiasa melihat kesabaran, ketetapan hati, tekad kuat, keimanan, dan determinasi tinggi para muslimah.

Saudari-saudari muslimah kita di Irak, Afghanistan, Palestina, Somalia, Mindanau, Thailand Selatan, dan lainnya merupakan keajaiban-keajaiban Allah dalam hal ini. Beberapa di antara mereka bahkan melebihi ratusan mujahid dalam hal perjuangan, kesabaran, dan ketetapan hati. Pun demikian, kita bisa melihat di negara-negara Arab, betapa kesadaran religius dan eskatologis para muslimah lebih kuat daripada para laki-laki. Keikhlasan mereka untuk menopang perjuangan penegakan syariat Islam lebih tinggi dari kaum Adam.

Alhamdulillah, Rabb semesta alam, di negara-negara Barat kita menyaksikan keislaman, keimanan, dan kesadaran para istri ikhwan non-Arab yang jauh lebih dahsyat dari kalangan laki-lakinya. Dan bahkan, para istri ikhwan-ikhwan imigran Arab, mereka secara umum lebih baik dan ikhlas daripada suami mereka. Penulis pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan keluhan-keluhan para wanita muslim mengenai kelesuan suami mereka dalam melakoni berbagai ibadah keagamaan. Jelas, keluhan-keluhan tersebut membuktikan betapa tinggi status saudari-saudari kita, dan membuktikan bahwa mereka bisa lebih baik dari para laki-laki, dengan bantuan Allah.

Tingginya perhatian setan, musuh-musuh Islam dan para pengikutnya terhadap hijab muslimah menunjukkan kepada kita pentingnya konflik ini. Oleh karena itu, tak heran jika Prancis –dengan segala permasalahannya— akan meluangkan perhatiannya untuk memerangi hijab, dan membuat undang-undang untuk mengharamkannya. Dan masih banyak lagi negara-negara Eropa yang mengikuti Prancis dengan segenap gerakan jahat mereka.

Demikian juga, tidak aneh jika kita mengikuti apa yang terjadi di banyak konferensi yang dilakukan musuh-musuh Islam, bahwa perhatian dan upaya akan dicurahkan untuk menghancurkan tatanan keluarga muslim, serta menjauhkan para muslimah dari identitas keislaman mereka.

Untuk menghancurkan Islam, mereka menghancurkan dahulu para wanita, para muslimah, para ‘tulang punggung’ umat. Maka kini terlihat kerusakan bukan saja pada kaum wanita, tetapi kerusakan moral umat pun telah terasa. Para musuh Islam membingkai usaha jahat mereka dengan kedok yang memesona dan bahasa-bahasa menyihir, semisal gerakan feminisme dan emansipasi wanita.

Para musuh Allah ini telah mengangkat isu-isu hak asasi, kebebasan, dan modernisasi untuk menghantam para muslimah. Padahal itu semua mereka lancarkan untuk kehancuran moralitas wanita secara umum dan muslimah secara khusus. Segala media dikerahkan, segala daya dicurahkan agar isu-isu ini termakan oleh para muslimah. Para muslimah dicekoki dengan ‘warna’ mereka. Para intelektual Barat dikerahkan untuk mengangkat isu-isu tersebut dengan menjelek-jelekkan dan menghujat Islam.

Para pendengki menyadari betapa muslimah merupakan salah satu benteng kuat yang signifikan dalam perjuangan Islam. Ya, mereka adalah benteng kokoh, jika dianalogikan dengan konstelasi pertempuran, sedangkan para laki-laki adalah prajurit yang secara langsung terjun di medan tempur. Jadi, peperangan ideologi ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Maka, setiap muslimah harus menyadari posisi mereka. ketahuilah bahwa kalian adalah intisari dan benteng umat. Para muslimah harus membekali diri dengan ilmu dan keimanan yang kokoh. Muslimah yang bodoh dan loyo adalah musuh untuk dirinya, suaminya, keluarganya, dan komunitasnya. Jangan terpedaya jebakan setan yang terejawantahkan dalam adat dan kebiasaan jahiliyah. Karena kebiasaan sosial jahiliyah yang rapuh adalah senjata para musuh Islam dan kaum liberal untuk ‘menjinakkan’ wanita muslim.

Wahai saudari-saudariku, jalanilah segenap wasilah kemenangan, dan bersabarlah. Jadilah seperti ibunda Nabi Musa dalam konteks pertikaiannya dengan Firaun. Dia harus bersusah payah dan mengorbankan putranya untuk dijatuhkan ke Sungai Nil, demi sebuah keyakinan bahwa Musa akan menjadi seorang rasul dan datang kembali memberangus kebatilan, serta mengibarkan bendera tauhid di bumi Mesir.

…Untuk menghancurkan Islam, mereka menghancurkan dahulu para muslimah. Para musuh Islam membingkai usaha jahat mereka dengan bahasa-bahasa menyihir, semisal gerakan feminisme dan emansipasi wanita…

Perteguhlah keislaman, dan bentengilah diri dari serangan yang dilancarkan musuh Allah lewat berbagai kedok dan tipu muslihatnya. Dalam kolomnya berjudul Golongan Perempuan Penghuni Surga, Saukya Singgih menyatakan, dengan keislaman yang teguh dan ketakwaan kepada Allah dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai profil muslimah sejati, maka akan dapat melihat jelas segala tipu daya mereka.

Sesungguhnya jalan kepada pembentukan pribadi muslimah sejati bukanlah jalan yang mulus dan indah. Tetapi jalan yang penuh pendakian dan rintangan, jalan yang penuh onak dan duri, jalan melawan arus globalisasi jahiliyah. Hendaknya kita pahami betul hal ini. Seorang muslimah yang baik adalah muslimah yang menjadikan muslimah di zaman Rasulullah SAW sebagai cermin dan teladan kita.

Yakinlah bahwa kerja keras, keimanan, dan konsistensi kalian akan dibalas keridhaan dan pahala Allah, serta mendapatkan cinta kami, para laki-laki. Kami memiliki cinta, penghormatan, dan apresiasi sepenuhnya untuk para ibu, saudari, dan putri-putri muslim. Pun demikian, untuk para istri yang penyabar, kami senantiasa menyimpan cinta, pujian, dan rasa syukur. Tanpa kehadiran dan kerja keras kalian –dengan bantuan dan izin Allah— kami bukanlah apa-apa, dan putra-putri kami mungkin takkan memiliki masa depan.

SAAT JILBAB TERASA BERAT


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Aku persembahkan untaian mawar yg tak akan engkau selamanya,ingat selalu..dan pahamilah sebaik-baiknya...

<.Berjilbab sebelum menghadapi hisab.

<.Wanita tak berjilbab bagai rumah tak berpagar.

<.Kerudung lambang ketakwaan dan Islam....kerudung bukti rasa malu dan kesusilaan...kerudung menjaga kewibawaan dan kehormatan...kerudung mahkota terindah utk kecantikaanmu dan bukti terbesar atas kesopanan serta kesempurnaan dirimu.

<.Hai wanita Mukmin yg mulia.lindungilah tubuhmu darisorot tajam mata-mata keranjang...bentengi dgn perisai kesusilaan utk melumpuhkan panah-panah tajam,.

<.Bukankah satu hal konyol sekaligus memperhatikan bilakita melihat wanita tua menambal garis-garis keriput di wayahnya dgn kosmetik dan mengenakan pakaian laki-laki seperti celana panjang dan t-shirt.??.

<.Betapa Ruginya wanita yg tak berjilbab...ia sesat danlalai..ia jual surga dgn harga murah utk memberi neraka jahim dgn hargamahal,apakah diantara wujud iman kepada Allah itu mendahulukan maksiat kepada-NYA ketimbang menaati-NYA.??,Duh betapa ruginya para wanita,kala merekarela melepaskan sesuatu yg lebih baik dan mengambil yg tidak bergarga,yakni ketika mereka memilih bertabarruj mengantikan busana jilbab,sepadankah budaya buka-bukaan,ugil-ugilan keteranjangan bila dibandingkan dgn budaya malu,kesusilaan dan kewibawaan.?

Modal menikmati masa muda bagaimana yg engkau inginkan,sementara saat keluar ke jalan tanpa berhijab hakikatnya engkau melakukan dosa setiap orang memandangmu.?hitung setiap hari,berapa jumlah dosayg engkau pikul akibat tabarrujmu saat beribu-beribu pasangan mata laki-laki menatapmu.

Berpikirlah wahai wanita ,betapa sering engkau melakukandosa besar ini dan mempertontonkan aurat!,betapa banyak kehormatan yg telah engkaurampas??banyak sdh Fitnah yg engkau bangkitkan??berapa banyak mata tajam ygtelah menelan dagingmu dan menikmati kecantikaanmu??dan berapa banyak jiwakotor yg ingin menjalin hubungan dgnmu.??

Totallah jumlah dosa-dosa ini setiap kali engkau keluar danpergi sepanjang hayatmu,niscaya engkau mendapatinya sebagai dosa yg sangat berat,membuatmu tertatih-tatih memikulnya,dan engkau tak kan sanggup membawanya di hari kiamat.

Beginikah cara menikmati masa muda wahai wanita malang,tanpabatas dan aturan syariat??sesungguhnya jika ia mau merenungkan barang sebentar hal tersebut,pasti wajahnya merah merona karena malu dan ia akan menutup kecantikaan dan perhiasannya dari mata-mata buas yg tak tau malu.

Tidak berarti ketika memakai jilbab engkau hidup introvert,menjauh dari pergaulan masyarakat .sama sekali tdk,bahkan sebaliknya,islam menghendakimu menjadi pribadi yg supel,mudah akrab dan ramah dgn orang lain:enerjik dgn tetap menjaga rasa malu:rendah hati tanpa tdk rendah diri:memiliki harga diri tanpa di bumbui kesombongan:pemalu:tdk suka menyakiti:jujur:tdk banyak bicara:banyak berbuat:hati-hati:berbakti lagi suka menyambung silahturahmi,tahu terima kasih lg penyebar:siapa melihatmu,siapa berkawan dgn mu ia mencintaimu,dan seorang wanita yg murah senyum serta berpandangan luas.

Renungkanlah sendiri betapa berat beban dosa-dosa ini,dan utk selanjutnya .ingat kembali misimu dlm kehidupan ini,utk apa engkau diciptakan??engkau akan menemukan jawaban yg benar-benar kontras dgn realita yg engkau jalani,maka segeralah melakukan taubat tulus kepada Allah sebelum perjalanan ke negeri akhirat keburu lepas.

semoga bermanfa'at

ISTIMEWANYA WANITA ISLAM


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh


>.1.Wanita auratnya lebih susah di jaga berbandinglelaki.

>.2.Wanita perlu meminta ijin dari suaminya apabila mau keluar Rumah tetapi tdk sebaliknya.

>.3.Wanita saksinya kurang berbanding lelaki.

>.4.wanita menerima Pusaka kurang dari lelaki.

>.5.wanita perlu menghadapi kesusahaan mengandung dan melahirkan ana.

>.6.wanita wajib taat kepada suaminya tetapi suami tak perlu taat pada istrinya.

>.7.Talak terletak ditangan suami dan bukan istri.

>.8.wanita kurang dalam beribadat karena masalah haid dan nifas yg tak ada pada lelaki.

Makanya mereka nggak capek-capeknya berpromosi utk""MEMERDEKAAN WANITA ISLAM""

Pernahkah kita lihat sebaliknya (kenyataannya)

Benda yg mahal harganya akan di jaga serta di simpan ditempat yg teraman dan terbaik,sdh pasti intan permata tdk akan dibiar terserak bukan.??

Itulah bandingannya dgn seorang wanita,wanita perlu taat kepada suami tetapi lelaki wajib taat pada ibunya 3 kali lebih utama daripada bapaknya,bukankah ibu adalah seorang wanita.??

Wanita menerima pusaka kurang dari lelaki tetapi harta itu menjadi milik pribadinya dan tdk perlu di serahkan kepada suaminya.

Manakala lelaki menerima pusaka perlu mengunakan hartanya utk istri dan anak-anaknya.

Wanita perlu bersusah payah utk mengandung dan melahirkan anak,tetapi setiap saat dia di do'akan oleh segala makhluk,malaikat dan seluruh makhluk Allah di muka bumi ini,dan matinya jika karena melahirkan adalah SYAHID.

>Di akhirat kelak,seorang lelaki akan dipertanggung jawabkan terhadap 4 wanita ini<<

-istrinya,ibunya,anak perempuannya,dan saudara perempuannya.

>Manakala seorang wanita pula,tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki ini<<

-Suaminya,ayahnya,anak lelakinya,dan saudara lelakinya.

>>Seorang wanita boleh memasuki pintu surga melalui mana-mana pintu surga yg di sukainya cukup dgn 4 syarat saja<<

-sembahyang 5 wktu,puasa dibulan Ramadhan,taat pada suaminya dan menjaga kehormatannya.

Seorang lelaki perlu pergi berjihad Fisabilillah tetapi wanita jika taat akan suaminya serta menunaikan tanggung jawabnya kepada Allah akan turut menerima pahala seperti pahala orang pergi berperang fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.

Masya Allah...demikian sayangnya Allah pada wanita ..khan..??

Maka berbahagialah engkau wanita-wanita Muslimah..

Tuesday, November 23, 2010

CURAHAN "AIR WAHYU" DI "TANAH HATI"


Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ajaran yang diembankan Allah kepadaku yang berupa petunjuk dan ilmu sebagaimana halnya air hujan yang deras menyirami bumi. Ada di antaranya tanah yang bagus dan bisa menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tanam-tanaman dan rumput-rumputan yang banyak. Namun, ada pula tanah yang kering dan bisa menampung air yang dengan perantara itu Allah berkenan melimpahkan kemanfaatan kepada banyak manusia; mereka minum darinya, memberikan minum kepada ternaknya, dan mengairi lahan pertanian. Kemudian ada juga air yang jatuh pada tanah jenis lainnya. Hanya saja itu adalah tanah yang tandus dan tidak bisa menumbuhkan tanaman; tidak bisa menampung air dan tidak juga menumbuhkan tanam-tanaman. Maka itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan dapat mengambil manfaat darinya berupa ilmu yang Allah ta’ala berikan kepadaku; sehingga dia mengetahuinya dan juga mengajarkan ilmu itu kepada selainnya, dan perumpamaan orang yang sama sekali tidak mau ambil peduli dengan ajaran yang kubawa dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang disampaikan melalui perantara diriku.” (HR. Bukhari [79] dalam Kitab al-’Ilm yang dicetak bersama Fath al-Bari, 1/213, dan Muslim [2282/5912] dalam Kitab al-Fadha’il yang dicetak bersama Syarh Muslim [7/288] ini lafazh milik Bukhari).


al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan tentang ajaran agama yang beliau bawa seperti air hujan yang menyirami seluruh bumi, yang datang kepada manusia ketika mereka benar-benar sangat memerlukannya, maka demikian pula keadaan umat manusia sebelum diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana air hujan dapat menghidupkan negeri (tanah) yang mati maka demikian pula ilmu-ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.” (Fath al-Bari, 1/215).


Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran yang menunjukkan bahwa tidak ada yang menerima wahyu yang diturunkan Allah yang berupa petunjuk dan agama selain orang yang hatinya bersih dari kesyirikan dan keragu-raguan. Maka hati yang bisa menerima ilmu dan petunjuk itu seperti layaknya tanah yang selalu mengharapkan siraman air, sehingga ia bisa memanfaatkan air itu, hidup, dan kemudian menumbuhkan tanam-tanaman…” (Syarh Ibnu Baththal [ 1/161] as-Syamilah).


Sungguh benar yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika hati manusia diliputi dengan ketulusan, ikhlas dan keyakinan yang benar kepada Rabbnya niscaya ajaran Nabi akan mudah diterima dan dilaksanakannya. Sebaliknya, apabila hati itu dipenuhi dengan riya’, kesyirikan, dan kerancuan pemahaman atau bid’ah maka jauhlah ia dari jalan yang lurus. Apabila dia berbicara maka berdasarkan hawa nafsunya. Dan apabila dia bertindak pun mengikuti hawa nafsunya. Hawa nafsu telah menjadi panglima yang mengendalikan akal dan pikirannya. Sungguh malang apabila ternyata kita termasuk orang yang demikian itu… Nas’aullahas salamah!


Ibnu al-Qayyim mengatakan, “Tidaklah kamu jumpai seorang pembuat bid’ah dalam agama kecuali di dalam hatinya terdapat rasa sempit ketika menyimak ayat-ayat yang menyelisihi kebid’ahannya, sebagaimana kamu tidak akan menemukan seorang yang zalim lagi fajir (gemar berbuat dosa) melainkan di dalam hatinya akan muncul kesempitan tatkala menjumpai ayat-ayat yang menghalanginya untuk melampiaskan keinginannya (yang terlarang itu). Renungkanlah makna ini lalu pilihlah apa yang anda senangi bagi diri anda sendiri.” (al-Fawa’id, hal. 80).



Nikmat terbesar untuk kaum beriman, hujan deras yang menyemai benih kebahagiaan



Sesungguhnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karunia terbesar bagi kaum beriman. Hati mereka akan hidup dan merasakan lezatnya iman tatkala mereka mau menerima syari’at dan petunjuk Nabi ini dengan penuh lapang dada dan tangan terbuka.


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari jenis mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran : 164).


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman penuhilah panggilan Allah dan rasul-Nya jika sedang menyeru kalian untuk sesuatu yang menghidupkan [jiwa] kalian…” (QS. al-Anfal : 24).


Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kehidupan yang sejati dan baik adalah kehidupan pada diri orang-orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul dengan lahir dan batinnya… Oleh sebab itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 86).


Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa memenuhi seruan Allah dan Rasul itu merupakan konsekuensi dari keimanan. Makna dari memenuhi seruan Allah dan rasul ialah; tunduk kepada perintah-Nya dan bersegera melaksanakannya, mengajak orang lain untuk melakukannya, menjauhi larangan-larangan-Nya, menahan diri darinya dan melarang orang lain supaya tidak terjerumus ke dalam larangan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 318).

Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan hati dan ruh adalah dengan menegakkan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ta’ala, senantiasa menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan ketaatan kepada Rasul-Nya secara terus menerus.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 318).


Apabila ‘kemarau’ melanda hati manusia


Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kemarau yang melanda hati adalah kelalaian. Kelalaian itulah hakikat kekeringan dan kemarau yang menimpanya. Selama seorang hamba tetap mengingat Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya niscaya hujan rahmat akan turun kepadanya sebagaimana layaknya air hujan yang terus menerus turun. Namun, apabila ia lalai maka ia akan mengalami masa kering yang berbanding lurus dengan sedikit banyaknya kelalaian yang terjadi padanya. Dan apabila ternyata kelalaian telah berhasil menjajah dan menguasai dirinya maka jadilah ‘buminya’ itu hancur dan binasa…” (Asrar as-Shalah, hal. 4).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celakalah orang-orang yang hatinya keras karena tidak pernah mengingat Allah, mereka itulah orang-orang yang berada di dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar : 22).

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bahwa orang-orang semacam itu tidak melembut hatinya untuk menerima [ajaran] Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, serta tidak merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya. Bahkan hatinya selalu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya. Maka mereka itulah orang-orang yang layak untuk mendapatkan kebinasaan yang amat sangat dan keburukan yang sangat besar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).


Kemarau di hati akan menyumbat air mata taubat membasahi pipi


Saudaraku sekalian -semoga Allah menambahkan kepada kita keyakinan kepada-Nya- apabila kita cermati lagi kondisi hati kita barangkali keterangan dari ayat-ayat, hadits, dan ucapan para ulama yang kami nukil di atas akan menyadarkan kita bahwa salah satu sebab pokok jauhnya manusia dari jalan kebenaran dan sosok ideal pengikut jalan hidup para salafush shalih adalah karena jauhnya keadaan kita dari kondisi hati orang beriman yang sesungguhnya.


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan (nama) Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal : 2).


Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan ketika menerangkan kandungan ayat ini, “Ayat ini juga menunjukkan bahwa sudah semestinya setiap hamba menjaga kondisi imannya dan berusaha untuk menumbuh-kembangkan iman itu di dalam dirinya. Dan cara paling utama untuk bisa mewujudkan hal itu adalah dengan merenungkan Kitabullah ta’ala dan memperhatikan kandungan makna-maknanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 315).


Inilah realita yang menimpa kebanyakan manusia! Mereka jauh dari Kitabullah dan hanyut dalam urusan dunia mereka. Sehingga menyebabkan hati mereka keras dan mata mereka sedikit sekali meneteskan air mata taubat dan penyesalan atas dosa-dosanya. Inilah musibah besar yang dikeluhkan Rasulullah kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berkatalah rasul; ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. al-Furqan : 30).


Siapakah mereka yang telah menelantarkan al-Qur’an itu dan tidak mau mengacuhkannya? Tidak lain adalah kalangan pecandu dosa dan penggemar maksiat. Oleh sebab itu setelah menceritakan keluhan Nabi ini, Allah ta’ala menghibur beliau dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan seperti itulah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari kalangan orang-orang yang pendosa. Dan cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. al-Furqan : 31). Seolah-olah Allah ingin mengatakan kepada Nabi-Nya bahwa kejadian semacam ini bukan saja menimpamu wahai Muhammad. Karena sesungguhnya para nabi sebelummu pun mengalami nasib yang serupa. Mereka juga dimusuhi oleh kaumnya dan Kitab sucinya tidak diindahkan oleh mereka. Maka janganlah engkau sedih, karena sesungguhnya yang memusuhi ajaranmu adalah barisan orang-orang yang wataknya memang gemar berbuat dosa (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 582).


Maka apakah yang terjadi -wahai saudaraku yang kucintai- apabila hati seorang manusia telah diliputi kecintaan yang sangat dalam kepada sosok-sosok biduanita, kecanduan yang sangat berat kepada irama musik yang menjauhkan umat dari Rabbnya, begitu haus akan warta terkini mengenai selebritis idolanya, gandrung akan mode busana ala bintang Hollywood Amerika, dan sangat hobi duduk di depan layar kaca menikmati sinetron-sinetron yang dusta, maka saksikanlah akibatnya; mushaf al-Qur’an yang bertebaran di negeri kaum muslimin seolah menjadi rongsokan tak berharga yang tak diminati oleh manusia. Maka jadilah hati mereka kering kerontang, malas menjalankan aturan agama, sedikit menangisi dosanya, bahkan merasa bangga dengan gaya hidup ala penduduk neraka. Laa haula wa laa quwwata illa billaah! Inilah keasingan ajaran Islam yang menimpa kaum muslimin dewasa ini; ketika cengkeraman Yahudi dan bala tentara Iblis tengah bekerja untuk menghabisi nyawa umat ini dan berusaha meluluhlantakkan benteng pertahanan mereka. Di manakah kita berada? Apakah kita termasuk antek Yahudi dan Iblis ataukah pengikut setia ajaran Kitabullah ta’ala? Semoga Allah melindungi kita dan melimpahkan taufik-Nya kepada kita. Sesungguhnya tipu daya syaitan itu sangatlah lemah…


Dipublikasi ulang dari abumuslih.wordpress.com

MENGAPA HATI INI MASIH MERASA IRI...!!!


Pernah mungkin kita mendengar kisah dua orang tetangga dekat bisa saling bunuh. Penyebabnya karena yang satu buka toko dan lainnya pun ikut-ikutan. Akibat yang satu merasa tersaingi, akhirnya ada rasa iri dengan kemajuan saudaranya. Tetangga pun tidak dipandang. Awalnya rasa iri dipendam di hati. Namun karena semakin hangat dan memanas, akhirnya berujung pada pertikaian yang berakibat hilangnya nyawa. Sikap seperti ini pun mungkin pernah terjadi pada kita. Namun belum sampai parah sampai gontok-gontokan. Rasa iri tersebut muncul kadangkala karena persaingan. Sikap iri semacam ini jarang terjadi pada orang yang usahanya berbeda. Jarang tukang bakso iri pada tukang becak. Orang yang saling iri biasanya usahanya sama. Itulah yang biasa terjadi. Tukang bakso, yah iri pada tukang bakso sebelah. Si empunya toko sembako iri pada orang yang punya toko yang semisal, dan seterusnya.

Perlu diketahui bahwa iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat, itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

ان الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود

“Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.”[1]

Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Janganlah kalian saling hasad (iri), janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi (saling mendiamkan/ menghajr). Jadilah kalian bersaudara, wahai hamba Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hasad Bisa Terjadi Pada Orang Beriman

Hasad bisa saja terjadi pada orang-orang beriman. Hal ini dapat kita lihat dalam kisah Nabi Yusuf dengan suadara-saudaranya. Sampai-sampai ayah Yusuf (Ya’qub) memerintahkan pada Nabi Yusuf agar jangan menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya agar tidak membuat mereka iri. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)

Lalu lihatlah bagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf.

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.”(QS. Yusuf: 8). Lihatlah bagaimana hasad pun bisa terjadi di antara orang beriman, bahkan di antara sesama saudara kandung.

Hasad (Iri) Tidak Ada Untungnya

Patut kita renungkan bersama bahwa rasa iri sebenarnya tidak pernah ada untungnya sama sekali. Yang ada hanya derita di dalam hati. Orang yang hasad pada saudaranya sama saja tidak suka pada ketentuan atau takdir Allah. Karena orang yang hasad tidak suka atas ketentuan Allah pada saudaranya. Padahal Allah yang menakdirkan saudaranya jadi kaya, saudaranya punya kedudukan, saudaranya sukses dalam bisnis, dan lainnya. Orang yang hasad sama saja menentang ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf: 32). Padahal Allah yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya.

Orang yang hasad sama saja dengan orang yang menzholimi saudaranya. Oleh karena itu, orang yang didengki (dihasad) akan mendapatkan manfaat dari orang yang hasad di akhirat kelak. Kebaikan orang yang hasad akan diberikan pada orang yang didengki (dihasad) dan kejelekan orang yang didengki (dihasad) akan beralih pada orang yang hasad. Bisa terjadi seperti ini karena orang yang hasad layaknya orang yang menzholimi orang lain. Sehingga penyelesaiannya dengan jalan seperti itu. Lebih-lebih lagi jika hasad tadi diteruskan dengan perkataan, perbuatan danghibah (menggunjing), tentu akibatnya lebih parah.[2]

Itu tadi adalah akibat di akhirat. Sedangkan di dunia, orang yang hasad pun menderitakan berbagai kerugian. Jika orang yang ia hasad terus mendapatkan nikmat, hatinya akan semakin sedih dan terus seperti itu. Bulan pertama, ia hasad karena omset saudaranya meningkat 50 %, ini kesedihan pertama. Jika bulan kedua meningkat lagi, ia pun akan semakin sedih. Begitu seterusnya, orang yang hasad tidak pernah mendapatkan untung, malah kesedihan yang terpendam dalam hati yang ia peroleh waktu demi waktu.

Cara Mengatasi Penyakit Hasad

Agar kita tidak terjerumus dalam penyakit hati yang satu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan, di antaranya:

Pertama: Pertebal iman dan rasa yakin pada takdir Allah, tentu saja dengan terus menambah ilmu.


Kedua: Mengingat akibat hasad yang berdampak di dunia maupun di akhirat.

Ketiga: Selalu bersyukur dengan yang sedikit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

Keempat: Selalu memandang orang yang di bawahnya dalam masalah dunia. Dari Abu Hurairah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain diberi kelebihan harta dan fisik [atau kenikmatan dunia lainnya], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963)

Dalam hadits lain disebutkan,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)

Kelima: Banyak mendoakan orang lain yang mendapatkan nikmat dalam kebaikan karena jika kita mendoakannya, kita akan dapat yang semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang bertugas mengaminkan do’anya kepada saudarany). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang semisal dengannya.” (HR. Muslim no. 2733)

Setelah mengetahui hal ini, masihkah ada iri pada saudara kita? Semoga Allah memberi taufik untuk terhindar dari penyakit yang satu ini. Amin, Yaa Mujibas Saailin.

LIHATLAH HATIMU


Rosulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. jika segumpal darah tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya, adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah tersebut adalah hati.”

Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, jika hati tersebut adalah hati yang baik maka seluruh tubuhnya akan tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin memperbaiki dirinya maka hendaklah ia memperbaiki dahulu hatinya.

Ketahuilah, hati ini merupakan penggerak bagi seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk tercapainya segala sarana dalam terwujudnya perbuatan. Hati laksana panglima yang memompa pasukannya untuk melawan musuh atau melemahkan mereka sehingga mundur dari medan peperangan. Karena hati disifatkan dengan sifat kehidupan dan kematian, maka hati ini juga dibagi dalam tiga kriteria yakni hati yang mati, hati yang sakit dan hati yang sehat.


1. Hati yang Sehat

Yaitu hati yang selamat, hati yang bertauhid (mengesakan Alloh dalam setiap peribadatannya), di mana seseorang tidak akan selamat di hari akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa hati ini. Alloh berfirman dalam surat as-Syu’ara ayat 88-89:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak kecuali mereka yang datang menemui Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya).” (QS. Asy Syu’ara: 88,89)

Hati yang sehat ini didefinisikan dengan hati yang terbebas dari setiap syahwat, selamat dari setiap keinginan yang bertentangan dari perintah Alloh, selamat dari setiap syubhat (kerancuan-kerancuan dalam pemikiran), selamat dari menyimpang pada kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Alloh dan berhukum kepada hukum selain hukum Rosul-Nya. Hati ini mengikhlaskan peribadatannya hanya kepada Alloh dalam keinginannya, dalam tawakalnya, dalam pengharapannya dalam kecintaannya Jika ia mencintai ia mencintai karena Alloh, jika ia membenci ia membenci karena Alloh, jika ia memberi ia memberi karena Alloh, jika ia menolak ia menolak karena Alloh. Hati ini terbebas dari berhukum kepada hukum selain Alloh dan Rosul-Nya. Hati ini telah terikat kepada suatu ikatan yang kuat, yakni syariat agama yang Alloh turunkan. Sehingga hati ini menjadikan syariat sebagai panutan dalam setiap perkataan dan perbuatannya.
Alloh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian bersikap mendahului Alloh dan Rosul-Nya, bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurot: 1)

Pemilik hati yang sehat ini akan senantiasa dekat dengan Al Quran, ia senantiasa berinteraksi dengan Al Quran, ia senantiasa tenang, permasalahan apapun yang dihadapinya akan dihadapi dengan tegar, ia senantiasa bertawakal kepada-Nya karena ia mengetahui semua hal berasal dari Alloh dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Di manapun ia berada zikir kepada Alloh senantiasa terucap dari lisannya, jika disebut nama Alloh bergetarlah hatinya, jika dibacakan ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya. Pemilik hati inilah seorang mukmin sejati, orang yang Alloh puji dalam
Firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (sempurna imannya) ialah mereka yang bila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allohlah mereka bertawakkal (berserah diri).” (QS. Al-Anfaal: 2)

2. Hati yang Sakit

Hati ini adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Hati ini akan mengikuti unsur kuat yang mempengaruhinya, terkadang hati ini cenderung kepada “kehidupan” dan terkadang cenderung kepada “penyakit”. Pada hati ini ada kecintaan kepada Alloh, keimanan, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya. Akan tetapi pada hati ini juga terdapat kecintaan kepada syahwat, ketamakan, hawa nafsu, dengki, kesombongan dan sikap bangga diri.

Ia ada di antara dua penyeru, penyeru kepada Alloh, Rosul dan hari akhir dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat dan paling akrab kepadanya.

Pemilik hati ini akan senantiasa berubah-ubah, terkadang ia berada dalam ketaatan dan kebaikan, terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa. Amalannya senantiasa berubah sesuai dengan lingkungannya, jika lingkungannya baik maka ia berubah menjadi baik adapun jika lingkungannya buruk maka ia akan terseret pula kepada keburukan.

Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu’, tawadhu’, lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.

Maka wahai kaum muslimin! hendaknya kita menginterospeksi diri kita sendiri, termasuk dalam golongan yang manakah hati kita? apakah hati kita termasuk dalam hati yang sehat, hati yang sakit atau malah hati kita telah mati? Maka renungkanlah Firman Alloh dalam surat Al-Kahfi ayat 49:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً

“Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS. Al Kahfy: 49)

Dan sebaliknya Firman-Nya dalam Surat Al-Kahfi ayat 29-30:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً أُوْلَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَاباً خُضْراً مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقاً

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al Kahfy: 29,30)

3. Hati yang Mati

Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Robbnya, ia tidak menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya, ia tidak menghadirkan setiap perbuatannya berdasarkan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Hati ini senantiasa berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan dunia walaupun di dalamnya ada murka Alloh, akan tetapi hati ini tidak memperdulikan hal-hal tersebut, baginya yang terpenting adalah bagaimana ia bisa melimpahkan hawa nafsunya. Ia menghamba kepada selain Alloh, jika ia mencinta maka mencinta karena hawa nafsu, jika ia membenci maka ia membenci karena hawa nafsu.

Alloh berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Alloh mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah: 23)

Pemilik hati ini jika dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Quran maka dirinya tidak tergetar, ia senantiasa ingin menjauh dari Al Quran, ia lebih senang mendengar suara-suara yang membuatnya lalai, ia lebih senang mendengar nyanyian, mendengar musik, mendengar suara-suara yang menggejolakkan hawa nafsunya. Pemilik hati ini senantiasa gelisah, ia tidak tahu harus kepada siapa ia menyandarkan dirinya, ia tidak tahu kepada siapa ia berharap, ia tidak tahu kepada siapa ia meminta, kehidupannya terombang-ambing, ke mana saja angin bertiup ia akan mengikutinya, ke mana saja syahwat mengajaknya ia akan mengikutinya, wahai betapa menderitanya pemilik hati ini.

Wahai zat yang membolak-bolakkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agamamu, wahai zat yang membolak-balikkan hati tuntunlah hati kami teguh di atas ketaatan kepada-Mu…

Judul asli : Wahai Manusia Lihatlah Hatimu
Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Murojaah: Ustadz Abu Sa’ad
di cop As dari catatan Mawaddah Hafilah di facebook

Monday, November 22, 2010

KIAT MENCARI JODOH


Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, supaya muncul suatu ketenangan, kesenangan, ketenteraman, kedamaian dana kebahagiaan. Hal ini tentu saja menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia, apalagi pernikahan itu merupakan ketetapan Ilahi dan dalam sunnah Rasul ditegaskan bahwa “Nikah adalah Sunnahnya”. Oleh karena itu Dinul Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan dan selanjutnya mengarahkan pertemuan tersebut sehingga terlaksananya suatu pernikahan.

Namun dalam kenyataannya, untuk mencari pasangan yang sesuai tidak selamanya mudah. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jodoh. Memang perjodohan itu sendiri suatu hal yang ghaib dan sulit diduga, kadang-kadang pada sebagian orang mudah sekali datangnya, dan bagi yang lain amat sulit dan susah. Bahkan ada kalanya sampai tua seseorang belum menikah juga.

Fenomena beberapa tahun akhir-akhir ini, kita melihat betapa banyaknya muslimah-muslimah yang menunggu kedatangan jodoh, sehingga tanpa terasa usia mereka semakin bertambah, sedangkan para musliminnya, bukannya tidak ada, mereka secara ma’isyah belum berani maju untuk melangkahkan kakinya menuju mahligai rumah tangga yang mawaddah wa rahmah. Kekhawatiran jelas tampak, di tengah-tengah perekonomian yang semakin terpuruk, sulit bagi mereka untuk memutuskan segera menikah.

Gejala ini merupakan salah satu dari problematika dakwah dewasa ini. Dampaknya kaum muslimah semakin membludak, usia mereka pelan namun pasti beranjak semakin naik.

Untuk mencari solusinya, dengan tetap berpegangan kepada syariat Islam yang memang diturunkan untuk kemaslahatan manusia, beberapa kiat mencari jodoh dapat dilakukan :

1. Yang paling utama dan lebih utama adalah memohonkannya pada Sang Khalik, karena Dialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (QS.4:1). Permohonan kepada Allah SWT dengan meminta jodoh yang diridhoiNya, merupakan kebutuhan penting manusia karena kesuksesan manusia mendapatkan jodoh berpengaruh besar dalam kehidupan dunia dan akhirat seseorang.

2. Melalui mediator, antara lain:

a. Orang tua. Seorang muslimah dapat meminta orang tuanya untuk mencarikannya jodoh dengan menyebut kriteria yang ia inginkan. Pada masa Nabi SAW, beliau dan para sahabat-sahabatnya segera menikahkan anak perempuan. Sebagaimana cerita Fatimah binti Qais, bahwa Nabi SAW bersabda padanya : Kawinlah dengan Usamah. Lalu aku kawin dengannya, maka Allah menjadikan kebaikan padanya dan keadaanku baik dan menyenangkan dengannya (HR. Muslim).

b. Guru ngaji (murabbiyah). Jika memang sudah mendesak untuk menikah, seorang muslimah tidak ada salahnya untuk minta tolong kepada guru ngajinya agar dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Dengan keyakinan bahwa jodoh bukanlah di tangan guru ngaji. Ini adalah salah satu upaya dalam mencari jodoh.

c. Sahabat dekat. Kepadanya seorang muslimah bisa mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Sebagai gambaran, kita melihat perjodohan antara Nabi SAW dengan Khadijah RA. Diawali dengan ketertarikan Khadijah RA kepada pribadi beliau yang pada saat itu berstatus karyawan pada perusahaan bisnis yang dipegang oleh Khadijah RA. Melalui Nafisah sebagai mediatornya akhirnya Nabi SAW menikahi Khadijah RA..

d. Biro Jodoh. Biro jodoh yang Islami dapat memenuhi keinginan seorang muslimah untuk menikah. Dikatakan Islami karena prosedur yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Salah satu di antaranya adalah Club Ummi Bahagia.

3. Langsung, dalam arti calon sudah dikenal terlebih dahulu dan ia berakhlaq Islami menurut kebanyakan orang-orang yang dekat dengannya (temannya atau pihak keluarganya). Namun pacaran tetap dilarang oleh Islam. Jika masing-masing sudah cocok maka segera saja melamar dan menikah. Kadang kala yang tertarik lebih dahulu adalah muslimahnya, maka ia dapat menawarkan dirinya kepada laki-laki saleh yang ia senangi tersebut (dalam hal ini belum lazim di tengah-tengah masyarakat kita). Seorang sahabiat pernah datang kepada Nabi SAW dan menawarkan dirinya pada beliau. Maka seorang wanita mengomentarinya, “Betapa sedikit rasa malunya.” Ayahnya yang mendengar komentar putrinya itu menjawab, “Dia lebih baik dari pada kamu, dia menginginkan Nabi SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau.”

Sebuah cerita bagus dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqoh pengarang buku Tahrirul Mar’ah, bahwa ada seorang temannya yang didatangi oleh seorang wanita untuk mengajaknya menikah. Temannya itu merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya”. Maka terjadilah pernikahan setelah itu.

Semua upaya tersebut hendaknya dilakukan satu persatu dengan rasa sabar dan tawakal tidak kenal putus asa. Di samping itu seorang muslimah sambil menunggu sebaiknya ia mengaktualisasikan kemampuannya. Lakukan apa yang dapat dilakukan sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan dakwah. Jika seorang muslimah kurang pergaulan, bagaimana ia dapat mengenal orang lain yang ingin menikahinya.

Barangkali perlu mengadakan evaluasi terhadap kriteria pasangan hidup yang ia inginkan. Bisa jadi standar ideal yang ia harapkan menyebabkan ia terlalu memilih-milih. Menikah dengan orang hanif (baik keagamaannya) merupakan salah satu alternatif yang perlu diperhatikan sebagai suatu tantangan dakwah baginya.

Akhirnya, semua usaha yang telah dilakukan diserahkan kembali kepada Allah SWT. Ia Maha Mengetahui jalan kehidupan kita dan kepadaNyalah kita berserah diri. Wallahu A’lam bishowab. (hudzaifah/hdn)

Sunday, November 21, 2010

Muhammad Sebagai Seorang Suami


Di antara tanda kasih sayang Allah swt terhadap manusia adalah diutusnya Rasul ditengah-tengah mereka. Inilah nikmat paling besar yang Allah swt karuniakan kepada manusia. Agar para Rasul menjadi penerang bagi orang-orang yang salah jalan. Menjadi penunjuk bagi orang-orang yang tersesat.

Hal paling utama dan berharga yang dipersembahkan para Rasul kepada manusia setelah penunjukan jalan hidayah Allah swt. adalah mereka, para Rasul sebagai contoh teladan bagi yang meniti jalan menuju Allah swt, agar orang beriman mengambil apa yang mereka contohkan dalam segenap urusan dan bidang, fiddunya wal akhirah.

Allah swt berfirman tentang pribadi Nabi kita Muhammad saw.:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Al Ahzab:21

Berkata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini: “Inilah ayat mendasar yang berisikan anjuran menjadikan Rasulullah saw sebagai suri teladan, dalam ucapan, perbuatan dan keadannya.”

Dan bukti kemurahan Allah swt terhadap umat Islam ini adalah, bahwa sirah atau perjalanan hidup Nabi saw. baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaannya direkam dan dijaga oleh para tokoh –ahli hadits- yang mukhlis. Dan mereka menyampaikan apa yang datang dari Rasul kepada orang lain dengan sangat amanah.

Contoh sederhana adalah tentang petunjuk Nabi bagaimana beliau makan, cara minum, berpakaian, berhias, bagaimana beliau tidur dan ketika terjaga, ketika beliau mukim atau sedang safar, ketika beliau tertawa atau menangis, dalam kesungguhan atau canda, dalam suasana ibadah atau hubungan sosial, perihal urusan agama atau dunia, ketika kondisi damai atau saat perang, dalam berinteraksi dengan kerabat atau orang yang jauh, menghadapi teman atau lawan, sampai pada sisi-sisi yang menurut orang bilang “intim” dalam hubungan suami-istri. Semuanya terekam, tercatat dan diriwayatkan dengan sahih dalam sirah perjalanan hidup beliau saw.

Dalam tulisan sederhana ini kami paparkan petunjuk Nabi saw. tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan istri-istrinya. Bagaimana beliau bermu’amalah dan menjaga mereka. serta bagaimana beliau melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak mereka.

Muhammad Bersikap Adil

Nabi Muhammad saw. sangat memperhatikan perilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Beliau ketika bertandang ke salah satu rumah istrinya, setelah itu beliau berkunjung ke rumah istri-istri beliau yang lain.

Soal cinta, beliau lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selamanya. Meskipun di sisi lain, beliau beristighfar kepada Allah swt karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah swt. saja. Rasulullah saw. bersabda:

(اللهم إن هذا قسمي فيما أملك، فلا تلمني فيما لا أملك)

“Ya Allah, inilah pembagianku yang saya bisa. Maka jangan cela aku atas apa yang aku tidak kuasa.”

Ketika beliau dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut menjemput, beliau meminta kepada istrinya yang lain agar diperkenankan berada di rumah Aisyah. Bahkan ketika beliau mengadakan perjalanan atau peperangan, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang kebagian undian, dialah yang menyertai Rasulullah saw.

Muhammad Bermusyawarah Dengan Para Istrinya

Rasulullah saw mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka. Padahal wanita pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam diperlakukan seperti barang dagangan semata, dijual dan dibeli, tidak dianggap pendapatnya, meskipun itu berkaitan dengan urusan yang langsung dan khusus dengannya.
Islam datang mengangkat martabat wanita, bahwa mereka sejajar dengan laki-laki, kecuali hak qawamah atau kepemimpinan keluarga, berada ditangan laki-laki. Allah swt berfirman:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Al Baqarah:228.

Adalah pendapat dari Ummu Salamah ra pada peristiwa Hudaibiyah, membawa berkah dan keselamatan bagi umat Islam. Ummu Salamah memberi masukan kepada Nabi agar keluar menemui para sahabat tanpa berbicara dengan siapa pun, langsung menyembelih hadyu atau seekor domba dan mencukur rambutnya. Ketika beliau melaksanakan hal itu, para sahabat dengan serta-merta menjalankan perintah Nabi saw, padahal sebelumnya mereka tidak mau melaksanakan perintah Rasul, karena mereka merasa pada pihak yang kalah pada peristiwa itu. Mereka melihat bahwa syarat yang diajukan kaum kafir Quraisy tidak menguntungkan kaum muslimin.

Muhammad Lapang Dada dan Penyayang

Istri-istri Rasulullah saw memberi masukan tentang suatu hal kepada Nabi, beliau menerima dan memberlakukan mereka dengan lembut. Beliau tidak pernah memukul salah seorang dari mereka sekali pun. Belum pernah terjadi demikian sebelum datangnya Islam. Perempuan sebelum Islam tidak punya hak bertanya, mendiskusikan dan memberi masukan apalagi menuntut.
Umar ra berkata:

“Saya marah terhadap istriku, ketika ia membantah pendapatku, saya tidak terima dia meluruskanku. Maka ia berkata; “Mengapa kamu tidak mau menerima pendapatku, demi Allah, bahwa istri-istri Rasulullah memberi pendapatnya kepada beliau, bahkan salah satu dari mereka ngambek dan tidak menyapanya sehari-semalam. Umar berkata; “Saya langsung bergegas menuju rumah Hafshah dan bertanya: “Apakah kamu memberi masukan kepada Rasulullah saw? ia menjawab: Ya. Umar bertanya lagi, “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang ngambek dan tidak menegur Rasul selama sehari-semalam? Ia menjawab: Ya. Umar berkata: “Sungguh akan rugi orang yang melakukan demikian di antara kalian.”

Cara Nabi Meluruskan Keluarganya

Rasulullah saw tidak pernah menggap sepele kesalahan yang diperbuat oleh salah satu dari istri. Beliau pasti meluruskan dengan cara yang baik. Diriwayatkan dari Aisyah:

تقول عائشة رضي الله عنها: ما رأيت صانعة طعام مثل صفية صنعت لرسول الله طعاما وهو في بيتي، فارتعدت من شدة الغيرة فكسرت الإناء ثم ندمت فقلت: يا رسول الله ما كفارة ما صنعت؟ قال: إناء مثل إناء، وطعام مثل طعام.

“Saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik di dalam membuatkan masakan, selain Shafiyah. Ia membuatkan hidangan untuk Rasulullah saw di rumahku. Seketika saya cemburu dan membanting piring beserta isinya.” Saya menyesal, seraya berkata kepada Rasulullah saw. “Apa kafarat atas perilaku yang saya lakukan?” Rasulullah saw menjawab: “Piring diganti piring, dan makanan diganti makanan.”

Rasulullah saw. menjadi pendengar yang baik. Beliau memberi kesempatan kepada istri-istrinya kebebasan untuk berbicara. Namun beliau tidak toleransi terhadap kesalahan sekecil apa pun. Aisyah berkata kepada Nabi setelah wafatnya Khadijah ra.:
“Kenapa kamu selalu mengenang seorang janda tua, padahal Allah telah memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik.” Maka Rasulullah saw marah, seraya berkata: “Sunggguh, demi Allah, Allah tidak memberi ganti kepadaku yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku ketika manusia mengingkariku. Ia menolongku ketika manusia memusuhiku. Saya dikaruniai anak darinya, yang tidak Allah berikan lewat selainnya.”

Muhammad Pelayan Bagi Keluarganya

Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan khidmah atau pelayanan ketika di dalam rumah. Beliau selalu bermurah hati menolong istri-istrinya jika kondisi menuntut itu. Rasulullah saw bersabda:

وكان يقول: (خدمتك زوجتك صدقة)

“Pelayanan Anda untuk istri Anda adalah sedekah.”

Adalah Rasulullah saw mencuci pakaian, membersihkan sendal dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya.

Muhammad Berhias Untuk Istrinya

Rasulullah saw mengetahu betul kebutuhan sorang wanita untuk berdandan di depan laki-lakinya, begitu juga laki-laki berdandan untuk istrinya. Adalah Rasulullah saw paling tampan, paling rapi di antara manusia lainnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya agar berhias untuk istri-istri mereka dan menjaga kebersihan dan kerapihan. Rasulullah saw bersabda:

وكان يقول: (اغسلوا ثيابكم وخذوا من شعوركم واستاكوا وتزينوا وتنظفوا فإن بني إسرائيل لم يكونوا يفعلون ذلك فزنت نساؤهم).

“Cucilah baju kalian. Sisirlah rambut kalian. Rapilah, berhiaslah, bersihkanlah diri kalian. Karena Bani Isra’il tidak melaksanakan hal demikian, sehingga wanita-wanita mereka berzina.”

Muhammad dan Canda-Ria

Rasulullah saw tidak tidak lupa bermain, bercanda-ria dengan istri-istri beliau, meskipun tanggungjawab dan beban berat di pundaknya. Karena rehat, canda akan menyegarkan suasan hati, menggemberakan jiwa, memperbaharui semangat dan mengembalikan fitalitas fisik.

فعن عائشة – رضي الله عنها- أنها قالت خرجنا مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) في سفر فنزلنا منزل فقال لها : تعالي حتى أُسابقك قالت: فسابقته فسبقته، وخرجت معه بعد ذلك في سفر آخر فنزلنا منزلا فقال: تعالي حتى أسابقك قالت: فسبقني، فضرب بين كتفي وقال : هذه بتلك).

Dari Aisyah ra berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu safar. Kami turun di suatu tempat. Beliau memanggil saya dan berkata: “Ayo adu lari” Aisyah berkata: Kami berdua adu lari dan saya pemenangnya. Pada kesempatan safar yang lain, Rasulullah saw mengajak lomba lari. Aisyah berkata: “Pada kali ini beliau mengalahkanku. Maka Rasulullah saw bersabda: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan sebelumnya.” Allahu A’lam

di ambil dari Dakwatuna.com

Doa Suami Istri

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا”

dakwatuna.com – Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kalau salah seorang hendak mendatangi istrinya hendaknya ia berdoa, ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkan setan dari kami dan jahkan syetan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.’ Karena jika ditakdirkan antara keduanya seorang anak tidak akan dicelakakan oleh setan selama-lamanya.”

Hadits ini dikeluarkan At-Thayalisi (1/302 nomor 2705), Ahmad (1/286 nomor 2597), Bukhari (3/1196 nomor 3109), Muslim (2/1058), Abu Daud (2/239 nomor 3109), At-Tirmidzi (3/401 nomor 1092). At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Juga dikeluarkan Ibnu Majah (1/618 nomor 1919) da Ibnu Hibban (3/263 nomor 983)

Al-Allamah Al-Mubarakfuri di kitabnya Tuhfazhul Ahwadzi bisyarhi Jami’ At-Tirmidzi mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘mendatangi keluarganya’ adalah menggauli istri atau budaknya. Maksudnya, jika seseorang hendak menggauli istrinya, jadi doa itu diucapkan sebelum melakukannya. ‘Apa yang Engaku anugerahkan kepada kami’ artinya anak dan ‘Tidak dicelakakan setan selama-lamanya’ artinya setan tidak bias menguasainya hingga anak itu kelak tidak bias melakukan amal shalih.

Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Bari mengatakan, para ulama berbeda pendapat tentang jenis celaka yang diakibatban setan kepada anak manusia setelah kedua suami istri itu sepakat untuk tidak hamil. Kesepakatan itu dipicu oleh sikap mereka terhadap hadits shahih

إِنَّ كُلَّ بَنِي آدَمَ يَطْعَنُ الشَّيْطَانُ فِي بَطْنِهِ حِينَ يُولَدُ, إِلَّا مَنْ اِسْتَثْنَى

“Setiap anak Adam ditikam oleh setan di perutnya saat dilahirkan selain yang dikecualikan.”

Penikaman seperti ini adalah salah satu jenis celaka yang ditimbulkan setan. Ada juga yang berpendapat bahwa setan akan menguasainya agar namanya tidak diberkahi. Ada juga yang mengatakan tidak dibinasakan. Juga ada yang mengatakan tidak dicelakakan urusan agamanya. Ad-Daudi berkata, yang dimaksud dengan celaka di sini adalah tidak difitnah oleh setan dalam agamanya hingga ia menjadi kafir. Ini tidak berarti anak Adam terbebas dari kemaksiatan.

Hadits di atas menegaskan bahwa hubungan suami istri tidak semata-mata persoalan melampiaskan syahwat, akan tetapi lebih mulia lagi terkait dengan tujuan sebuah pernikahan.

Ibrah:

1. Agar seseorang ingat akan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Yang berupa pasangan hidup yang karena itu seseorang mendapatkan ketentraman dan kedamaian.

2. Agar seseorang menyadari tujuan utama pernikahannya, yaitu demi keberlangsungan generasi dan memperbanyak hamba-hamba yang akan menyembah Allah.

3. Agar seseorang senantiasa ingat akan musuh utama dalam kehidupan ini, yaitu setan yang senantiasa menggoda dan menjerumuskan anak cucu Adam. Bahkan sejak berada dalam kandungan. Lalu selalu berlindung kepada Allah dari godaan setan.

4. Agar seseorang senantiasa bertawakkal kepada Allah setelah berusaha.

5. Agar selalu berusaha mengharapkan ridha Allah dalam setiap perbuatan yang dilakukan, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah.

6. Anak adalah karunia Allah yang diamanahkan kepada orang tuanya dan hendaknya ditunaikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak Dzat yang memberi amanah itu. Wallahu A’lam.

Sekuntum “Cinta” Pengantin Syurga


Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah,” Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin memberikan komentar mengenai pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Bila seorang kekasih telah singgah di hati, pikiran akan terpaut pada cahaya wajahnya, jiwa akan menjadi besi dan kekasihnya adalah magnit. Rasanya selalu ingin bertemu meski sekejab. Memandang sekilas bayangan sang kekasih membuat jiwa ini seakan terbang menuju langit ke tujuh dan bertemu dengan jiwanya.

Indahnya cinta terjadi saat seorang kekasih secara samar menatap bayangan orang yang dikasihi. Bayangan indah itu laksana air yang menyirami, menyegarkan, menyuburkan pepohonan taman di jiwa.

Dahulu di kota Kufah tinggallah seorang pemuda tampan rupawan yang tekun dan rajin beribadat, dia termasuk salah seorang yang dikenal sebagai ahli zuhud. Suatu hari dalam pengembaraannya, pemuda itu melewati sebuah perkampungan yang banyak dihuni oleh kaum An-Nakha’. Demi melepaskan penat dan lelah setelah berhari-hari berjalan maka singgahlah dia di kampung tersebut. Di persinggahan si pemuda banyak bersilaturahim dengan kaum muslimin. Di tengah kekhusyu’annya bersilaturahim itulah dia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita.

Sepasang mata bertemu, seakan saling menyapa, saling bicara. Walau tak ada gerak lidah! Tak ada kata-kata! Mereka berbicara dengan bahasa jiwa. Karena bahasa jiwa jauh lebih jujur, tulus dan apa adanya. Cinta yang tak terucap jauh lebih berharga dari pada cinta yang hanya ada di ujung lidah. Maka jalinan cintapun tersambung erat dan membuhul kuat. Begitulah sejak melihatnya pertama kali, dia pun jatuh hati dan tergila-gila. Sebagai anak muda, tentu dia berharap cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan, namun begitulah ternyata gayung bersambut. Cintanya tidak berada di alam khayal, tapi mejelma menjadi kenyataan.

Benih-benih cinta itu bagai anak panah melesat dari busurnya, pada pertemuan yang tersamar, pertemuan yang berlangsung sangat sekejab, pertemuan yang selalu terhalang oleh hijab. Demikian pula si gadis merasakan hal serupa sejak melihat pemuda itu pada kali yang pertama.

Begitulah cinta, ketika ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata… terurai dalam perbuatan…Ketika hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Ketika hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai dengan kepalsuan dan tidak nyata…

Ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tertegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam perbuatan. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Semakin dalam makna cinta direnungi, semakin besar fakta ini ditemukan. Cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.

Begitupun dengan si pemuda, dia berpikir cintanya harus terselamatkan! Agar tidak jadi liar, agar selalu ada dalam keabadian. Ada dalam bingkai syari’atnya. Akhirnya diapun mengutus seseorang untuk meminang gadis pujaannya itu. Akan tetapi keinginan tidak selalu seiring sejalan dengan takdir Allah. Ternyata gadis tersebut telah dipertunangkan dengan putera bapak saudaranya.

Mendengar keterangan ayah si gadis itu, pupus sudah harapan si pemuda untuk menyemai cintanya dalam keutuhan syari’at. Gadis yang telah dipinang tidak boleh dipinang lagi. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan belakang, samping kiri, atau samping kanan. Mereka sadar betul bahwa jalinan asmaranya harus diakhiri, karena kalau tidak, justeru akan merusak ’anugerah’ Allah yang terindah ini.

Bayangkan, bila dua kekasih bertemu dan masing-masing silau serta mabuk oleh cahaya yang terpancar dari orang yang dikasihi, ia akan melupakan harga dirinya, ia akan melepas baju kemanusiaannya dengan menabrak tabu. Dan, sekali bunga dipetik, ia akan layu dan akhirnya mati, dipijak orang karena sudah tak berguna. Jalan belakang ’back street’ tak ubahnya seperti anak kecil yang merusak mainannya sendiri. Penyesalan pasti akan datang belakangan, menangispun tak berguna, menyesal tak mengubah keadaan, badan hancur jiwa binasa.

Cinta si gadis cantik dengan pemuda tampan masih menggelora. Mereka seakan menahan beban cinta yang sangat berat. Si gadis berpikir barangkali masih ada celah untuk bisa ’diikhtiarkan’ maka rencanapun disusun dengan segala kemungkinan terpahit. Maka si gadis mengutus seorang hambanya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pemuda tambatan hatinya:

”Aku tahu betapa engkau sangat mencintaiku dan karenanya betapa besar penderitaanku terhadap dirimu sekalipun cintaku tetap untukmu. Seandainya engkau berkenan, aku akan datang berkunjung ke rumahmu atau aku akan memberikan kemudahan kepadamu bila engkau mau datang ke rumahku.”

Setelah membaca isi surat itu dengan seksama, si pemuda tampan itu pun berpesan kepada kurir pembawa surat wanita pujaan hatinya itu.

“Kedua tawaran itu tidak ada satu pun yang kupilih! Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar bila aku sampai durhaka kepada Tuhanku. Aku juga takut akan neraka yang api dan jilatannya tidak pernah surut dan padam.”

Pulanglah kurir kekasihnya itu dan dia pun menyampaikan segala yang disampaikan oleh pemuda tadi.

Tawaran ketemuan? Dua orang kekasih? Sungguh sebuah tawaran yang memancarkan harapan, membersitkan kenangan, menerbitkan keberanian. Namun bila cinta dirampas oleh gelora nafsu rendah, keindahannya akan lenyap seketika. Dan berubah menjadi naga yang memuntahkan api dan menghancurkan harga diri kita. Sungguh heran bila saat ini orang suka menjadi korban dari amukan api yang meluluhlantakkan harga dirinya, dari pada merasakan keindahan cintanya.

“Sungguh selama ini aku belum pernah menemukan seorang yang zuhud dan selalu takut kepada Allah swt seperti dia. Demi Allah, tidak seorang pun yang layak menyandang gelar yang mulia kecuali dia, sementara hampir kebanyakan orang berada dalam kemunafikan.” Si gadis berbangga dengan kesalehan kekasihnya.

Setelah berkata demikian, gadis itu merasa tidak perlu lagi kehadiran orang lain dalam hidupnya. Pada diri pemuda itu telah ditemukan seluruh keutuhan cintanya. Maka jalan terbaik setelah ini adalah mengekalkan diri kepada ’Sang Pemilik Cinta’. Lalu diapun meninggalkan segala urusan duniawinya serta membuang jauh-jauh segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Memakai pakaian dari tenunan kasar dan sejak itu dia tekun beribadat, sementara hatinya merana, badannya juga kurus oleh beban cintanya yang besar kepada pemuda yang dicintainya.

Bila kerinduan kepada kekasih telah membuncah, dan dada tak sanggup lagi menahahan kehausan untuk bersua, maka saat malam tiba, saat manusia terlelap, saat bumi menjadi lengang, diapun berwudlu. Shalatlah dia dikegelapan gulita, lalu menengadahkan tangan, memohon bantuan Sang Maha Pencipta agar melalui kekuasaa-Nya yang tak terbatas dan dapat menjangkau ke semua wilayah yang tak dapat tersentuh manusia., menyampaikan segala perasaan hatinya pada kekasih hatinya. Dia berdoa karena rindu yang sudah tak tertanggungkan, dia menangis seolah-olah saat itu dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Dan saat tertidur kekasihnya hadir dalam mimpinya, berbicara dan menjawab segala keluh-kesah hatinya.

Dan kerinduannya yang mendalam itu menyelimuti sepanjang hidupnya hingga akhirnya Allah memanggil ke haribaanNya. Gadis itu wafat dengan membawa serta cintanya yang suci. Yang selalu dijaganya dari belitan nafsu syaithoni. Jasad si gadis boleh terbujur dalam kubur, tapi cinta si pemuda masih tetap hidup subur. Namanya masih disebut dalam doa-doanya yang panjang. Bahkan makamnya tak pernah sepi diziarahi.

Cinta memang indah, bagai pelangi yang menyihir kesadaran manusia. Demikian pula, cinta juga sangat perkasa. Ia akan menjadi benteng, yang menghalau segala dorongan yang hendak merusak keindahan cinta yang bersemayam dalam jiwa. Ia akan menjadi penghubung antara dua anak manusia yang terpisah oleh jarak bahkan oleh dua dimensi yang berbeda.

Pada suatu malam, saat kaki tak lagi dapat menyanggah tubuhnya, saat kedua mata tak kuasa lagi menahan kantuknya, saat salam mengakhiri qiyamullailnya, saat itulah dia tertidur. Sang pemuda bermimpi seakan-akan melihat kekasihnya dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

“Bagaimana keadaanmu dan apa yang kau dapatkan setelah berpisah denganku?” Tanya Pemuda itu di alam mimpinya.

Gadis kekasihnya itu menjawab dengan menyenandungkan untaian syair:

Kasih…

cinta yang terindah adalah mencintaimu,

sebuah cinta yang membawa kepada kebajikan.

Cinta yang indah hingga angin syurga berasa malu

burung syurga menjauh dan malaikat menutup pintu.

Mendengar penuturan kekasihnya itu, pemuda tersebut lalu bertanya kepadanya, “Di mana engkau berada?”

Kekasihnya menjawab dengan melantunkan syair:

Aku berada dalam kenikmatan

dalam kehidupan yang tiada mungkin berakhir

berada dalam syurga abadi yang dijaga

oleh para malaikat yang tidak mungkin binasa

yang akan menunggu kedatanganmu,

wahai kekasih…

“Di sana aku bermohon agar engkau selalu mengingatku dan sebaliknya aku pun tidak dapat melupakanmu!” Pemuda itu mencoba merespon syair kekasihnya

“Dan demi Allah, aku juga tidak akan melupakan dirimu. Sungguh, aku telah memohon untukmu kepada Tuhanku juga Tuhanmu dengan kesungguhan hati, hingga Allah berkenan memberikan pertolongan kepadaku!” jawab si gadis kekasihnya itu.

“Bilakah aku dapat melihatmu kembali?” Tanya si pemuda menegaskan

“Tak lama lagi engkau akan datang menyusulku kemari,” Jawab kekasihnya.

Tujuh hari sejak pemuda itu bermimpi bertemu dengan kekasihnya, akhirnya Allah mewafatkan dirinya. Allah mempertemukan cinta keduanya di alam baqa, walau tak sempat menghadirkan romantismenya di dunia. Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka berdua menjadi pengantin syurga.

Subhanallaah! Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21).

sumber di ambil dari Dakwatuna.com

Argumentasi, Lelaki Shalih, dan Cinta......


“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang.

“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.

Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.

Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.

“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”

“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.

“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.

“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”

Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.

Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.

Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.

Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.

“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.

Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.

Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”

Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.

Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”

Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.

Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.

Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.

“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”

Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.

“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.

Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.

Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.

Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.

Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya, “Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.

Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.

Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.

Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”

“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.

“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.

Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.

Saturday, November 20, 2010

TAHLILAN DAN KENDURI MAYIT MENURUT MADZHAB SYAFI'I


SEMOGA PENJELASAN DIBAWAH INI DAPAT JADI RENUNGAN KITA SEMUA YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI'I.

APAKAH PANTAS ORANG YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI'I, AKAN TETAPI AMALANNYA MENYELISIHINYA???

I. TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

Acara Tahlilan yaitu: acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, adalah merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat, atau dengan kata lain telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air kita.

Dalam acara tersebut, lazimnya dibacakan ayat‑ayat al‑Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dan lain-lain, dengan niat pahala bacaan‑bacaan tersebut dihadiahkan kepada mayit tertentu atau arwah kaum muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri ialah; bahwa pada umumnya mereka -baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut‑ikutan- mengaku bermazhab Syafi'i. Namun ironisnya, -setelah merujuk kepada kitab-kitab madzhab Syafi'i- ternyata keyakinan mereka ini justru tidak sesuai dengan pendapat para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i, termasuk Imam asy-Syafi'i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut, maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an dan Sunah Nabi SAW, serta petunjuk shahabat‑shahabatnya.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat ulama-ulama Syafi'iyah tentang masalah dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab tafsir, fiqih dan syarah hadits, yang penulis pandang mu'tabar (dijadikan pegangan) di kalangan para pengikut madzhab Syafi'i.


1. Pendapat Imam asy-Syafi'i rahimahullah:

Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim :

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أنَّهُ لاَ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيَّتِ ... وَدَلِيْلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيْهِ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى(. وَقَوْلُ النَّبِيِّ: SAW "إِذِا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ")).

"Adapun bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi'i, pahalanya tidak sampai kepada mayit yang dikirimi… adapun dalil Imam asy-Syafi'i dan yang sependapat dengannya, adalah firman Allah SWT (yang artinya): "Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri", juga sabda Nabi SAW: "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdoa untuknya" [1].


2. Juga as-Subki di dalam kitab Takmilah al-Majmu' Syarah al-Muhadzab mengatakan:

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَجَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ وَالصَّلاَةُ عَنْهُ وَنَحْوُهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهَا لاَ تَلْحَقُ الْمَيِّتَ وَكَرَّرَ ذَلِكَ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ)).

"Adapun bacaan al-Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengganti shalatnya mayit[2] dan sebagainya, Imam asy-Syafi'i dan jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah berulangkali disebutkan (oleh Imam an-Nawawi) di dalam kitab Syarah Muslim" [3].


3. Al-Haitsami, di dalam kitabnya: Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, menjelaskan:

((الْمَيِّتُ لاَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ, مَبْنِيٌّ عَلَىمَا أطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ تَصِلُهُ -أَيْ الْمَيِّتَ- ِلأنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ، وَالثَّوَابُ المُرَتَّبُ عَلَى عَمَلٍ لاَ يُنْقَلُ عَنْ عَامِلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)).

"Mayit tidak boleh dibacakan atasnya, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak akan sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Adapun pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari 'amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, adalah berdasarkan firman Allah SWT (yang artinya): "Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri" An-Najm: 39"[4].

4. Imam al-Muzani, di dalam Hamisy Al-Umm, mengatakan demikian:

((فَأَعْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ SAW كَمَا أعْلَمَ اللهُ مِنْ أَنَّ جِنَايَةَ كُلِّ امْرِئٍ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّ عَمَلَهُ لَهُ لاَ لِغَيْرِهِ وَلاَ عَلَيْهِ)).

"Rasulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang diberitahukan Allah SWT; bahwa (ganjaran atas) dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, sebagaimana pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain" [5].


5. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:

((وَالمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لاَ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا)).

"Dan yang masyhur dalam madzab Syafi'i, bahwa bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak sampai kepada mayit yang dikirimi " [6].

6. Di dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan demikian:

((فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعِيِ غَيْرِهِ الْخَيْرِ شَيْء ٌ)).

"Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari amal kebaikan orang lain " [7].

6. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):

((أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ SAW أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ y, وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ)).

"Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi'i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai , karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya. Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di'otak-atik' dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra'yu (rasio)" [8].

Demikian beberapa nukilan pendapat ulama Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala qira'ahkepada mayit. Yang ternyata menunjukkan bahwa mereka mempunyai satu pandangan, yaitu: bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit itu tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Lebih-lebih lagi kalau yang dibaca selain Al Qur'an, tentu saja lebih tidak akan sampai.


Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.

Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan; bagaimana jika setiap usai tahlilan kita berdo'a: Allahumma aushil tsawaaba maa qara'naahu ilaa ruuhi fulan (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sebagai berikut: Di depan telah dijelaskan bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SWT dalam ayat 39 dari surat an-Najm. Adalah sangat janggal, kalau kita mengirimkan pahala bacaan kepada mayit -yang berarti kita telah melanggar syari’at-Nya- lantas kemudian kita mohon agar perbuatan yang melanggar syari'at itu diberi pahala, dan lebih dari itu mohon agar pahalanya disampaikan kepada roh orang lain!

Jadi, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu sisi do'a adalah ibadah, dan di sisi lain amalan mengirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia yang berarti melanggar syari'at. Apalagi jika amalan semacam itu kita mohonkan agar diberi pahala, lantas pahalanya disampaikan kepada roh orang lain.Wallahu a'lam.

II. SELAMATAN KEMATIAN

Selamatan adalah: berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga mayit -baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan seterusnya-, maupun dalam upacara yang sifatnya masal, yang lazimnya dilakukan di pekuburan yang biasa disebut haul, yang di situ juga diadakan acara makan-makan.

Tidak jauh berbeda dengan tahlilan, sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah -baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits- maka akan kita dapatkan bahwa amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan "terlarang" atau dengan kata lain "haram".

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi'i sendiri, atau kalaupun ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak. Maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan para ulama Syafi'iyah tentang masalah ini.


1. Imam asy-Syafi'i tidak menyukai adanya kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab al-Umm:

((وَأَكْرَهُ الْمَأْثَمَ؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ, وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَإنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ)).

"Aku tidak menyukai ma'tsam; yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga si mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru" [9].


2. Di dalam kitab fiqih I'anah ath-Thalibin dinyatakan demikian:

((نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا)).

"Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah munkarah (bid'ah yang diingkari agama) dimana orang yang memberantasnya akan mendapatkan pahala" [10].


Pengarang juga menjelaskan:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاجْتِمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Dan apa yang menjadi kebiasaan sebagian orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid'ah makruhah (yang tidak disukai dalam agama), sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena telah shahih perkataan Jarir t: "Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) (yakni haram -pen)" [11].


3. Dalam kitab Barzanjiyah:

((وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقُبُوْرِ)).

"Dan makruh menghidangkan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan (seperti dalam peringatan haul -pen)" [12].


4. Di dalam kitab fiqih Mughni al-Muhtaj disebutkan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ, وَرَوَى أحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدُ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتَمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalahbid'ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: "Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga si mayit untuk acara itu, adalah termasuk niyahah(meratapi mayit), (yakni haram -pen)" [13].


5. Di dalam kitab fiqih Hasyiyah al-Qalyubi, dinyatakan demikian:

((قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى "الْكِفَارَةَ" وَمَنْ صَنَعَ طَعَامًا لِلاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أوْ بَعْدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ)).

"Syeikh kami Ar-Ramli berkata: "Diantara bid'ah munkarah (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci untuk dikerjakan -sebagaimana diterangkan di dalam kitab ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan banyak orang dan disebut: "kifarah", penghidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit sebelum maupun sesudah kematian, juga penyembelihan (hewan) di kuburan" [14].


6. Di dalam kitab fiqih karangan Imam Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, antara lain dikatakan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهُ شَيْءٌ, وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرِ مُسْتَحَبَّةٍ)).

“Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah tidak ada dalilnya sama sekali, dan itu adalah bid'ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan)" [15].


7. Dalam kitab al-Jamal Syarah al-Minhaj:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاس مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأرْبَعِيْنَ, بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ)).

"Dan diantara bid'ah munkarah yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang seperti wahsyah (kesedihan yang berlebih-lebihan), berkumpul (di rumah keluarga mayit saat kematian) dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram " [16].


8. Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَنْكَرَةٌ مَكْرُوْهَةٌ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعِ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Apa yang menjadi kebiasaan banyak orang, berupa menghidangkan makanan untuk mengundang orang banyak ke rumah keluarga si mayit, adalah bid'ah munkarah makruhah (yang tidak dibenarkan agama dan tidak disukai), sebab karena telah shahih perkataan Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat Nabi SAW) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah, (yakni haram -pen)" [17].


9. Fatwa Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut:

((وَلاَ شَكَّ أنَّ مَنْعَ النَّاسَ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإمَاتةٌ ِللْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرِ مِنْ أبْوَابِ الْخِيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِ. فَإنَّ النَّاسَ َيتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إلَى أنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا)).

"Dan tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarah ini adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi SAW, memberantas bid'ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Sesungguhnya orang-orang telah terlalu memaksakan diri mereka, sehingga membuat hal itu diharamkan" [18].


10. Dan di dalam kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah, dinyatakan demikian:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اْلآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ أوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ)).

"Dan di antara bid'ah makruhah (yang dibenci) ialah: apa yang dikerjakan sebagian orang dengan memotong binatang-binatang ketika mayit dikeluarkan dari tempat persemayaman, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan untuk orang-orang yang ta'ziyah (melayat)" [19].


Demikian pendapat para ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian, yang menunjukkan kesepakatan mereka bahwa amalan tersebut adalah bid'ah yang munkar. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma') para sahabat Nabi SAW, yang menganggap haram amalan tersebut.

Lagipula sedekah itu akan lebih tepat mengenai sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, jika tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan, tapi langsung diberikan kepada kaum fakir miskin. Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka. Ini kalau dipandang dari segi kepentingan materiil para fakir miskin.

Ditambah lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbis al-haq bi al-bathil(mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil); sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan agama, sedang di pihak lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga si mayit adalah haram, juga mengirim pahala bacaan itu sendiri perbuatan sia-sia (tabdzir). Wallahu a'lam.


III. SANTUNAN UNTUK KELUARGA SI MAYIT

Menurut sunnah Nabi SAW, tetanggga keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang keluarganya, dianjurkan agar membantu meringankan beban penderitaan lahir maupun batin; dengan memberikan santunan berupa bahan makanan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Imam Asy-Syafi'i, di dalam kitabnya Al-Umm, antara lain mengatakan demikian ;

((وَأُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ أوْ ذِيْ قَرَابَتِهِ أنْ يَعْمَلُوا ِلأهْلِ الْمَيِّتِ فِيْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَايُشْبِعُهُمْ وَإنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ)).

"Dan aku menyukai bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, agar membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka. Dan amalan yang demikian itu adalah sunnah" [20].

Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan adanya riwayat dari Abdullah bin Ja'far:

((قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرِ (رضي الله عنه): لَمَا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ SAW: "اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ آتَاهُمْ مَا يَشْغُلُهُمْ)).

"Abdullah bin Ja'far t berkata: Tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far, Nabi SAW bersabda: "Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyibukkan mereka" [21].

Hadis ini menunjukkan, bahwa menurut sunnah Nabi SAW, kaum muslimin, baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu, dengan cara memberikan bantuan berupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Oleh karena itu Imam asy-Syafi'i menganjurkan juga kepada kaum muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini karena hal itu sesuai dengan sunnah Nabi SAW

Sementara menurut tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini, masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Asy-Syafi'i tersebut; yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dsb dengan menyediakan hidangan makanan disertai acara tahlilan, yang justru selain keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW, juga memberatkan keluarga si mayit dan mem'perbaharui' kesedihan mereka.



KESIMPULAN

1. Bahwa menurut pendapat ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi'i, tahlilan atau acara mengirim pahala bacaan kepada mayit/roh tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.
2. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur'anul al-Karim, ayat 39 dari surat an-Najm, yang artinya: "Bahwa manusia tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri". Sunnah Nabi SAW juga menegaskan hal ini.
3. Bahwa kalau tahlilan tersebut tidak dapat sampai, maka amalan-amalan tersebut -apabila tetap dikerjakan- berarti sia-sia, sedang Islam melarang umatnya berbuat sesuatu yang sia-sia (maa laa ya'ni= sesuatu yang tidak ada gunanya), atau juga dapat diartikan sebagai tabdzir.
4. Bahwa acara selamatan atau berkumpul dan menikmati hidangan di rumah keluarga mayit, menurut ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi'i adalah "terlarang". Di antara mereka ada yang mengatakan sebagai bid'ah munkarah, yakni bid'ah yang tidak diakui dalam Islam. Ada yang mengatakan bid'ah ghairu mustahabbah, yakni bid'ah yang tidak pernah disunatkan, dan ada yang mengatakan bid'ah makruhah, yakni bid'ah yang tidak disukai.
5. Bahwa pernyataan bid'ah munkarah artinya adalah bahwa perbuatan itu haram hukumnya.
6. Bahwa haramnya selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah berdasarkan atsar shahih dari seorang Sahabat Nabi SAW; Jarir bin Abdillah, yang mengatakan, "Kami (para shahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk acara itu oleh keluarga mayit, adalah termasuk niyahah, (yakni haram)."
7. Bahwa hukum haramnya berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah disepakati (telah menjadi ijma') para pahabat Nabi SAW, sebab Jarir mengatakan: " menganggap…". Dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.
8. Bahwa menurut sunnah Nabi SAW, jika ada keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang anggotanya, maka kepada kaum muslimin, baik sebagai sanak kerabat atau sebagai tetangga, hendaknya memberikan santunan dengan memberikan bahan makanan semampunya, terutama terhadap keluarga yang tidak mampu atau miskin.
9. Akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa tradisi yang berjalan di masyarakat Islam tanah air kita, yang berupa tahlilan dan selamatan kematian pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dst adalah bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yakni Qur'an dan sunnah Nabi SAW.

والله أعلم بالصواب ، وبالله التوفيق والهداية، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم



Fote Note:

[1] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal 90.

[2] Menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya -pen.

[3] As Subki, Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 10, hal 426.

[4] Al-Haitsami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz 2, hal 9.

[5] Asy- Syafi'i, Hamisy al-Umm, juz 7, hal 269.

[6] AI Khazin, al-Jumal, juz 4, hal 236.

[7] Tafsir al-Jalalain, jilid 2, hal 197.

[8] Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, surat an-Najm, ayat 39.

[9] Asy-Syafi'i, al-Umm, juz 1, hal 348.

[10] I'anah ath-Thalibin Syarah Fath al-Mu 'in, juz 2, hal 145.

[11] Op. Cit, juz 2, hal 146.

[12] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 146.

[13] Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal 268.

[14] Hasyiyah al-Qalyubi, juz 1, hal 353.

[15] Imam an-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, juz 5, hal 286.

[16] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[17] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[18] Dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146

[19] Abdurrahman al-Jaza'iri, al-Fiqhu 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, juz 1, hal 539.

[20] As Syafi'i, Al-Umm, juz 1, hal. 247.

[21] Op. Cit.